Fatsal 15 Pertemuan Ksatria Pembebas dengan Sang
Ayah
Aku bertiga kini tengah bersiap-siap
menuju areal istana untuk menuju satu sasaran, yaitu ruang rahasia istana yang
telah dirancang oleh sang profesor untuk bisa diakses olehku sendiri. Setelah
kupersiapkan pesawat antimata-mata dan antidetektor musuh, kami berangkat
melesat menggunakan modus tak tampak yaitu Modus Satu. Keunikan pesawat yang
kami naiki ini kami rancang-bangun dengan bantuan XPR dan dilengkapi
teknologi yang tak dapat tersentuh oleh alat detektor pesawat apa pun.
Kemampuan tak tampaknya kini sudah memasuki level tiga yang artinya pada level
dua pun bila suatu alat ingin mendeteksi sebuah pesawat membutuhkan sebuah
satelit pengintai seperti halnya yang dimiliki Kerajaan Gemrilozie, Morphaneous.
Namun, kemutakhiran dan keunikan rekayasa pesawat ini telah berada pada dua
tingkat di atas standar kemayaan. Jadi sangat mustahil bagi pihak kerajaan mana
pun, meskipun Kerajaan Tucapenbath sekali pun yang dipenuhi dengan berbagai
akademisi dan praktisi teknologi dari berbagai kerajaan yang direkrut menjadi
tim rekayasa mereka, mampu mendeteksi kami.
“Bagaimana bila kita memantau
langsung ke berbagai pelosok wilayah Kerajaan Gemrilozi sebelum ke istana?”
Tanyaku kepada mereka meminta persetujuan.
“Ide yang bagus, Ksatria,” sahut
Kapten Rayzor yang juga disetujui doktor cantik dengan anggukan.
“OK.”
Pesawat kami berkeliling di atas
berbagai wilayah yang dijaga ketat oleh berbagai pasukan patroli. Sesuai dengan
kalkulasi rekayasa pesawat kami benar saja bahwa kami tidak dapat terdeteksi,
meskipun mereka membawa peralatan detektor mutakhir mereka, tapi mereka tak
dapat menemukan jejak keberadaan pesawat kami yang sesekali sangat dekat
posisinya dengan mereka.
Setelah merasa yakin seluruh wilayah
kerajaan telah habis porak-poranda dan kini hanya tinggal puing-puing sisa
sejarah kebesaran kerajaan ini, kami langsung melesat ke areal target, yaitu
ruang kabin rahasia. Letak dan posisinya tepat berada di sayap tengah atau
sayap utama dari istana induk beberapa mil di bawah permukaan laut. Modus
pesawat kurubah ke posisi level empat sehingga ia mampu berubah seperti zat
cair yang merembes dan menembus ke kedalaman dan kepekatan dasar di bawah alam
ini. Tanpa adanya kesulitan kami mencapai ruang rahasia induk dan pesawat kami
seperti sudah sangat akrab dengan lingkungannya karena setelah radius satu juta
osh pesawat telah dikemudikan secara otomatis melalui kendali gravitasi kabin
terhadap pesawat.
“Ayo, bentuk formasi untuk mengakses
pintu masuk hingga kunyatakan kalian aman. Bagaimana pun, kita harus tetap
waspada,” ajakku kepada mereka mengkomando.
Mereka menuruti pembentukan formasi
yang kuatur, agar mereka masuk dan menyatu ke dalam perisai diriku. Aku akan
merubah modus perwujudanku menjadi Modus Empat yang akan mampu melakukan
metamorfosa sesuai keinginanku. Kuprogram agar sang kapten dan doktor tetap
berada di kabin sayap kanan-kiriku, sementara kabin atas tetap tak berawak. Kulapisi
seluruh tubuhku dengan perisai tubuh antisenjata dan deteksi sehingga kini
perwujudanku bagaikan sebuah robot besar berlapis besi baja antirudal dan misil.
Setelah kulihat mereka telah duduk dengan nyaman di kabin masing-masing,
kutinggalkan pesawat di hanggar melingkar dan dengan kode akses pembuka
kumasuki pintu masuk kabin rahasia ini.
“Dok, Kapt., aku melihat sebuah
laboratorium pada sebuah kabin. Kita akan menuju ke sana sekarang. Dan
bagaimana menurut kalian?”
“Aku juga melihat status tingkat
keamanan yang sangat bagus, Ksatria,” jawab kapten.
“Benar. Status terbaca pada tingkat
Sangat Aman,” balas sang asisten profesor itu kepadaku.
