Fatsal 6 Taman Kenikmatan
Sambil terduduk aku terpana seperti
tersihir akan gemerlapnya ruangan yang cukup luas dibatasi dinding nun di sana.
Kutaksir mungkin aku seperti berada di sebuah perkampungan lain yang tak
kuketahui di mana kini. Dan sekarang di hadapanku bagaikan aku sedang menatap
sebuah kawasan taman hijau yang sangat indah dipenuhi berbagai bunga
warna-warni dengan semerbak aroma yang begitu harum dan buah-buahan yang sangat
ranum siap untuk dipetik kapan saja. Pohon-pohon buah itu pun tidak terlalu
tinggi bila siapapun ingin menggapainya. Lantainya beralaskan rumput yang
sangat halus dan terawat sangat rapi bak permadani nan sangat halus. Rasanya
mataku tak akan puas-puasnya memandangi dari atas ketinggian sekitar satu meteran
ini. Aku bangkit dan berdiri sambil berdecak kagum dan hampir tak percaya
dengan apa yang sedang kulihat saat ini. Hasratku ingin mendekat ke tempat di
bawahku dan kuberpikir bagaimana tubuhku yang kecil ini dapat turun dari tempat
kuberdiri saat ini. Kalau saja aku berani meloncat mungkin sudah kulakukan dari
tadi agar bisa sampai di bawah. Tapi tiba-tiba seperti mampu membaca pikiranku,
bulatan tempat aku berpijak kini turun perlahan mendekati dasar permukaan hingga
kini aku sudah berada di atas ambal rerumputan yang begitu empuk rasanya saat
kupijakkan kakiku.
Masih
dalam keheranan perasaanku yang belum hilang, aroma bunga-bungaan kembali
tercium semilir semerbaknya, dan buah-buah itu, Ya Tuhan, mendekat sendirinya seolah-olah
berebut minta dipetik. Pikiranku tertuju kepada buah anggur yang berwarna
kemerah-merahan yang begitu segar dan ranum dengan basahnya oleh titik-titik
air embun yang masih menempel dan sangat lezat daging buah itu terbayang
melalui kulitnya yang sangat tipis.
“Buah anggur ini sepertinya sangat
nikmat,” begitu pikirku.
Belum selesai kuberpikir begitu,
setangkai buah anggur dari ketinggian dahan hanya setengah meter di atasku
telah merunduk turun ke hadapanku, siap untuk kupetik. Segera kujulurkan
tanganku dan kuambil beberapa buah sekaligus dalam jemariku tanpa kesulitan.
Lalu kuperhatikan beberapa petikan buah itu sebentar, nampak begitu bersih,
bening dan segar. Lapar dan dahaga mendorongku untuk memakannya.
“Ya Tuhanku, betapa manis dan gurihnya
buah ini,” gumamku dalam hati mengetahui kelezatan yang kurasakan.
Selanjutnya kuhabiskan beberapa buah
lagi yang masih tersisa di tanganku dan kini sudah berada dalam nikmatnya
kunyahanku. Aku sangat terpesona dengan citarasa kelezatan yang baru kualami
dalam hidupku. Bahkan buah anggur termahal yang pernah mama beli pun tidak akan
sanggup menandingi madu manisnya anggur ini. Mataku sempat terpejam karena
terbuai olehnya dan otakku tak sanggup berpikir lagi yang ada hanya rasa
sukacita membuai yang begitu mendalam.
“Terima kasih, Ya Tuhan, apakah saya
sedang berada di surgaMu sekarang?” bisikku dengan rasa takjub.
Aku kembali teringat akan Sang Maha
Pencipta yang pernah papa ceritakan saat papa mengingatkanku agar tidak lupa
berterima kasih kepada Tuhan saat selesai makan.
