Senin, 05 Januari 2015

Fatsal 9 Perjalanan Pak Satria ke Dunia Baru



Fatsal 9 Perjalanan Pak Satria ke Dunia Baru

            Perenungan malam ini seperti sebelumnya yang biasanya berakhir pilu mendera di dalam dada seperti malam-malam kemarin. Terasa sesak memberatkan tarikan nafas seorang ayah yang tak akan tergambarkan dengan ungkapan kata-kata sedih puisi atau nyanyian kesunyian mana pun. Sepertinya ini tak mungkin terjadi. Tidak mungkin! Bahkan suatu hal yang mustahil jika Pak Satria mengingat dengan sangat jelas di dalam pikiran dan kenangannya kembali saat tiga tahun lalu di pagi hari ia masih bersama si kecil itu. Siang hari ia sempatkan mengobrol dan bercanda bersamanya. Bahkan, di sore hari setelah ia pulang ke rumah dari tempatnya bermain bersama beberapa temannya terlihat badannya sangat segar setelah selesai mandi. Tidak berapa lama berikutnya ia telah memegang sebuah buku tulis dan sebuah pulpen mengisi lembaran kosong dengan tokoh kesayangannya, Naruto. Meskipun sebuah siaran teleivisi terus menyiarkan suatu program, ia hanya asyik menggambar sembari terlentang di tempat tidur yang cukup besar menumpangkan kaki kanan di atas kaki kirinya, sementara beberapa bantal dan guling berserakan semrawut.
            Ia masih duduk bersandar tak bersemangat menghadapi komputer di ruang yang biasa ia tempati ini. Malam ini ia pun mulai menghidupkan lagi komputernya dan mencoba mengusir kejenuhan dan kegalauan dalam pikirannya, ia menjalankan program aplikasi untuk mengusir rasa kesal dan sesal di dada.
“Pasti sesuatu berbau kegaiban telah terjadi di rumah ini yang membawa Aga entah ke mana!” Sangkanya lagi dalam hatinya.
Bahkan ketika ia ingat kembali setelah mematikan komputer selesai mengetik sesuatu dan kembali ke kamar tidurnya, begitu pulas Aga memeluk guling dengan botol susu masih menempel di mulutnya. Sangat jelas ia benar-benar ada di sana tertidur di tengah antara aa-nya Kemal dan mamanya.
“Sangat aneh dan……pasti ada yang tidak beres!” Begitu bisik di dalam pikirannya.
Hingga Pak Satria mengenang saat ia mulai merebahkan badannya untuk beristirahat tidur sebelum berdoa, terlihat Aga masih di sana merem hanya sesekali terdengar bunyi sedotan botol susu yang dikenyot tanpa disadarinya.
Srooot, srooot, srooot…. .”
Setelah itu Pak Satria diam lagi sejenak, karena ia tak mampu mengingat lagi setelah ia tertidur waktu itu.
“Juga mengapa jawaban para tokoh spiritual atau paranormal tetap sama……? Makhluk gaib telah membawanya, katanya! Tapi ke mana dan di mana sekarang, tak ada satu pun dari mereka yang berhasil menembus keberadaannya itu…….” Kembali ia bertanya hal yang sama untuk ke sekian kali dalam pikirannya mencoba mendapatkan petunjuk.  
Dalam ketakberdayaan malam yang semakin larut ini dan kelelahan mental yang begitu dalam, konsentrasi mengetiknya menjadi mengawur akibat mata yang mulai disergap rasa kantuk sehingga beberapa kali tangannya meleset menekan hurup-hurup pada keyboard. Terakhir secara tak sengaja ia menekan hurup-hurup X, P, dan R berturut-turut.
Ah…pikiranku sedang kacau sekali malam ini!” Dalihnya dalam hati.
Lalu ia bermaksud menghapusnya dengan backspace dengan lambang panah mengarah ke kiri pada keyboard tersebut, tapi tak ayal malah tombol enter yang tertekan tak sengaja, dan……..
“Ampuni, Tuhan!” Pak Satria berteriak cukup keras dan memegang dadanya menahan degup jantung berdebar kaget cukup kuat.
Sambil refleks ketakutan, meloncat ke luar dari kursi duduknya dengan mata seolah-olah tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Perlahan di sudut ruangannya muncul cahaya membulat dan meninggi berdiameter cukup besar seluas tubuh tiga orang dewasa. Sinar itu memancar dari sudut bawah ke atas, agak redup terangnya, kehijau-hijauan, kuning dan biru serta sedikit kemerah-merahan.
“Ya Tuhan, sinar apakah ini? Atau jangan-jangan Aga…… aakhh, mana mungkin! Tapi…….” Tanya Pak Satria penuh keraguan merenangi pikirannya.
Pak Satria mencoba memberanikan diri mulai mendekati pancaran warna itu setelah penasarannya melebihi besar ketakutannya. Mula-mula ia tarik kursi yang tadi didudukinya dengan takut-takut, lalu ditempatkannya di sisi yang agak jauh di sudut kanannya, kemudian sambil merapat ke dinding di sebelah kirinya ia merambat jalan perlahan sekali seolah sedang berjalan memegang seutas tali di atas jembatan tambang dengan kekhawatiran terjatuh ke jurang nan begitu dalam ke dasar sana, akhirnya setelah begitu dekat…… ia berhenti dan diam sejenak. Menunggu. Tak ada apa pun yang terjadi! Tangan kanan yang lebih dekat ke lorong sinar itu diarahkan semakin mendekat agar bisa menyentuh permukaannya hingga tinggal beberapa sentimeter saja. Ia tidak merasakan apa pun meskipun tangan dan tubuhnya sudah sedemikian dekatnya dengan cahaya itu. Dengan membulatkan tekad siap menanggung segala resiko bila ia terkena setrum seperti sengatan listrik, misalnya, ia sudah menyiapkan mentalnya sedemikian rupa. Sambil menghitung satu, dua dan tiga dan mengucapkan doa dan memuji kebesaran Tuhan berulang-ulang, akhirnya……..jari telunjuknya pun menyentuh permukaan cahaya itu.
