Fatsal 12
Penyerbuan Maut
Suasana yang biasanya gelap pagi buta di kawasan markas
angkatan bersenjata istana Kerajaan Tucapenbath lengang kini daratan berubah
penuh hiruk-pikuk oleh deru derap personil pasukan tentara berkumpul dan tank
kendaraan perang lapis baja, helikopeter, beragam pesawat tempur serba
mutakhir; di perairan telah menunggu komando beragam jenis dan ukuran kapal
perang. Mereka
membentuk barisan tengah bersiap-siaga yang dilengkapi pula dengan berbagai
jenis dan ukuran persenjataan masing-masing. Meskipun memiliki beragam warna
dan corak, bentuk seragam kebesaran terkenal pasukan ulat bulu cagak berbisa menambah
keangkeran suasana sat itu. Genderang perang bertalu-talu dan sesekali
berdentum hebat, dan terompet melengking bersahut-sahutan ke seluruh tempat
terbawa semilir angin semakin menambah seram orang yang mendengarnya.
Seluruh rakyat penduduk kerajaan
diliburkan dari sekolah dan perkantoran, kecuali bagi mereka yang diwajibkan
menjadi sukarelawan dan sukarelawati yang telah terlebih dahulu bergabung pada
angkatan perang yang telah ditentukan masing-masing. Raja mereka memang telah
menetapkan bahwa hari ini adalah hari penyerbuan dan peperangan mendadak secara
besar-besaran ke kerajaan tetangga mereka di kawasan itu. Hal itu telah
dimaklumatkan oleh sang raja melalui berbagai media massa yang salah satunya
disiarkan secara langsung melalui jaringan penyiaran ke seluruh penjuru negeri.
Setelah Jenderal Tansulbahsa
menerima laporan dari berbagai angkatan perang bahwa segala persiapan dan
kesiagaan telah lengkap, maka sang jenderal mengkomandokan dalam tiga kali
aba-aba untuk berangkat membentuk formasi yang telah ditentukan masing-masing.
Perang kali mengemban misi raja yaitu membumihanguskan Kerajaan Gemrilozie
tanpa sisa, menangkap atau membunuh seluruh pasukan musuh dan rakyat, dan
menangkap hidup-hidup raja dan para pembesarnya atau membunuhnya dengan membawa
mayatnya ke hadapan rajanya.
Setelah aba-aba kedua diterima
setiap angkatan, seketika seluruh awak dan tentara memasuki kendaraan perang
mereka. Aba-aba terakhir merupakan pertanda seluruh kendaraan perang memasuki
modus lenyap dari pandangan mata dan suasana seperti kosong dan lengang. Sangat
kontras sekali dengan beberapa detik sebelumnya keadaan begitu sangat bising
dan penuh dengan hiruk-pikuk berbagai macam derap, suara dan bunyi-bunyian
berubah seperti menjadi kosong dan hampa seolah-olah tidak pernah terjadi
apa-apa.
Setelah melewati beberapa wilayah
kerajaan yang telah mereka taklukan sebelumnya hingga dalam beberapa menit saja
sampailah di perbatasan wilayah Kerajaan Gemrilozie mereka berhenti, menyiapkan
ulang dan menunggu komando puncak dari sang jenderal. Tiba-tiba dari alat
komunikasi yang mereka miliki, masuk sebuah perintah sang jenderal ke setiap
angkatan perang masing-masing.
“Siapkan detektor peredam
antimata-mata dan aktifkan sekarang! Kita akan melesat masuk dan menyelusup ke
pusat istana kerajaan setelah selesai hitungan mundur pada monitor masing-masing!”
Aturnya dengan suara tegas.