Setelah
kurasa cukup mencicipi buah anggur, aku ingin mencoba buah belimbing yang sudah
menguning pertanda telah masak. Di pohonnya buah-buah ini bergelantungan sangat
bersih bergoyang bening menantang, seolah berebut minta dipetik dan aku
benar-benar bingung memilih mana yang akan kuambil dari dahannya yang
meliuk-liuk kian ke mari menggoda air liurku. Akhirnya, kuputuskan satu yang
tidak terlalu besar yang ada di sebelah kananku. Begitu hinggap di tanganku,
kupelintir tanpa hambatan sedikit pun dan kuperhatikan sebentar apakah ada noda
atau kotoran yang menempel di sana, ternyata bersih mulusnya seperti baru saja
kuambil dari lemari pendingin layaknya.
“Hebat sekali! Tidak ada noda sedikit pun
belimbing ini,” pikirku lagi.
Tak sabar menunggu terlalu lama lagi,
langsung kugigit salah satu sisi belimbing ini dan renyahnya begitu terasa
mengeluarkan sari madu manis dalam kunyahanku. Tak berapa lama aku telah
menghabiskan sebuah dan itu sudah cukup melepaskan dahagaku. Di sebelah pohon
belimbing ini ada sebuah mesin permaianan lengkap dengan beberapa tombol
layaknya seperti sebuah video game
yang pernah kulihat di mal-mal sewaktu diajak mama berbelanja dulu, seperti
pada setiap pohon lainnya yang mengeluarkan suara tak begitu gaduh di
telingaku. Kulihat di layar beberapa mobil balap siap diajak bertanding di
arena yang lurus, berputar datar atau menukik tajam.
“Aku masih belum tertarik memainkannya
saat ini, nanti saja,” kilahku
Sambil melihat sebuah mesin permainan
lain di sebelahnya dekat pohon jeruk yang sangat rindang. Kuperhatikan sesaat
pohon ini pun cukup rendah dengan buah-buahnya yang seluruhnya telah masak siap
untuk dipanen persis seperti seluruh pohon yang ada di sekitar luasnya ruangan
ini.
“Kenapa tak kulihat satu orang pun
ya…..? Ke mana anak-anak kecil sebayaku? Di mana para remaja yang biasa suka
memainkan permainan-permainan seperti ini?” Tanyaku kebingungan sendirian dalam
hati.
Kulayangkan lagi pandanganku ke berbagai
penjuru sejauh mata dapat kutatap dalam keanehan dan kebingungan yang tak dapat
kumengerti sedikit pun. Sesekali juga kulihat semua tetap sama, ada pohon yang
telah berbuah masak nan ranum dengan sebuah mesin permainan berbeda satu sama lain.
Namun tak ada seorang pun yang menjaga, memainkannya atau berlalu lalang di
sini, kecuali aku, sendirian.
“Di mana aku ini? Di mana mama, papa dan
kakak sekarang? Kenapa aku pun tidak merasa takut, cemas dan khawatir sendirian
seperti sebelumnya kurasakan?”
Pertanyaan-pertanyaan itu tak dapat
kubendung lagi ingin lekas mencari jawaban yang tak dapat kutemukan saat ini.
Langkahku semakin mantap menyusuri jalan setapak yang luas di kanan-kiriku
terdapat sebuah pohon dan mesin permainan di sebelahnya. Aneh sekali. Bahkan
tak ada penjual makanan atau minuman di sekitarnya, walaupun sejak tadi kulihat
sebuah meja kecil dengan sajian hidangan makanan dan minuman di setiap dekat mesin
permainan itu, meskipun sejak tadi hanya akulah satu-satunya orang yang
menyaksikan dan mengalaminya secara langsung.
“Ah…..aneh
sekali memang. Apakah aku sedang bermimpi?”
