Senin, 08 Juli 2013

Fatsal 6 Taman Kenikmatan




Fatsal 6 Taman Kenikmatan

Sambil terduduk aku terpana seperti tersihir akan gemerlapnya ruangan yang cukup luas dibatasi dinding nun di sana. Kutaksir mungkin aku seperti berada di sebuah perkampungan lain yang tak kuketahui di mana kini. Dan sekarang di hadapanku bagaikan aku sedang menatap sebuah kawasan taman hijau yang sangat indah dipenuhi berbagai bunga warna-warni dengan semerbak aroma yang begitu harum dan buah-buahan yang sangat ranum siap untuk dipetik kapan saja. Pohon-pohon buah itu pun tidak terlalu tinggi bila siapapun ingin menggapainya. Lantainya beralaskan rumput yang sangat halus dan terawat sangat rapi bak permadani nan sangat halus. Rasanya mataku tak akan puas-puasnya memandangi dari atas ketinggian sekitar satu meteran ini. Aku bangkit dan berdiri sambil berdecak kagum dan hampir tak percaya dengan apa yang sedang kulihat saat ini. Hasratku ingin mendekat ke tempat di bawahku dan kuberpikir bagaimana tubuhku yang kecil ini dapat turun dari tempat kuberdiri saat ini. Kalau saja aku berani meloncat mungkin sudah kulakukan dari tadi agar bisa sampai di bawah. Tapi tiba-tiba seperti mampu membaca pikiranku, bulatan tempat aku berpijak kini turun perlahan mendekati dasar permukaan hingga kini aku sudah berada di atas ambal rerumputan yang begitu empuk rasanya saat kupijakkan kakiku.
 Masih dalam keheranan perasaanku yang belum hilang, aroma bunga-bungaan kembali tercium semilir semerbaknya, dan buah-buah itu, Ya Tuhan, mendekat sendirinya seolah-olah berebut minta dipetik. Pikiranku tertuju kepada buah anggur yang berwarna kemerah-merahan yang begitu segar dan ranum dengan basahnya oleh titik-titik air embun yang masih menempel dan sangat lezat daging buah itu terbayang melalui kulitnya yang sangat tipis.
“Buah anggur ini sepertinya sangat nikmat,” begitu pikirku.
Belum selesai kuberpikir begitu, setangkai buah anggur dari ketinggian dahan hanya setengah meter di atasku telah merunduk turun ke hadapanku, siap untuk kupetik. Segera kujulurkan tanganku dan kuambil beberapa buah sekaligus dalam jemariku tanpa kesulitan. Lalu kuperhatikan beberapa petikan buah itu sebentar, nampak begitu bersih, bening dan segar. Lapar dan dahaga mendorongku untuk memakannya.
“Ya Tuhanku, betapa manis dan gurihnya buah ini,” gumamku dalam hati mengetahui kelezatan yang kurasakan.
Selanjutnya kuhabiskan beberapa buah lagi yang masih tersisa di tanganku dan kini sudah berada dalam nikmatnya kunyahanku. Aku sangat terpesona dengan citarasa kelezatan yang baru kualami dalam hidupku. Bahkan buah anggur termahal yang pernah mama beli pun tidak akan sanggup menandingi madu manisnya anggur ini. Mataku sempat terpejam karena terbuai olehnya dan otakku tak sanggup berpikir lagi yang ada hanya rasa sukacita membuai yang begitu mendalam.
“Terima kasih, Ya Tuhan, apakah saya sedang berada di surgaMu sekarang?” bisikku dengan rasa takjub.
Aku kembali teringat akan Sang Maha Pencipta yang pernah papa ceritakan saat papa mengingatkanku agar tidak lupa berterima kasih kepada Tuhan saat selesai makan.
 Setelah kurasa cukup mencicipi buah anggur, aku ingin mencoba buah belimbing yang sudah menguning pertanda telah masak. Di pohonnya buah-buah ini bergelantungan sangat bersih bergoyang bening menantang, seolah berebut minta dipetik dan aku benar-benar bingung memilih mana yang akan kuambil dari dahannya yang meliuk-liuk kian ke mari menggoda air liurku. Akhirnya, kuputuskan satu yang tidak terlalu besar yang ada di sebelah kananku. Begitu hinggap di tanganku, kupelintir tanpa hambatan sedikit pun dan kuperhatikan sebentar apakah ada noda atau kotoran yang menempel di sana, ternyata bersih mulusnya seperti baru saja kuambil dari lemari pendingin layaknya.
“Hebat sekali! Tidak ada noda sedikit pun belimbing ini,” pikirku lagi.
Tak sabar menunggu terlalu lama lagi, langsung kugigit salah satu sisi belimbing ini dan renyahnya begitu terasa mengeluarkan sari madu manis dalam kunyahanku. Tak berapa lama aku telah menghabiskan sebuah dan itu sudah cukup melepaskan dahagaku. Di sebelah pohon belimbing ini ada sebuah mesin permaianan lengkap dengan beberapa tombol layaknya seperti sebuah video game yang pernah kulihat di mal-mal sewaktu diajak mama berbelanja dulu, seperti pada setiap pohon lainnya yang mengeluarkan suara tak begitu gaduh di telingaku. Kulihat di layar beberapa mobil balap siap diajak bertanding di arena yang lurus, berputar datar atau menukik tajam.
“Aku masih belum tertarik memainkannya saat ini, nanti saja,” kilahku