Semua angkatan perang yang menanti hitungan
mundur telah bersiap-siap pada setiap posisi untuk menuju ke pusat kerajaan
lalu berpencar dan menyebar ke berbagai wilayah kerajaan. Setelah hitungan
mundur tersebut mencapai titik nol, mereka langsung melesat dari berbagai
penjuru ke arah yang sudah ditetapkan. Maka dalam hitungan detik seluruh tempat
di pusat istana kerjaaan telah porak-poranda terkena hantaman berbagai jenis
peluru dan bahan peledak berkekuatan tinggi. Pesawat sang jenderal masih dalam
modus tak terlihat mata mendekat ke kediaman sang raja musuh mereka dan mencari
posisi untuk mendarat, sementara beberapa pesawat lain mengawal dan mengintai
dari jarak lain dan sebagian besar pesawat lain telah meninggalkan lokasi
istana menyebar ke tempat-tempat yang menjadi sasaran dan target
pembumihangusan.
Seluruh pesawat yang bertugas
penghancuran ke seluruh penjuru negeri di luar istana kerajaan kini telah
kembali setelah memastikan tidak ada lagi yang tersisa di sana dan
melaporkannya kepada sang jenderal. Segala fasilitas instalasi kerajaan dan
rakyat telah diredam di berbagai wilayah sehingga tidak bisa lagi terjalin
komunikasi dan transportasi yang dikhawatirkan dan dipastikan sebagai celah bagi
seorang pun korban hidup untuk melarikan
diri. Lalu mereka merapatkan barisan untuk mengepung kawasan istana kerajaan. Beberapa
pesawat mulai melakukan aksi tembak-menembak baik dengan senjata ringan maupun
berat, sehingga desing peluru dan bom bertenaga sangat tinggi saling berdentum
keras saling menabrak dan menghantam. Namun jumlah mereka sudah terlalu banyak
bagi pihak Kerajaan Gemrilozie untuk melakukan perlawanan dan pertahanan diri,
sehingga hal yang sangat mudah menaklukkan pusat istana.
Beberapa pasukan yang dipimpin sang
jenderal sendiri segera menyebar memasuki ruang istana dan tak berapa lama menyeret
ke luar Raja Aribi Dilwiba dengan paksa sembari menyiksanya dengan kejam karena
ia sempat memberikan perlawanan dan ingin mencoba melepaskan diri. Beberapa
perwira lain pun yang ikut masuk menerobos masuk bersama atasannya kemudian ke
luar kembali sambil menarik atau menyeret beberapa korbannya ke arah sang
jenderal. Mereka mengumpulkan dan menyatukan para sandera di sana. Kini selain
sang raja, permaisuri dan beberapa selir, beberapa putera dan puteri mahkota
dan sebagian pembesar istana meringkuk terluka akibat serangan mendadak yang
sangat dahsyat tersebut. Dalam hati sang raja menangis memikirkan nasib
rakyatnya yang menjadi korban keserakahan dan kebuasan kerajaan tetangganya
itu. Namun ia hanya terus pasrah dan menunggu tak berdaya setelah mengetahui
seluruh penjuru negeri berhasil ditaklukkan dan ditumpas oleh musuh besarnya
ini. Bahkan yang lebih memilukan hati dan perasaannya adalah sang ksatria yang
pasti telah tewas tak sempat menghindari serangan yang begitu tiba-tiba
kemunculannya itu. Ia terus berpikir betapa hebatnya penderitaan sang ksatria
bersama pengiringnya di salah satu tempat terkena hantaman serangan
persenjataan musuhnya ini dan hancur terkapar berserakan. Sang raja semakin sedih
dan menangis meneteskan airmata mengetahui bahwa ia belum sempat bercerita
banyak tentang sisi kehidupan keluarga istana dan beragam penduduk yang menjadi
rakyatnya, belum lagi tentang kekejaman dan kebrutalan pihak Kerajaan
Tucapenbath yang telah terkenal dengan tirani kepemimpinan sang raja seantero
kawasan. Hatinya merasa pilu dan teriris membayangkan kematian sang ksatria dan
para pengiringya di saat ia baru saja akan memulai pengenalan di dunianya yang
baru ini. Kini ia merasa berputus asa karena kematian sang ksatria yang
seharusnya menjadi tumpuan kerajaan pun kini harus tewas mengenaskan seperti
rakyat lainnya. Ia berpikir pasti mereka tak sempat berlindung atau
mempertahankan diri karena serangan mendadak yang begitu hebat dan dahsyat. Bahkan
ia lebih merasakan penderitaan tatkala tak satu pun dari sekian banyak korban
serangan di istana sosok Pak Satria di antara mereka.
