Fatsal 4 Pertemuan Keluarga Besar
Kini di sebuah ruangan yang cukup luas
tepatnya tanggal tujuh April dua ribu empat belas, tiga tahun sejak kepergian
Aga, tepatnya sejak menghilangnya secara misterius putra ketiga si bungsu
keluarga pasangan Pak Satria dan Ibu Ningsih menjadikan mereka sangat
menderita.
Kedua orang tua itu yang hanya ditemani Nandya
puteri sulung, sembilan belas tahun, mahasiswi salah satu perguruan tinggi
negeri di Jakarta, dan Kemal putera kedua yang merupakan kakak atau aa Aga, tiga belas tahun, pelajar kelas tiga
belas di salah satu sekolah menengah pertama negeri di kota Depok, telah banyak
melakukan upaya berbagai macam cara agar dapat menemukan si bungsu Aga adik
kedua kakak-beradik tersebut, bahkan hingga saat ini.
Mereka terlihat sedang berkumpul untuk
kesekian kali membicarakan segala kemungkinan agar bisa mendapatkan informasi
baru atau perkembangan lain tentang keberadaan Aga. Kedua orang tua itu dan
kakak-beradik duduk merenung dikelilingi seluruh om dan tante: Yudi, Andry, Dony, Joe, Aldi, dan tante Riana, Maya,
Dewi dan Rani. Terdengar berbicara satu sama lain. Ada yang berkelompok empat,
tiga dan dua.
“Kak
Satria udeh coba dapetin info lain dari internet, mungkin ada pemberitahuan orang
hilang, misalnya?” Tanya Andry yang duduk tidak jauh dari kakak iparnya memecah
pembicaraan masing-masing.
“Udah,
tapi emang belom ada petunjuk apapun
tentang keberadaan Aga,” jawab Pak Satria agak tak bersemangat.
“Bahkan Kak Satria juga sudah coba datengin
lagi ke beberapa kantor di Kota Depok…… sekedar mencari info terbaru atau
mengingatkan mereka tentang laporan kehilangan tiga tahun lalu, agar terus
membantu melacak keberadaannya,” paparnya lagi menjelaskan.
Suasana kembali hening sebentar lalu
kembali agak gaduh karena mereka berbicara secara berkelompok membicarakan
kemungkinan-kemungkinan lain sendiri-sendiri.
“Begini….adik-adik,” tiba-tiba Pak
Satria mencoba meminta perhatian untuk melanjutkan kata-katanya dengan sebutan
‘adik-adik’, karena ia merupakan saudara tertua dalam pertemuan keluarga besar
ini.
“Rasa-rasanya
kita sudah berupaya keras agar dapat menemukan Aga kembali, bahkan sampai hari
ini. Saya dan keluarga akhirnya hanya bisa pasrah dan ikhlas saja, jika ia
memang akhirnya tak akan kembali, meskipun masih terus berharap dan berusaha
semampu kita.”
Kata-katanya tak dapat ia lanjutkan
karena terlihat wajahnya berubah sendu dan sambil berusaha tetap tegar.
“Saya juga mohon kepada seluruh saudara
yang hadir di sini untuk tetap membantu mencari informasi apapun yang mengarah
kepada petunjuk-petunjuk baru,” ungkapnya menambahkan.
“Baiklah….karena waktu juga sudah
semakin sore, saya mohon kita menutup pertemuan kali ini dengan doa seperti
biasanya untuk kesehatan dan keselamatan Aga khususnya….dan kita yang hadir di
sini umumnya,” paparnya mencoba mengakhiri dan menutup pertemuan keluarga itu.
Merekapun berdoa bersama secara khidmat
dan ikhlas yang saat itu dipimpin oleh Om
Joe, saudara tertua kedua. Terlihat juga seluruh sepupu ada yang menitikkan air
mata mengungkapkan rasa sedih yang mendalam, Irsyad, Andra, Dafa, Alya bahkan
Fathan yang termuda pun akhirnya ikut terisak seolah teringat kenangan mereka
dulu bersama saudaranya, Aga. Mereka akhirnya berpisah diikuti dengan rasa haru-biru
yang begitu mendalam.
Tinggal mereka berempat merasa sepi
kehilangan salah satu putera kesayangan mereka, si bungsu Aga. Pernah suatu
kali kakaknya yang biasa dipanggil aa yang juga sedih sekali kehilangan adik,
teman dan saudara muda sekandung biasa sering bermain, bercanda bersama dan
berselisih itu, berujar kepada papanya, Pak Satria,
“Pah,
kita jalan ke mana keq, yuk….siapa
tahu bisa ketemu Aga atau ada orang yang memberitahu di mana adanya.”
“Mah,
Kemal ikut ya, ke sekolah tempat mama ngajar,
kali aja bisa ngeliat Aga dari jendela angkot….”
Pintanya suatu kali kepada mamanya yang sedang bersiap-siap berangkat mengajar
di suatu pagi.
Bahkan tidak jarang salah satu dari
mereka bermimpi melihatnya sedang bermain, bercanda, duduk, berdiri atau dituntun
bersama seseorang di suatu tempat keramaian atau tempat terpencil, sehingga
dalam tidur atau mimpi mengigau dengan memanggil-manggil atau berteriak nama
adik atau puteranya tersebut.
“Aga! Aga! Aga!! Mah, pah itu Aga di sana lagi bediri…..”
teriak Kemal dalam suatu tidurnya mengigau dengan meneriak-neriakkan nama
adiknya berulang-ulang.
Pak Satria dan Bu Ningsih terbangun dan
membangunkan Kemal, lalu mengingatkannya bahwa ia sedang bermimpi dan mengigau.
Kemudian ia menceritakan di dalam mimpinya tentang adiknya tersebut. Hal itu pun
terjadi tidak saja pada Kemal, kakak sulung, Nandya yang tidak kalah besar
dalam menyayangi adiknya tersebut mengalami hal serupa, termasuk mama dan papa
mereka. Mimpi-mimpi melihat atau bertemu dan berbicara dengannya selalu
menghantui malam-malam mereka hingga beberapa tahun terakhir. Kenangan dengan
si bungsu kecil yang cerdas, cerdik, lucu dan tampan itu memang terlalu manis
untuk dilupakan dan terlalu indah untuk dikenangkan.
Malam harinya sekitar pukul sembilan belas tiga
puluhan terlihat Pak Satria, papa Aga, duduk termenung sendirian di ruang itu.
Tepat di kursi tiga tahun lalu saat Aga memasuki dunia petualangannya pertama
kali yang tak disengajanya itu. Namun, siapa yang menyangka di dunianya kini
entah di mana ia telah menjadi The Chosen,
Pahlawan Penyelamat di suatu kerajaan
yang kini hanya diketahui dan dialami sendiri oleh Sang Pembebas di sebuah wilayah yang disebut Kerajaan Gemrilozie.Prolog | Daftar Isi | Fatsal 1 | Fatsal 2 | Fatsal 3 | Fatsal 4 | Fatsal 5 | Fatsal 6 |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Fatsal 7 | Fatsal 8 | Fatsal 9 | Fatsal 10 | Fatsal 11 | Fatsal 12 | Fatsal 13 | Fatsal 14 |
Fatsal 15 | Fatsal 16 | Fatsal 17 | Fatsal 18 | Fatsal 19 | Fatsal 20 | Fatsal 21 | Fatsal 22 |
Fatsal 23 |
0 komentar :
Posting Komentar