Tanyaku lagi sambil kutatap dari bawah
di ujung kakiku hingga perut, dan tangan kiri dan kananku dan kucubit sedikit
buku tanganku, sakit, jelaslah aku tak sedang bermimpi. Bahkan baju dengan kaos
merah dan celana panjang kuning komprang berbahan kaos yang kupakai pun masih
tetap sama sejak aku bangun, mengendap pergi ke ruang kerja papa, duduk di
sana, masuk ke dalam selubung cahaya dan tiba di sini dalam beberapa menit
saja, diawali dengan rasa takut dan cemas yang bukan alang-kepalang hingga
berganti menjadi rasa senang, pikirku lagi. Tapi kini aku merasa senang dan
nikmat saja menikmati semua kenyamanan ini tanpa ada yang mengganggu, tidak
juga aa atau siapa pun.
“Seandainya semua yang kuhadapi ini ada
di rumahku,” khayalku tiba-tiba.
Terus kutapaki rumput halus yang terasa
lembut di kakiku tanpa alas kaki ini sambil melihat ke sisi kiri dan kananku.
Terkadang aku mampir mencoba sebuah permainan di sana dan memainkannya tanpa
kesulitan, meskipun awalnya kucoba-coba semua tombol fungsi yang ada, mulai
dari permainan balapan hingga permainan perang dengan senjata mutakhir. Itu
saja sudah membuatku terhibur dan lupa akan semua kecamuk pikiranku. Bila
kuterasa haus atau lapar kuraih minuman atau makanan yang telah tersedia, maka
permainan pun otomatis berhenti menungguku sebelum aku sendiri melanjutkan lagi
dan begitu seterusnya. Aku tak tahu dan ingat lagi sudah berapa lama aku berada
di sini dan tak bosan rasanya aku di sini. Karena tak ada seorang pun
mengganggu, melarang, memerintah, atau muncul sekali pun di sini dan aku tak
merasa takut sedikit pun sendirian. Kulanjutkan terus pencarianku akan hal-hal
baru yang tersedia di sini untuk memuaskan keingintahuan diriku, hingga hampir
seluruh sudut dan sisi kujelajahi sepuas hatiku.
Semua tempat di ruang ini tak ada yang luput
dari pandanganku, dan bila kutertarik sesuatu maka dengan penuh semangat
kucobanya hingga puas, hingga aku temukan di salah satu sudut lain sebuah
tempat yang mirip sebuah mesin ATM
kulihat dulu sewaktu diajak papa mengambil uang di mesin itu. Kulihat dan
kupegang, ini bukan mesin ATM itu,
bukan mesin permainan seperti lainnya, tapi memiliki celah selebar tapak
tanganku yang sedikit bersinar redup dari dalamnya. Rasa penasaranku pun timbul
kembali untuk mencobanya.
Setelah kuperhatikan beberapa saat dan
kuraba celah yang membentuk ceruk kecil seukuran tanganku lengkap dengan
galur-galur untuk jemari sehingga membentuk tapak tangan. Semula tangan kiriku
kudekatkan di sana, namun tak sesuai dengan bentuk lalu kucoba menggantinya
dengan tangan kananku…..pas sekali, dan…..!
“Ssssrrt!”
Bunyi dinding seukuran pintu terbuka di
sebelah kanan kotak mesin ini. Aku sempat terperangah dan kaget, lalu dari
tempatku berdiri nampaklah dunia luar di hadapanku. Kulihat tak seberapa jauh
ada jalan melintas dan gedung-gedung persegi empat dan persegi memanjang, namun
yang membuatku penasaran tak kulihat seorang pun berada di luar. Kulangkahkan
kakiku ke luar pintu ini dan…
“Ssssrrt!”
Kembali kudengar bunyi yang sama ketika
tadi kutempelkan tanganku pada ceruk mesin di dalam, sempat kuberbalik ke
belakang dan celah pintu segera tertutup secara otomatis. Di sebelah kiri celah
tersebut, yang telah rata menjadi dinding tanpa tanda-tanda atau petunjuk bahwa
di sana terdapat pintu sedikit pun, terdapat mesin yang sama seperti di dalam.
