Senin, 08 Juli 2013

Fatsal 15 Pertemuan Ksatria Pembebas dengan Sang Ayah



Fatsal 15 Pertemuan Ksatria Pembebas dengan Sang Ayah

            Aku bertiga kini tengah bersiap-siap menuju areal istana untuk menuju satu sasaran, yaitu ruang rahasia istana yang telah dirancang oleh sang profesor untuk bisa diakses olehku sendiri. Setelah kupersiapkan pesawat antimata-mata dan antidetektor musuh, kami berangkat melesat menggunakan modus tak tampak yaitu Modus Satu. Keunikan pesawat yang kami naiki ini kami rancang-bangun dengan bantuan XPR dan dilengkapi teknologi yang tak dapat tersentuh oleh alat detektor pesawat apa pun. Kemampuan tak tampaknya kini sudah memasuki level tiga yang artinya pada level dua pun bila suatu alat ingin mendeteksi sebuah pesawat membutuhkan sebuah satelit pengintai seperti halnya yang dimiliki Kerajaan Gemrilozie, Morphaneous. Namun, kemutakhiran dan keunikan rekayasa pesawat ini telah berada pada dua tingkat di atas standar kemayaan. Jadi sangat mustahil bagi pihak kerajaan mana pun, meskipun Kerajaan Tucapenbath sekali pun yang dipenuhi dengan berbagai akademisi dan praktisi teknologi dari berbagai kerajaan yang direkrut menjadi tim rekayasa mereka, mampu mendeteksi kami.
            “Bagaimana bila kita memantau langsung ke berbagai pelosok wilayah Kerajaan Gemrilozi sebelum ke istana?” Tanyaku kepada mereka meminta persetujuan.
            “Ide yang bagus, Ksatria,” sahut Kapten Rayzor yang juga disetujui doktor cantik dengan anggukan.
            OK.”
            Pesawat kami berkeliling di atas berbagai wilayah yang dijaga ketat oleh berbagai pasukan patroli. Sesuai dengan kalkulasi rekayasa pesawat kami benar saja bahwa kami tidak dapat terdeteksi, meskipun mereka membawa peralatan detektor mutakhir mereka, tapi mereka tak dapat menemukan jejak keberadaan pesawat kami yang sesekali sangat dekat posisinya dengan mereka.
            Setelah merasa yakin seluruh wilayah kerajaan telah habis porak-poranda dan kini hanya tinggal puing-puing sisa sejarah kebesaran kerajaan ini, kami langsung melesat ke areal target, yaitu ruang kabin rahasia. Letak dan posisinya tepat berada di sayap tengah atau sayap utama dari istana induk beberapa mil di bawah permukaan laut. Modus pesawat kurubah ke posisi level empat sehingga ia mampu berubah seperti zat cair yang merembes dan menembus ke kedalaman dan kepekatan dasar di bawah alam ini. Tanpa adanya kesulitan kami mencapai ruang rahasia induk dan pesawat kami seperti sudah sangat akrab dengan lingkungannya karena setelah radius satu juta osh pesawat telah dikemudikan secara otomatis melalui kendali gravitasi kabin terhadap pesawat.
            “Ayo, bentuk formasi untuk mengakses pintu masuk hingga kunyatakan kalian aman. Bagaimana pun, kita harus tetap waspada,” ajakku kepada mereka mengkomando.
            Mereka menuruti pembentukan formasi yang kuatur, agar mereka masuk dan menyatu ke dalam perisai diriku. Aku akan merubah modus perwujudanku menjadi Modus Empat yang akan mampu melakukan metamorfosa sesuai keinginanku. Kuprogram agar sang kapten dan doktor tetap berada di kabin sayap kanan-kiriku, sementara kabin atas tetap tak berawak. Kulapisi seluruh tubuhku dengan perisai tubuh antisenjata dan deteksi sehingga kini perwujudanku bagaikan sebuah robot besar berlapis besi baja antirudal dan misil. Setelah kulihat mereka telah duduk dengan nyaman di kabin masing-masing, kutinggalkan pesawat di hanggar melingkar dan dengan kode akses pembuka kumasuki pintu masuk kabin rahasia ini.
            “Dok, Kapt., aku melihat sebuah laboratorium pada sebuah kabin. Kita akan menuju ke sana sekarang. Dan bagaimana menurut kalian?”
            “Aku juga melihat status tingkat keamanan yang sangat bagus, Ksatria,” jawab kapten.
            “Benar. Status terbaca pada tingkat Sangat Aman,” balas sang asisten profesor itu kepadaku.
