Senin, 05 Januari 2015

Fatsal 4 Pertemuan Keluarga Besar





Fatsal 4 Pertemuan Keluarga Besar

Kini di sebuah ruangan yang cukup luas tepatnya tanggal tujuh April dua ribu empat belas, tiga tahun sejak kepergian Aga, tepatnya sejak menghilangnya secara misterius putra ketiga si bungsu keluarga pasangan Pak Satria dan Ibu Ningsih menjadikan mereka sangat menderita.
Kedua orang tua itu yang hanya ditemani Nandya puteri sulung, sembilan belas tahun, mahasiswi salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta, dan Kemal putera kedua yang merupakan kakak atau aa Aga, tiga belas tahun, pelajar kelas tiga belas di salah satu sekolah menengah pertama negeri di kota Depok, telah banyak melakukan upaya berbagai macam cara agar dapat menemukan si bungsu Aga adik kedua kakak-beradik tersebut, bahkan hingga saat ini.
Mereka terlihat sedang berkumpul untuk kesekian kali membicarakan segala kemungkinan agar bisa mendapatkan informasi baru atau perkembangan lain tentang keberadaan Aga. Kedua orang tua itu dan kakak-beradik duduk merenung dikelilingi seluruh om dan tante: Yudi, Andry, Dony, Joe, Aldi, dan tante Riana, Maya, Dewi dan Rani. Terdengar berbicara satu sama lain. Ada yang berkelompok empat, tiga dan dua.
Kak Satria udeh coba dapetin info lain dari internet, mungkin ada pemberitahuan orang hilang, misalnya?” Tanya Andry yang duduk tidak jauh dari kakak iparnya memecah pembicaraan masing-masing.
Udah, tapi emang belom ada petunjuk apapun tentang keberadaan Aga,” jawab Pak Satria agak tak bersemangat.
“Bahkan Kak Satria juga sudah coba datengin lagi ke beberapa kantor di Kota Depok…… sekedar mencari info terbaru atau mengingatkan mereka tentang laporan kehilangan tiga tahun lalu, agar terus membantu melacak keberadaannya,” paparnya lagi menjelaskan.
Suasana kembali hening sebentar lalu kembali agak gaduh karena mereka berbicara secara berkelompok membicarakan kemungkinan-kemungkinan lain sendiri-sendiri.
“Begini….adik-adik,” tiba-tiba Pak Satria mencoba meminta perhatian untuk melanjutkan kata-katanya dengan sebutan ‘adik-adik’, karena ia merupakan saudara tertua dalam pertemuan keluarga besar ini.
Rasa-rasanya kita sudah berupaya keras agar dapat menemukan Aga kembali, bahkan sampai hari ini. Saya dan keluarga akhirnya hanya bisa pasrah dan ikhlas saja, jika ia memang akhirnya tak akan kembali, meskipun masih terus berharap dan berusaha semampu kita.”
Kata-katanya tak dapat ia lanjutkan karena terlihat wajahnya berubah sendu dan sambil berusaha tetap tegar.
“Saya juga mohon kepada seluruh saudara yang hadir di sini untuk tetap membantu mencari informasi apapun yang mengarah kepada petunjuk-petunjuk baru,” ungkapnya menambahkan.
“Baiklah….karena waktu juga sudah semakin sore, saya mohon kita menutup pertemuan kali ini dengan doa seperti biasanya untuk kesehatan dan keselamatan Aga khususnya….dan kita yang hadir di sini umumnya,” paparnya mencoba mengakhiri dan menutup pertemuan keluarga itu.
Merekapun berdoa bersama secara khidmat dan ikhlas yang saat itu dipimpin oleh Om Joe, saudara tertua kedua. Terlihat juga seluruh sepupu ada yang menitikkan air mata mengungkapkan rasa sedih yang mendalam, Irsyad, Andra, Dafa, Alya bahkan Fathan yang termuda pun akhirnya ikut terisak seolah teringat kenangan mereka dulu bersama saudaranya, Aga. Mereka akhirnya berpisah diikuti dengan rasa haru-biru yang begitu mendalam.
Tinggal mereka berempat merasa sepi kehilangan salah satu putera kesayangan mereka, si bungsu Aga. Pernah suatu kali kakaknya yang biasa dipanggil aa yang juga sedih sekali kehilangan adik, teman dan saudara muda sekandung biasa sering bermain, bercanda bersama dan berselisih itu, berujar kepada papanya, Pak Satria,
Pah, kita jalan ke mana keq, yuk….siapa tahu bisa ketemu Aga atau ada orang yang memberitahu di mana adanya.”
Mah, Kemal ikut ya, ke sekolah tempat mama ngajar, kali aja bisa ngeliat Aga dari jendela angkot….” Pintanya suatu kali kepada mamanya yang sedang bersiap-siap berangkat mengajar di suatu pagi.
Bahkan tidak jarang salah satu dari mereka bermimpi melihatnya sedang bermain, bercanda, duduk, berdiri atau dituntun bersama seseorang di suatu tempat keramaian atau tempat terpencil, sehingga dalam tidur atau mimpi mengigau dengan memanggil-manggil atau berteriak nama adik atau puteranya tersebut.
“Aga! Aga! Aga!! Mah, pah itu Aga di sana lagi bediri…..” teriak Kemal dalam suatu tidurnya mengigau dengan meneriak-neriakkan nama adiknya berulang-ulang.
Pak Satria dan Bu Ningsih terbangun dan membangunkan Kemal, lalu mengingatkannya bahwa ia sedang bermimpi dan mengigau. Kemudian ia menceritakan di dalam mimpinya tentang adiknya tersebut. Hal itu pun terjadi tidak saja pada Kemal, kakak sulung, Nandya yang tidak kalah besar dalam menyayangi adiknya tersebut mengalami hal serupa, termasuk mama dan papa mereka. Mimpi-mimpi melihat atau bertemu dan berbicara dengannya selalu menghantui malam-malam mereka hingga beberapa tahun terakhir. Kenangan dengan si bungsu kecil yang cerdas, cerdik, lucu dan tampan itu memang terlalu manis untuk dilupakan dan terlalu indah untuk dikenangkan.
Malam harinya sekitar pukul sembilan belas tiga puluhan terlihat Pak Satria, papa Aga, duduk termenung sendirian di ruang itu. Tepat di kursi tiga tahun lalu saat Aga memasuki dunia petualangannya pertama kali yang tak disengajanya itu. Namun, siapa yang menyangka di dunianya kini entah di mana ia telah menjadi The Chosen, Pahlawan Penyelamat di suatu kerajaan yang kini hanya diketahui dan dialami sendiri oleh Sang Pembebas di sebuah wilayah yang disebut Kerajaan Gemrilozie.





Prolog Daftar Isi Fatsal 1 Fatsal 2 Fatsal 3 Fatsal 4 Fatsal 5 Fatsal 6
Fatsal 7 Fatsal 8 Fatsal 9 Fatsal 10 Fatsal 11 Fatsal 12 Fatsal 13 Fatsal 14
Fatsal 15 Fatsal 16 Fatsal 17 Fatsal 18 Fatsal 19 Fatsal 20 Fatsal 21 Fatsal 22
Fatsal 23

0 komentar :

Posting Komentar