Setelah selesai berkoordinasi untuk
memastikan ruang kabin dalam kondisi status yang memungkinkan bagi kami untuk
melakukan penetrasi ke pusat kabin rahasia induk ini, aku mencoba berkomunikasi
dengan mereka yang ada di dalam tubuhku itu. Setelah aku berada di dalam
laboratorium dan mencoba mendeteksi lingkungan sejenak, aku menjadi yakin bahwa
situasi telah aman bagi mereka beradaptasi di ruang ini. Selanjutnya kurubah
diriku terlebih dahulu menjadi modus normal dan kuperhatikan kapten dan doktor
itu telah berada di sisi kanan dan kiriku. Kami langsung berpencar sesuai
pembagian rencana tugas yang telah kususun dan kami sepakati.
Dr. Biodenti menuju ruang sensor
kendali dan Kapten Rayzor menuju pusat kendali pangkalan strategi. Mereka
nampak cukup sibuk mempersiapkan segala perencanaan yang telah kuatur sewaktu
di goa itu. Namun, tiba-tiba Dr. Biodenti berseru.
“Aku menangkap sinyal tentang sebuah
sosok tergeletak jauh bermil-mil di atas permukaan di reruntuhan puing-puing
istana.”
“Benar. Kondisinya pada status
sangat aman dari detektor,” sambung kapten.
“Baik. Kita merapat sekarang,”
perintahku kepada mereka untuk membentuk formasi.
Kemudian kami berjajar menggunakan
tenaga sensor bersama-sama di kabin laboratorium untuk mengidentifikasi lebih
jauh. Tak berapa lama kami telah mendapatkan keterangan dan menurut doktor
bahwa ia adalah Pak Satria, ayahku, yang tertimbun puing-puing reruntuhan sejak
penyerangan Kerajaan Tucapenbath. Menurut data hasil analisanya, kondisi
terakhir masih bertahan sangat bagus karena kekuatan yang telah
ditrasnformasikan pada waktu itu secara otomatis memasuki status vakum.
Sehingga pihak musuh tak mampu mendeteksi keberadaannya dan tingkat daya tahan
hidupnya masih sangat prima. Penghitungan mundur telah diatur dan mencapai
angka nol di layar monitor, kemudian kami melakukan penyensoran dan pengkodean
sistem secara bersama-sama, diakhiri dengan penekanan enter dan ruang kabin
kini sudah ditempati oleh sesosok manusia yang tak asing lagi bagi kami. Aku
memang tak mengenali lagi sosok tersebut yang muncul secara cepat mulai dari
kepala, tubuh dan kedua tangan hingga ke kedua kakinya. Karena kulihat wajahnya
jauh lebih muda dan bertubuh sangat gagah dan tegap dengan tubuh berisi dan
berotot. Melihat keherananku, sang asisten profesor itu pun menjelaskan.
“Beliau adalah papa Anda, Ksatria.”
“Ya…. Aku hampir tak mengenalianya.
Kecuali rambut, raut wajah dan lehernya yang masih kuingat jelas.”
“Syukurlah, beliau selamat,” ujar
Kapten Rayzor.
Bagian tugas selanjutnya langsung
ditangani oleh sang doktor. Ia sempat berkata bahwa sang papa sedang
beradaptasi beberapa detik sebelum siap memasuki alam kehidupan nyata kembali.
Lalu ia melakukan penyegaran dan revitalisasi ke tubuh papa dengan melakukan
penyensoran dan pengkodean sistem revitalisasi. Tak berapa lama kemudian
kulihat papa membuka kedua kelopak matanya seperti halnya bangun dari
tidurnyanya yang lama. Ia menatap kami satu-persatu secara bergantian
seolah-olah tak percaya. Papa sepertinya tidak mengenali diriku dan aku masih
belum berani mendekatinya karena kau khawatir membuat papa terkejut. Lalu
kulihat sang asisten mendekat dan mencoba menuntun papa melangkah keluar dari
kabin tersebut. Benar saja, ia seperti seorang pemuda sepertiku pada masa-masa
keperkasaannya seorang pemuda. Jalannya sangat tegap dan gagah sekali. Sambil
berjalan ia mengingatkan kembali dengan Kapten Rayzor yang beberapa waktu lalu
di laboratorium istana di atas permukaan sana membantu proses
pentransformasiannya. Terakhir ia juga memperkenalkan kepadaku bahwa aku
dahulunya adalah Aga si balita puteranya dan mengingatkannya bahwa ia dan aku
kini menjadi mitra.
Aku langsung memeluk papaku, dan
papa terlihat menangis seolah tak mempercayai pertemuan yang tak
disangka-sangkanya ini. Meskipun fisik kami mengalami perubahan sedemikian
rupa, namun hati dan ikatan batin kami tak akan mampu terganti oleh atau dengan
alat atau teknologi semutakhir apa pun. Ini sangat kusadari fakta bahwa aku
adalah putera papaku dan beliau adalah tetap seorang papa bagiku. Aku pun
menjadi sangat terhanyut oleh pertemuan kami, kusadari bahwa kami telah berbeda
penampilan tapi aku sangat yakin dengan sanubariku yang tak dapat kubohongi
bahwa ia adalah papaku.