            Setelah selesai berkoordinasi untuk memastikan ruang kabin dalam kondisi status yang memungkinkan bagi kami untuk melakukan penetrasi ke pusat kabin rahasia induk ini, aku mencoba berkomunikasi dengan mereka yang ada di dalam tubuhku itu. Setelah aku berada di dalam laboratorium dan mencoba mendeteksi lingkungan sejenak, aku menjadi yakin bahwa situasi telah aman bagi mereka beradaptasi di ruang ini. Selanjutnya kurubah diriku terlebih dahulu menjadi modus normal dan kuperhatikan kapten dan doktor itu telah berada di sisi kanan dan kiriku. Kami langsung berpencar sesuai pembagian rencana tugas yang telah kususun dan kami sepakati.
            Dr. Biodenti menuju ruang sensor kendali dan Kapten Rayzor menuju pusat kendali pangkalan strategi. Mereka nampak cukup sibuk mempersiapkan segala perencanaan yang telah kuatur sewaktu di goa itu. Namun, tiba-tiba Dr. Biodenti berseru.
            “Aku menangkap sinyal tentang sebuah sosok tergeletak jauh bermil-mil di atas permukaan di reruntuhan puing-puing istana.”
            “Benar. Kondisinya pada status sangat aman dari detektor,” sambung kapten.
            “Baik. Kita merapat sekarang,” perintahku kepada mereka untuk membentuk formasi.
            Kemudian kami berjajar menggunakan tenaga sensor bersama-sama di kabin laboratorium untuk mengidentifikasi lebih jauh. Tak berapa lama kami telah mendapatkan keterangan dan menurut doktor bahwa ia adalah Pak Satria, ayahku, yang tertimbun puing-puing reruntuhan sejak penyerangan Kerajaan Tucapenbath. Menurut data hasil analisanya, kondisi terakhir masih bertahan sangat bagus karena kekuatan yang telah ditrasnformasikan pada waktu itu secara otomatis memasuki status vakum. Sehingga pihak musuh tak mampu mendeteksi keberadaannya dan tingkat daya tahan hidupnya masih sangat prima. Penghitungan mundur telah diatur dan mencapai angka nol di layar monitor, kemudian kami melakukan penyensoran dan pengkodean sistem secara bersama-sama, diakhiri dengan penekanan enter dan ruang kabin kini sudah ditempati oleh sesosok manusia yang tak asing lagi bagi kami. Aku memang tak mengenali lagi sosok tersebut yang muncul secara cepat mulai dari kepala, tubuh dan kedua tangan hingga ke kedua kakinya. Karena kulihat wajahnya jauh lebih muda dan bertubuh sangat gagah dan tegap dengan tubuh berisi dan berotot. Melihat keherananku, sang asisten profesor itu pun menjelaskan.
            “Beliau adalah papa Anda, Ksatria.”
            “Ya…. Aku hampir tak mengenalianya. Kecuali rambut, raut wajah dan lehernya yang masih kuingat jelas.”
            “Syukurlah, beliau selamat,” ujar Kapten Rayzor.
            Bagian tugas selanjutnya langsung ditangani oleh sang doktor. Ia sempat berkata bahwa sang papa sedang beradaptasi beberapa detik sebelum siap memasuki alam kehidupan nyata kembali. Lalu ia melakukan penyegaran dan revitalisasi ke tubuh papa dengan melakukan penyensoran dan pengkodean sistem revitalisasi. Tak berapa lama kemudian kulihat papa membuka kedua kelopak matanya seperti halnya bangun dari tidurnyanya yang lama. Ia menatap kami satu-persatu secara bergantian seolah-olah tak percaya. Papa sepertinya tidak mengenali diriku dan aku masih belum berani mendekatinya karena kau khawatir membuat papa terkejut. Lalu kulihat sang asisten mendekat dan mencoba menuntun papa melangkah keluar dari kabin tersebut. Benar saja, ia seperti seorang pemuda sepertiku pada masa-masa keperkasaannya seorang pemuda. Jalannya sangat tegap dan gagah sekali. Sambil berjalan ia mengingatkan kembali dengan Kapten Rayzor yang beberapa waktu lalu di laboratorium istana di atas permukaan sana membantu proses pentransformasiannya. Terakhir ia juga memperkenalkan kepadaku bahwa aku dahulunya adalah Aga si balita puteranya dan mengingatkannya bahwa ia dan aku kini menjadi mitra.
            Aku langsung memeluk papaku, dan papa terlihat menangis seolah tak mempercayai pertemuan yang tak disangka-sangkanya ini. Meskipun fisik kami mengalami perubahan sedemikian rupa, namun hati dan ikatan batin kami tak akan mampu terganti oleh atau dengan alat atau teknologi semutakhir apa pun. Ini sangat kusadari fakta bahwa aku adalah putera papaku dan beliau adalah tetap seorang papa bagiku. Aku pun menjadi sangat terhanyut oleh pertemuan kami, kusadari bahwa kami telah berbeda penampilan tapi aku sangat yakin dengan sanubariku yang tak dapat kubohongi bahwa ia adalah papaku.