“Akhh….malangnya
nasib Pak Satria yang begitu saja raib setelah penyerangan ini!”
Rasa bersalahnya pun menjadi kian besar
mengingat kemungkinan hancurnya tubuh terserang senjata mutakhir mereka, karena
bila tepat mengenai tubuh siapa pun pasti akan terlumat hancur tak kenal ampun.
Terbayang penderitaan orang tua Sang Ksatria itu ambruk terkena hantaman
senjata sinar berkekuatan jutaan terrasensor yang mematikan. Pastilah ia kini
telah binasa entah di mana dalam compang-camping wajah istananya yang dulu
begitu megah dan gagah yang begitu terbuka bagi kepentingan rakyat mengadu dan
berkeluh-kesah kepadanya sekali pun.
Sebelumnya ia sering mendengar bahwa
kerajaan-kerajaan lain yang telah ditaklukkan oleh Kerajaan Tucapenbath pasti
akan melakukan perlawanan sengit dan terjadi pertempuran di kedua pihak karena
penyerbuan mereka selalu mampu terdeteksi alarm satelit pengintai mata-mata
kerajaan mana pun. Tapi, itu tidak terjadi di sini, bahkan tidak ada tanda-tanda
apa pun yang mencurigakan dari berbagai penjuru bidang pertahanan dan keamanan
kerajaan yang mengindikasikan adanya pergerakan tertentu dari arah mana pun.
Ini pasti hasil teknologi terbaru kerajaan tersebut yang telah berhasil
menemukan dan mengembangkan suatu teknologi antimata-mata.
Kesedihan dari raut wajah sang raja
semakin nampak ketika ia membayangkan wajah-wajah rakyatnya yang berguguran menjadi
korban penyerangan secara biadab dan tak berkeperimanusiaan tersebut. Semua
wajah polos mereka sangat jelas tergambar di pelupuk matanya datang silih
berganti menangis, berteriak, menjerit, mengaduh, dan meminta pertolongan
dengan penuh kepiluan. Wajah bayi yang bergelimpangan terpisah dari orang
tuanya, anak-anak yang sedang bermain riangnya, para pekerja yang sedang sibuk
melakukan berbagai aktifitasnya di ruang kerja mereka, ibu-ibu yang sedang
mengerjakan segala kebutuhan rumah tangga menunggu kehadiran anggota keluarga
lain kembali dari perkumpulan belajar atau perkantoran, orang-orang tua yang
sedang bercengkrama menceritakan masa-masa muda mereka yang penuh suka-duka
menjadikan ia tak kuat lagi menatap dan berharap kehidupan selanjutnya di
tengah-tengah kepungan pasukan musuh yang siap mengantarkan mereka semua kepada
kematian. Sambil berjalan beriringan terhuyung-huyung akibat luka yang sangat
pedih di hampir sekujur tubuhnya itu, dan malah
ia melihat ada beberapa yang diseret paksa pasukan atau ditembak di tempat,
karena mereka mencoba melakukan perlawanan atau mencoba melepaskan diri, tak
kuat atas perlakuan dan penyiksaan terbayang lagi gambaran luluh-lantaknya
perkotaan yang telah lama ia dan rakyatnya bangun.