“Terima kasih, Ya Tuhan! Terima kasih, Ya Tuhan, Ya Tuhan, cahaya ini tidak membahayakan, aku tidak kenapa-kenapa…. Terima kasih, Ya Tuhan …..,” dengan gembiranya ia memanjatkan puji syukur ke hadlirat Tuhan Yang Maha Esa.
Sehingga ia semakin berani menyelusupkan lagi tangannya hingga masuk pergelangan ke dalam, juga tidak ada apa-apa. Tidak ada reaksi membahayakan sepertinya. Tak menimbulkan suara atas tindakannya ini, bahkan tidak ada bias cahaya karena sinarnya telah tertembus dengan tangan. Ia menarik kembali tangannya. Terlihat ia menjadi semakin berani saja, lalu disodorkan kaki kanannya hingga masuk seluruh telapaknya.
Setelah yakin sudah siap terhadap segala kemungkinan, disorongkan seluruh badannya perlahan mulai dari kepala, leher, badan bagian atas hingga kakinya ke dalam lorong cahaya ini. Sekarang ia sudah berada di dalam lorong ini seluruhnya. Nampaknya ia merasa cukup canggung berada di dalamnya tanpa tahu apa yang harus diperbuatnya. Sementara sembari memperhatikan ke sekeliling dan beberapa kali menyentuh selubung cahaya yang melingkarinya untuk mengetahui apakah anggota tubuhnya masih dapat menembus atau tidak, dan ternyata ……………. Ia seketika menjadi sangat terkejut dan gugup, mengetahui kedua tangannya tak dapat lagi menembus ke luar selubung itu!  Belum sempat berpikir lebih jauh lagi, ia merasakan seperti ada tarikan ke arah bawah tubuhnya secara perlahan diiringi desiran angin dan tekanan halus dari arah atas. Semakin lama semakin terasa kecepatan tarikan dan tekanan halus di tubuhnya mulai terasa lebih kuat tanpa mempengaruhi keseimbangan tubuhnya sedikit pun. Sambil berpegangan ke dinding selubung cahaya itu, pandangannya mengitari dinding lingkaran cahaya ini terasa seperti bergerak turun dengan kecepatan yang sangat dahsyat. Wajah cemas dan takut luar biasa mulai menghinggapinya, namun seperti tak sanggup berteriak dan menjerit.
“Apa yang sedang terjadi? Apakah yang kualami saat ini juga dialami Aga saat itu? Jika demikian, semoga aku dan ia selamat dan akhirnya bisa ketemu,” tanya dan harap beruntun pada diri sendiri menahan beribu-ribu perasaan yang menjadi satu.
Ia tak bisa melukiskan ketakutan ini, merasa seperti terbawa dan terhisap cahaya, sendirian, meskipun kejadian ini sedikit pun tidak mempengaruhi keseimbangan tubuhnya sama sekali. Dengan masih tetap berdiri tegak seolah tak terjadi apa-apa dengan sekelilingnya, namun ketakutan dan kecemasan yang begitu sangat menghantui, terlihat semakin menjadi-jadi. Kembali meraba-raba dinding kaku dan padat dan tak bisa ditembus di hadapannya seperti tadi, terkejut, tak bisa keluar. Ini membuatnya sangat panik….ingin sekali ia menangis namun tak bisa. Dicobanya menerobos dinding sebelah kanan keluar tapi tak membuahkan hasil, menjadikannya histeris. Tetap saja tak bisa menangis, meskipun ia takut sekali. Masih berharap ada jalan keluar bagi dirinya, mungkin dinding cahaya sebelah kiri merupakan pintu itu, lalu disentuh dan raba beberapa kali dengan penuh kecemasan yang kian bertambah teramat sangat, tetapi tetap nihil. Ketakutannya kian menjadi lagi tanpa dapat tertahan, ia akhirnya pasrah, terduduk lemas di sana. Meskipun sekeliling terasa membisu, namun tiba-tiba…
Srrrrpp…”
Selubung cahaya di sekeliling lenyap dan wajah Pak Satria sedikit berubah gembira dan takjub melihat sebuah pemandangan di hadapannya yang sungguh-sungguh belum pernah ia saksikan sebelumnya. Meskipun ini baru pertama kali ia lihat. Semakin jelaslah kini ia berada di suatu tempat lain dalam tempo seolah-olah hanya  dalam beberapa detik saja.
Matanya terasa dimanjakan dengan kenikmatan dan ketakjuban di setiap penjuru pandangan, ketakutan, kecemasan atau kekhawatiran kini telah sirna. Bahkan terlihat  seperti tak lepas dan bosan mata memandang ke sekeliling.
             “Indah sekali, Ya Tuhan! Tempat apakah ini?” Terdengar ia bergumam sendirian.


Prolog Daftar Isi Fatsal 1 Fatsal 2 Fatsal 3 Fatsal 4 Fatsal 5 Fatsal 6
Fatsal 7 Fatsal 8 Fatsal 9 Fatsal 10 Fatsal 11 Fatsal 12 Fatsal 13 Fatsal 14
Fatsal 15 Fatsal 16 Fatsal 17 Fatsal 18 Fatsal 19 Fatsal 20 Fatsal 21 Fatsal 22
Fatsal 23

0 komentar :

Posting Komentar