            Kulihat Dr. Biodenti dan Kapten Rayzor pun ikut terbawa dan terhanyutkan suasana kami, sehingga mereka berdua pun sempat menitikkan airmata. Kami kembali duduk di sebuah kabin sambil mengobrol kisah dan kenangan kami masing-masing. Terkadang aku tertawa terpingkal-pingkal dengan ulah papa yang tetap sering melucu dan menggodaku dengan panggilan-panggilanku sewaktu menjadi seorang anak kecil di dunia asal kami dahulu. Kedua orang itu pun ikut tertawa mendengar polah tingkah kami yang sedemikian akrabnya dan terkadang mereka saling menatap, lalu kembali ikut tertawa terpingkal-pingkal. Di sela-sela obrolan kami, sang asisten menghidangkan minuman dan makanan buat kami berempat. Sehingga menambah betah dan akrab perbincangan ini sambil makan dan minum menikmati hidangan dengan suasana hangat seperti ini. Sesekali secara bergantian sang kapten pun dan sang asisten bercerita tentang kehidupannya yang terpisah dari kedua orang tua dan saudara-saudaranya demi tugas dan pekerjaannya di istana kerajaan yang bagi mereka merupakan panggilan mulia dan sangat diidam-idamkan oleh setiap warga kerajaan.
            Jika kuperhatikan sang kapten yang gagah dan atletis, berani dan tampan dan sang asisten yang sangat cantik, cerdas dan seksi dengan tubuh semampai merupakan paduan pasangan yang sangat serasi dan ideal. Jika kutaksir usia mereka berdua tidak jauh terpaut, hanya mungkin sang kapten lebih tua sekitar empat atau lima tahun. Satu hal yang paling menarik dari sang kapten yang kurang lebih menjelang usianya di tigapuluh limaan dan sang asisten di usia tigapuluhan itu adalah kesetiaan pada pengabdian tugasnya di usia yang relatif masih muda. Kecerdasan dan kejeniusan mereka di bidang masing-masing yang membuahkan prestasi tinggi didedikasikan bagi kemaslahatan kerajaan tanpa memikirkan keakuannya.
            “Hebat kedua orang ini,” ungkapku dalam hati atas kekaguman kepada mereka berdua.
            Bahkan mereka memiliki patriotisme yang masih jarang dimiliki sebagian besar para pemuda di dunia asalku yang kebanyakan bagaimana bisa mendapatkan posisi bagus di sebuah instansi pemerintah dengan gaji naik secara berkala dan mendapatkan tunjangan pensiun di masa tua. Terserah apakah aku bisa berprestasi atau tidak yang penting aku sudah hadir di kantor atau tempat kerja. Kerja keras itu nomor sekian. Idealisme atau apalagi patriotisme itu telah menjadi semboyan dan isapan jempol menjadi cemoohan. Jika ada yang berani mengatakan atau mengungkapkan sesuatu pandangan atau prinsip tertentu pada porsinya dibilang sok idealis!
            “Hari geeneee masih berpikir kayak begeeetooo, ke laut aje….” Begitu kukira yang sering terpikir dan terlontar dalam benak dan ironisme pemuda di dunia asalku.
            “Para pejabat saja sudah menjadi tradisi mementingkan diri sendiri meskipun harus dengan jalan korupsi,” ujar seseorang suatu kali di sebuah angkot bernada pesimis melihat kondisi saat itu.
            Tapi, para pemuda yang direkrut istana kerajaan ini merupakan bukti otentik memegang prinsip kebesaran jiwanya: Bukan apa yang bisa kudapatkan dari kerajaan, tapi apa yang bisa kupersembahkan baginya! Itu jelas tercermin dari kedua insan di hadapanku ini. Mereka tidak lagi merasa gelisah atau resah memikirkan kehidupan pribadinya sendiri, lebih dari itu mereka bekerja keras saling-membahu membangun negeri. Tidak memilih berkarir lebih menghasilkan banyak uang untuk kehidupannya, tapi berlomba siapa yang mampu lebih berjasa bagi negerinya. Kupikir budaya ‘bersih’ di kerajaan ini sangat jelas. Mereka direkrut karena kelebihan dan kecakapan dalam bela kerajaan, bukan direkrut karena kemampuan besaran nominal yang mereka sodorkan kepada pejabat kerajaan agar dapat diterima di instansi kerajaan mereka. Yang senior tidak menerapkan praktik itu dan si junior tidak akan berani mencoba ‘menggoda’nya.