Di sela-sela langkah gontai kaki dan
tangannya yang terikat kuat, ia melihat sang jenderal pun tidak bernasib lebih
baik dari dirinya. Bahkan wajah sang profesor tercinta hampir tak dapat ia
kenali kembali akibat siksaaan yang diterima mereka. Mereka tetap tak mau
membocorkan segala rahasia terpenting kerajaan yang terus mereka telah abdikan
dan pertahankan selama ini. Mereka terlihat begitu ikhlas menderita daripada
harus berkhianat dari raja dan tanah airnya. Meskipun mereka melihat jelas satu
atau dua orang perwira tinggi pasukan atau asisten laboratorium Kerajaan Gemrilozie dibantai secara keji
di hadapan mata-kepala mereka sendiri. Hanya keluarga raja yang sedikit
bernasib sedikit menguntungkan karena mereka tidak banyak berkaitan dengan
pertanyaan dan interogasi di sepanjang langkah mereka menuju pesawat pengangkut
tawanan.
Mereka kini merasa terkoyak dan
tercabik-cabik hati dan perasaannya, melihat perlakuan dan penghinaan yang
begitu besar atas kedaulatan di negeri mereka sendiri. Namun, mereka kini tidak
lagi merasa takut dan gentar sekali pun mati terhujam peluru atau senjata apa
pun yang digunakan untuk membinasakan mereka. Mereka hanya pasrah menunggu
nasib apa yang akan mereka terima setelah yakin kekuasaan telah direbut dan
dirampas di tangan musuh mereka. Kepasrahan itulah yang membuat mereka masih
tetap selamat, meskipun dalam kondisi yang sangat memprihatinkan menuju pesawat
itu. Mereka tinggal selangkah lagi masuk ke pintu pesawat satu-persatu dengan
dorongan, hempasan, seretan, pukulan dan tendangan bahkan sayatan dan irisan
senjata yang menambah kucuran darah pada tubuh, rerumputan dan tanah atau
bebatuan yang mereka lewati.
Dari jendela pesawat sebelum lepas landas, sang
raja masih sempat melihat korban bergelimpangan mengenaskan di areal istana
kerajaan yang sangat ia cintai itu. Sebagian punggawa dan pengawal setia istana
tewas memilukan hati di mana mata mereka mendelik akibat terhujam senjata
panas. Pesawat masih belum meninggi dan melaju dengan kecepatan penuh, ketika
masih terlihat pepohonan di taman dan danau indah berguling, dan menyibakkan
airnya ke pinggiran, dan dedahanan merobek bibir-bibir danau bergincukan darah,
dan banyak korban yang terhempas hingga ke sana. Gedung-gedung dan rumah-rumah ambruk
tak berbentuk seolah ingin merebahkan diri kelelahan di atas pembaringannya. Sisa-sisa
pepohonan yang masih berdiri meranggas terhempas sambaran mesiu, peledak, rudal
dan misil bak pengemis berpakaian compang-camping tak kuat berdiri karena tak
kuat menahan rasa dahaga dan lapar yang begitu hebat. Di langit awan bersemu
kelam menampilkan wajah kecut, ikut memendam kebencian terobek dan tercabiknya
kepolosan wajah perawan yang sebelumnya masih malu-malu. Kini tinggal kelihatan
coreng-morengnya saja ingin lekas menjerit, menangis dan meneteskan air mata
kemurkaannya.Prolog | Daftar Isi | Fatsal 1 | Fatsal 2 | Fatsal 3 | Fatsal 4 | Fatsal 5 | Fatsal 6 |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Fatsal 7 | Fatsal 8 | Fatsal 9 | Fatsal 10 | Fatsal 11 | Fatsal 12 | Fatsal 13 | Fatsal 14 |
Fatsal 15 | Fatsal 16 | Fatsal 17 | Fatsal 18 | Fatsal 19 | Fatsal 20 | Fatsal 21 | Fatsal 22 |
Fatsal 23 |
0 komentar :
Posting Komentar