Kulihat Dr. Biodenti dan Kapten
Rayzor pun ikut terbawa dan terhanyutkan suasana kami, sehingga mereka berdua
pun sempat menitikkan airmata. Kami kembali duduk di sebuah kabin sambil
mengobrol kisah dan kenangan kami masing-masing. Terkadang aku tertawa
terpingkal-pingkal dengan ulah papa yang tetap sering melucu dan menggodaku
dengan panggilan-panggilanku sewaktu menjadi seorang anak kecil di dunia asal kami
dahulu. Kedua orang itu pun ikut tertawa mendengar polah tingkah kami yang
sedemikian akrabnya dan terkadang mereka saling menatap, lalu kembali ikut
tertawa terpingkal-pingkal. Di sela-sela obrolan kami, sang asisten
menghidangkan minuman dan makanan buat kami berempat. Sehingga menambah betah
dan akrab perbincangan ini sambil makan dan minum menikmati hidangan dengan
suasana hangat seperti ini. Sesekali secara bergantian sang kapten pun dan sang
asisten bercerita tentang kehidupannya yang terpisah dari kedua orang tua dan
saudara-saudaranya demi tugas dan pekerjaannya di istana kerajaan yang bagi
mereka merupakan panggilan mulia dan sangat diidam-idamkan oleh setiap warga
kerajaan.
Jika kuperhatikan sang kapten yang
gagah dan atletis, berani dan tampan dan sang asisten yang sangat cantik,
cerdas dan seksi dengan tubuh semampai merupakan paduan pasangan yang sangat
serasi dan ideal. Jika kutaksir usia mereka berdua tidak jauh terpaut, hanya
mungkin sang kapten lebih tua sekitar empat atau lima tahun. Satu hal yang
paling menarik dari sang kapten yang kurang lebih menjelang usianya di
tigapuluh limaan dan sang asisten di usia tigapuluhan itu adalah kesetiaan pada
pengabdian tugasnya di usia yang relatif masih muda. Kecerdasan dan kejeniusan
mereka di bidang masing-masing yang membuahkan prestasi tinggi didedikasikan
bagi kemaslahatan kerajaan tanpa memikirkan keakuannya.
“Hebat kedua orang ini,” ungkapku
dalam hati atas kekaguman kepada mereka berdua.
Bahkan mereka memiliki patriotisme
yang masih jarang dimiliki sebagian besar para pemuda di dunia asalku yang
kebanyakan bagaimana bisa mendapatkan posisi bagus di sebuah instansi
pemerintah dengan gaji naik secara berkala dan mendapatkan tunjangan pensiun di
masa tua. Terserah apakah aku bisa berprestasi atau tidak yang penting aku
sudah hadir di kantor atau tempat kerja. Kerja keras itu nomor sekian.
Idealisme atau apalagi patriotisme itu telah menjadi semboyan dan isapan jempol
menjadi cemoohan. Jika ada yang berani mengatakan atau mengungkapkan sesuatu
pandangan atau prinsip tertentu pada porsinya dibilang sok idealis!
“Hari geeneee masih berpikir kayak
begeeetooo, ke laut aje….” Begitu
kukira yang sering terpikir dan terlontar dalam benak dan ironisme pemuda di
dunia asalku.
“Para pejabat saja sudah menjadi
tradisi mementingkan diri sendiri meskipun harus dengan jalan korupsi,” ujar
seseorang suatu kali di sebuah angkot
bernada pesimis melihat kondisi saat itu.
Tapi, para pemuda yang direkrut
istana kerajaan ini merupakan bukti otentik memegang prinsip kebesaran jiwanya:
Bukan apa yang bisa kudapatkan dari kerajaan, tapi apa yang bisa kupersembahkan
baginya! Itu jelas tercermin dari kedua insan di hadapanku ini. Mereka tidak
lagi merasa gelisah atau resah memikirkan kehidupan pribadinya sendiri, lebih
dari itu mereka bekerja keras saling-membahu membangun negeri. Tidak memilih
berkarir lebih menghasilkan banyak uang untuk kehidupannya, tapi berlomba siapa
yang mampu lebih berjasa bagi negerinya. Kupikir budaya ‘bersih’ di kerajaan
ini sangat jelas. Mereka direkrut karena kelebihan dan kecakapan dalam bela
kerajaan, bukan direkrut karena kemampuan besaran nominal yang mereka sodorkan
kepada pejabat kerajaan agar dapat diterima di instansi kerajaan mereka. Yang
senior tidak menerapkan praktik itu dan si junior tidak akan berani mencoba ‘menggoda’nya.