            “Posisi Pak Satria kini sudah jelas sekarang, ‘kan? Anda berada di sayap kanan, Ksatria. Pada waktunya nanti sayap kiri akan diisi dengan Kemal dan sebelah atas oleh Nandya,” papar sang asisten tegas.
            Kalimat sang asisten sempat membuyarkan khayalanku, namun dapat kusembunyikan dengan baik. Lalu kami melanjutkan tugas masing-masing dengan membentuk formasi mempersiapkan langkah selanjutnya. Fase-fase berikutnya sesuai rencana yang telah jauh diatur sebelumnya oleh sang profesor yaitu rencana cadangan yang disepakati di goa persembunyian itu untuk tetap dilangsungkan di ruang rahasia ini.
            Kendali perencanaan di laboratorium ini dipimpin langsung oleh Doktor Biodenti yang lebih banyak menguasai tatacara dan tatatertib tugas dan kewajibannya, karena ia telah terbiasa dengan rutinitasnya sewaktu bekerja sama dengan Profesor Cherpantulas. Ia mempersiapkan segala sesuatu secara teknis dan petunjuk pelaksanaan dalam rangka pentransformasian kedua tokoh berikutnya: Kemal dan Nandya. Kulihat ia cukup sibuk dan sigap dalam pengkondisian calon yang akan diakomodasikan mulai dari satu penjadualan mobilitas kamar tidur masing-masing, menuju ke ruang kerja Pak Satria sebagai sentral transformasi hingga ke dunia mayapada ini. Bila diperhatikan seluruhnya dikerjakan dengan kalkulasi rasional dan matang, meskipun perbedaan masa dan durasi masinng-masing alam yang berbeda rentangnya.
            Terakhir aku mendapatkan gambaran tentang keberadaanku di sini baru melewati sekitar satu atau dua hari saja, sementara di dunia asalku kepergianku telah berlalu sekitar tiga tahun. Itu berarti ditambah perjalanan papa yang relatif sama, tiga tahun waktu di bumi. Dan kini aku sudah genap sekitar enam tahun petualanganku di sini! Wow! Sementara aku baru satu hari lebih. Perbedaan waktu yang cukup signifikan, kupikir.
            Akh….Aku tak merasa waktuku tersita di sini. Malah aku semakin bertambah dewasa dan bertambah luas cakrawalaku dalam mengenal kehidupan lain,” pikirku dalam hati sesaat sang profesor itu bercerita berdasarkan berbagai penemuan yang ia kaji dan kembangkan.
            Setelah itu aku malah berpikir lebih positif dalam bertindak dan dewasa dalam berekspresi karena tanggung jawabku sebagai Sang Terpilih bagaimana pun harus kuemban sebagai sebuah tugas mulia dalam membela kebenaran dan menumpas kezaliman. Karena kini kuyakini bahwa yang hak adalah hak dan bathil adalah bathil merupakan dua perbedaan nyata dan jelas bagaikan dua warna: putih dan hitam, tak akan tertukar, kecuali buta warna. Di duniaku yang baru, semangat itu terus berkobar dan terbakar motivasi pada rotasi porsi yang proporsional. Ini bahkan kujadikan jihad suci yang bukan mengenyampingkan rasionalitas manusiawi. Aku seolah seperti dididik menjadi manusia universal, dan tidak ortodoks dan taklid buta. Aku memang benci dengan Kerajaan Tucapenbath, tapi bukan pada rakyatnya, tapi pada kezaliman sang raja. Tabiat sang raja yang harus kutumpas terlebih dahulu, bila memungkinkan kuamankan fisiknya. Aku akan mencoba dan berusaha tak melukainya, karena kuyakini aku bukan seorang hakim yang menentukan ia harus mati atau hidup di tanganku. Secara psikologis, kupikir kezalimannya itu pasti bersumber dari nafsu yang tak dapat dikendalikan oleh sang raja sendiri. Karena ia telah dibutakan oleh ambisi keangkaramurkaannya. Di samping kekuatan alam yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Berkuasa kepadaku melalui kecerdasan dan kejeniusan sang profesor dan para asistennya dalam mengembangkan proses berpikir yang menjadi anugerah bagi mereka dari-Nya, lalu kenapa aku harus berambisi langsung membunuh sang raja? Akan kucoba menyadarkannya, agar ia menemukan jalan hidayah untuk bertobat kepada-Nya! Kalau tidak, demi membela kebenaran dan keadilan dan diriku, aku pun terpaksa melakukannya demi mengagungkan Nama Baik dan Kesucian-Nya.

0 komentar :

Posting Komentar