Kini aku benar-benar berada di luar sekarang. Kuputar badanku kembali
membelakangi pintu dan kususuri setapak yang beralaskan rumput yang sangat
empuk ini ke arah jalan yang melintas di hadapanku. Pandanganku
kubolak-balikkan ke kanan dan kiriku, masih tetap sepi tak ada siapa pun dan
tak ada kendaraan satu pun yang melaju seolah-olah seperti tak ada kehidupan,
kota mati.
“Ahhh!
Ke mana orang-orang ini? Aneh sekali….. Kenapa begitu sepi? Apakah ini sebuah kota?
Apakah gedung-gedung unik di sana ada penghuninya? Apakah pintunya sama seperti
yang kukenal tadi?” Tanya diriku dalam kepala bertubi-tubi.
Kuputuskan langkah kakiku ke arah kanan
pada trotoar, sambil kuamati sekitar beberapa meter dari asalku tadi hingga
kujumpai sebuah bangku pada sebuah taman, dan duduk di sana. Setelah kurasa
cukup memandang dan menghapal arah jalan agar aku tak tersesat kembali ke
gedung semula tadi, lalu kulanjutkan lagi perjalananku. Tiba pada beberapa
belokan, aku sempat melihat seperti seseorang dari kejauhan di seberang jalan
berdiri seolah sedang memperhatikanku.
Inilah orang pertama yang kulihat
pertama kali aku berada di tempat asing seperti ini. Aku coba mendekat untuk
mengetahui dan bertanya tentang banyak hal yang masih menjadi misteri bagiku,
namun jarak kami agak jauh dan samar-samar ia pun tak terlihat pandanganku
entah ke mana. Rasanya ingin kuberteriak saja memanggil dan mengejarnya. Karena
rasa penasaranku begitu besar kuberlari sekuat tenaga mendekati tempat ia tadi
berdiri, tapi benar saja ia sudah tak ada lagi di sini sekarang. Ahhh….menyesal sekali rasanya diriku tak
sempat menemuinya sama sekali.
Dengan langkah gontai kukembali ke arah
semula dan kususuri jalan-jalan tadi kutapaki hingga sampailah aku ke gedung di
mana aku ke luar tadi. Kuputuskan saja kembali ke sana. Tiba di depan mesin
itu, kucoba masukkan tapak tanganku yang sesuai dengan ukurannya, seperti telah
kuduga pintu kembali terbuka secara otomatis dan kumasuk ke dalamnya. Ruangan
sangat besar ini masih tetap sama tak ada yang berubah sedikit pun. Kuambil
posisi dekat sebuah mesin dan kududuk di kursi, terasa nyaman dan sejuk sekali
di sini, namun rasa sesal itu masih tetap ada dalam pikiranku karena aku tak
sempat mendekat dan berbincang dengan orang itu.
Sambil kutermangu, kuarahkan pandanganku
ke monitor di hadapanku tanpa menyentuh tombol apa pun di sana dan kuterkejut
melihat tayangan yang muncul secara otomatis di sana. Dari tayangan itu
kusaksikan pemunculan gambar setiap jalan dan bangunan tertata sangat rapi dan
asri. Hal itu terlihat dari tataruang kota yang sudah sangat maju dan modern tanpa
mengindahkan unsur-unsur kenyamanan dan keindahan layaknya di dunia lain, di
bumi. Peralatan dan perlengkapan telah jauh berbeda dalam hal jenis, rupa, bentuk
dan fungsi bila dibandingkan dengan kehidupan saat ini di dunia lain. Dalam kehidupan
sehari-hari, sebuah rumah biasanya terdiri dari ruang-ruang yang disebut kabin.