“Posisi Pak Satria kini sudah jelas
sekarang, ‘kan? Anda berada di sayap
kanan, Ksatria. Pada waktunya nanti sayap kiri akan diisi dengan Kemal dan
sebelah atas oleh Nandya,” papar sang asisten tegas.
Kalimat sang asisten sempat
membuyarkan khayalanku, namun dapat kusembunyikan dengan baik. Lalu kami
melanjutkan tugas masing-masing dengan membentuk formasi mempersiapkan langkah
selanjutnya. Fase-fase berikutnya sesuai rencana yang telah jauh diatur
sebelumnya oleh sang profesor yaitu rencana cadangan yang disepakati di goa
persembunyian itu untuk tetap dilangsungkan di ruang rahasia ini.
Kendali perencanaan di laboratorium
ini dipimpin langsung oleh Doktor Biodenti yang lebih banyak menguasai tatacara
dan tatatertib tugas dan kewajibannya, karena ia telah terbiasa dengan
rutinitasnya sewaktu bekerja sama dengan Profesor Cherpantulas. Ia mempersiapkan
segala sesuatu secara teknis dan petunjuk pelaksanaan dalam rangka
pentransformasian kedua tokoh berikutnya: Kemal dan Nandya. Kulihat ia cukup
sibuk dan sigap dalam pengkondisian calon yang akan diakomodasikan mulai dari
satu penjadualan mobilitas kamar tidur masing-masing, menuju ke ruang kerja Pak
Satria sebagai sentral transformasi hingga ke dunia mayapada ini. Bila
diperhatikan seluruhnya dikerjakan dengan kalkulasi rasional dan matang,
meskipun perbedaan masa dan durasi masinng-masing alam yang berbeda rentangnya.
Terakhir aku mendapatkan gambaran
tentang keberadaanku di sini baru melewati sekitar satu atau dua hari saja,
sementara di dunia asalku kepergianku telah berlalu sekitar tiga tahun. Itu
berarti ditambah perjalanan papa yang relatif sama, tiga tahun waktu di bumi.
Dan kini aku sudah genap sekitar enam tahun petualanganku di sini! Wow!
Sementara aku baru satu hari lebih. Perbedaan waktu yang cukup signifikan,
kupikir.
“Akh….Aku
tak merasa waktuku tersita di sini. Malah
aku semakin bertambah dewasa dan bertambah luas cakrawalaku dalam mengenal
kehidupan lain,” pikirku dalam hati sesaat sang profesor itu bercerita
berdasarkan berbagai penemuan yang ia kaji dan kembangkan.
Setelah
itu aku malah berpikir lebih positif
dalam bertindak dan dewasa dalam berekspresi karena tanggung jawabku sebagai Sang Terpilih bagaimana pun harus
kuemban sebagai sebuah tugas mulia dalam membela kebenaran dan menumpas
kezaliman. Karena kini kuyakini bahwa yang hak adalah hak dan bathil adalah
bathil merupakan dua perbedaan nyata dan jelas bagaikan dua warna: putih dan
hitam, tak akan tertukar, kecuali buta warna. Di duniaku yang baru, semangat
itu terus berkobar dan terbakar motivasi pada rotasi porsi yang proporsional.
Ini bahkan kujadikan jihad suci yang bukan mengenyampingkan rasionalitas
manusiawi. Aku seolah seperti dididik menjadi manusia universal, dan tidak ortodoks dan taklid buta. Aku memang benci
dengan Kerajaan Tucapenbath, tapi bukan pada rakyatnya, tapi pada kezaliman
sang raja. Tabiat sang raja yang harus kutumpas terlebih dahulu, bila
memungkinkan kuamankan fisiknya. Aku akan mencoba dan berusaha tak melukainya,
karena kuyakini aku bukan seorang hakim yang menentukan ia harus mati atau
hidup di tanganku. Secara psikologis, kupikir kezalimannya itu pasti bersumber
dari nafsu yang tak dapat dikendalikan oleh sang raja sendiri. Karena ia telah
dibutakan oleh ambisi keangkaramurkaannya. Di samping kekuatan alam yang
dianugerahkan Tuhan Yang Maha Berkuasa kepadaku melalui kecerdasan dan
kejeniusan sang profesor dan para asistennya dalam mengembangkan proses
berpikir yang menjadi anugerah bagi mereka dari-Nya, lalu kenapa aku harus
berambisi langsung membunuh sang raja? Akan kucoba menyadarkannya, agar ia
menemukan jalan hidayah untuk bertobat kepada-Nya! Kalau tidak, demi membela kebenaran
dan keadilan dan diriku, aku pun terpaksa melakukannya demi mengagungkan Nama Baik dan Kesucian-Nya.
0 komentar :
Posting Komentar