Sebuah kabin tidur sekitar dua kali tiga meter terdapat alat pembaringan untuk
satu sampai dengan tiga orang yang dapat dilipat dan menyelusup masuk ke dalam
dinding dengan sebuah program yang dapat dirubah-rubah berdasarkan jadual
bangun yang bisa disesuaikan. Begitu pun dengan tempat duduk dan meja, semua
serba bisa dilipat sehingga lebih banyak menghemat ruang dalam kabin yang
dilengkapi alat komunikasi antarpenduduk hanya dengan menggunakan sensor suara
agar dapat berhubungan satu dengan lainnya. Orang-orang di sini tidak perlu
memasang suatu kabel atau antena tertentu pada televisi bila ingin mengetahui
suatu siaran berita, hiburan atau perkembangan tertentu, melainkan dengan
menyebutkan alat yang dimaksud diawali dengan sebuah kode tertentu, maka secara
otomatis akan muncul tampilannya pada dinding yang telah didisain sedemikian
rupa. Begitu pun bila ingin mengganti saluran-saluran yang diinginkan cukup
gunakan sensor suara, maka akan segera berubah saluran yang diinginkan. Praktis
di dalam kabin tidak banyak terlihat perlengkapan atau peralatan penunjang
kehidupan, semua tersusun dan tersimpan rapi secara tersembunyi. Pada
kabin-kabin lain dalam rumah persegi empat atau persegi panjang seluruhnya
menggunakan sistem sensor suara dengan susunan kode yang diinginkan si empunya.
Keunikan terlihat pada transportasi
umum yang tidak akan nampak oleh mata biasa tanpa menggunakan sebuah lensa
sensor si pemakainya. Kendaraan dapat tampil dengan wujud asli terlihat dengan
mata telanjang bila diinginkan kapan saja atau bahkan tak akan telihat sama
sekali. Bila terjadi pertemuan yang dari arah yang berlawanan sensor akan
sangat mampu mencari ruang dan jalur kosong secara otomatis melalui sensor yang
telah terpasang pada masing-masing kendaraan. Sehingga relatif tidak akan
pernah terjadi kecelakaan lalulintas di mana pun rute dan jalurnya. Semua
menggunakan lalulintas udara tanpa pengatur lalulintas khusus, karena
sistematika pengendali jarak jauh yang terhubung secara otomatis telah lama
diatur sebelum kendaraan tersebut dikeluarkan. Bagi calon penumpang yang berangkat
belajar berkelompok atau bekerja akan menunggu transportasi jemputannya tepat
di sisi kabin rumahnya.
Kini aku mengerti kenapa jalan
nampak lengang dalam pandanganku seolah seperti sebuah kota mati. Inilah sebuah
pola kehidupan lain yang tidak kukenal sebelumnya. Inilah yang sangat berbeda
dengan duniaku di mana seluruh keluargaku: mama, papa, kakak, aa, teman-temanku atau orang-orang
berada.
“Tapi di manakah aku ini?” Sergap
satu-satunya pertanyaan yang masih belum mampu kujawab.
Sebelum selesai aku mengakhiri pertanyaan di
kepalaku itu, di tempat aku berdiri saat ini perlahan aku merasakan seperti ada
sebuah tarikan yang sangat halus dari suatu arah yang tak kuketahui dan sangat
jelas menyadari apa yang sedang kualami saat ini, namun aku tak dapat
melawannya. Seluruh tubuhku seolah-olah menjadi ringan bagaikan kapas yang
terserap mesin penghisap debu dan kedua mataku pun terpejam bak terhipnotis
oleh seseorang. Meskipun dengan sisa-sisa tenaga dan pandanganku aku tak
melihat siapa pun di sana. Hingga pada akhirnya aku sudah tak ingat apa-apa
lagi.Prolog | Daftar Isi | Fatsal 1 | Fatsal 2 | Fatsal 3 | Fatsal 4 | Fatsal 5 | Fatsal 6 |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Fatsal 7 | Fatsal 8 | Fatsal 9 | Fatsal 10 | Fatsal 11 | Fatsal 12 | Fatsal 13 | Fatsal 14 |
Fatsal 15 | Fatsal 16 | Fatsal 17 | Fatsal 18 | Fatsal 19 | Fatsal 20 | Fatsal 21 | Fatsal 22 |
Fatsal 23 |
0 komentar :
Posting Komentar