Sambil melihat sebuah mesin permainan lain di sebelahnya dekat pohon jeruk yang sangat rindang. Kuperhatikan sesaat pohon ini pun cukup rendah dengan buah-buahnya yang seluruhnya telah masak siap untuk dipanen persis seperti seluruh pohon yang ada di sekitar luasnya ruangan ini.
“Kenapa tak kulihat satu orang pun ya…..? Ke mana anak-anak kecil sebayaku? Di mana para remaja yang biasa suka memainkan permainan-permainan seperti ini?” Tanyaku kebingungan sendirian dalam hati.
Kulayangkan lagi pandanganku ke berbagai penjuru sejauh mata dapat kutatap dalam keanehan dan kebingungan yang tak dapat kumengerti sedikit pun. Sesekali juga kulihat semua tetap sama, ada pohon yang telah berbuah masak nan ranum dengan sebuah mesin permainan berbeda satu sama lain. Namun tak ada seorang pun yang menjaga, memainkannya atau berlalu lalang di sini, kecuali aku, sendirian.
“Di mana aku ini? Di mana mama, papa dan kakak sekarang? Kenapa aku pun tidak merasa takut, cemas dan khawatir sendirian seperti sebelumnya kurasakan?”
Pertanyaan-pertanyaan itu tak dapat kubendung lagi ingin lekas mencari jawaban yang tak dapat kutemukan saat ini. Langkahku semakin mantap menyusuri jalan setapak yang luas di kanan-kiriku terdapat sebuah pohon dan mesin permainan di sebelahnya. Aneh sekali. Bahkan tak ada penjual makanan atau minuman di sekitarnya, walaupun sejak tadi kulihat sebuah meja kecil dengan sajian hidangan makanan dan minuman di setiap dekat mesin permainan itu, meskipun sejak tadi hanya akulah satu-satunya orang yang menyaksikan dan mengalaminya secara langsung.  
Ah…..aneh sekali memang. Apakah aku sedang bermimpi?”
Tanyaku lagi sambil kutatap dari bawah di ujung kakiku hingga perut, dan tangan kiri dan kananku dan kucubit sedikit buku tanganku, sakit, jelaslah aku tak sedang bermimpi. Bahkan baju dengan kaos merah dan celana panjang kuning komprang berbahan kaos yang kupakai pun masih tetap sama sejak aku bangun, mengendap pergi ke ruang kerja papa, duduk di sana, masuk ke dalam selubung cahaya dan tiba di sini dalam beberapa menit saja, diawali dengan rasa takut dan cemas yang bukan alang-kepalang hingga berganti menjadi rasa senang, pikirku lagi. Tapi kini aku merasa senang dan nikmat saja menikmati semua kenyamanan ini tanpa ada yang mengganggu, tidak juga aa atau siapa pun.  
“Seandainya semua yang kuhadapi ini ada di rumahku,” khayalku tiba-tiba.
Terus kutapaki rumput halus yang terasa lembut di kakiku tanpa alas kaki ini sambil melihat ke sisi kiri dan kananku. Terkadang aku mampir mencoba sebuah permainan di sana dan memainkannya tanpa kesulitan, meskipun awalnya kucoba-coba semua tombol fungsi yang ada, mulai dari permainan balapan hingga permainan perang dengan senjata mutakhir. Itu saja sudah membuatku terhibur dan lupa akan semua kecamuk pikiranku. Bila kuterasa haus atau lapar kuraih minuman atau makanan yang telah tersedia, maka permainan pun otomatis berhenti menungguku sebelum aku sendiri melanjutkan lagi dan begitu seterusnya. Aku tak tahu dan ingat lagi sudah berapa lama aku berada di sini dan tak bosan rasanya aku di sini. Karena tak ada seorang pun mengganggu, melarang, memerintah, atau muncul sekali pun di sini dan aku tak merasa takut sedikit pun sendirian. Kulanjutkan terus pencarianku akan hal-hal baru yang tersedia di sini untuk memuaskan keingintahuan diriku, hingga hampir seluruh sudut dan sisi kujelajahi sepuas hatiku.
Semua tempat di ruang ini tak ada yang luput dari pandanganku, dan bila kutertarik sesuatu maka dengan penuh semangat kucobanya hingga puas, hingga aku temukan di salah satu sudut lain sebuah tempat yang mirip sebuah mesin ATM kulihat dulu sewaktu diajak papa mengambil uang di mesin itu. Kulihat dan kupegang, ini bukan mesin ATM itu, bukan mesin permainan seperti lainnya, tapi memiliki celah selebar tapak tanganku yang sedikit bersinar redup dari dalamnya. Rasa penasaranku pun timbul kembali untuk mencobanya.
Setelah kuperhatikan beberapa saat dan kuraba celah yang membentuk ceruk kecil seukuran tanganku lengkap dengan galur-galur untuk jemari sehingga membentuk tapak tangan. Semula tangan kiriku kudekatkan di sana, namun tak sesuai dengan bentuk lalu kucoba menggantinya dengan tangan kananku…..pas sekali, dan…..!
            “Ssssrrt!
Bunyi dinding seukuran pintu terbuka di sebelah kanan kotak mesin ini. Aku sempat terperangah dan kaget, lalu dari tempatku berdiri nampaklah dunia luar di hadapanku. Kulihat tak seberapa jauh ada jalan melintas dan gedung-gedung persegi empat dan persegi memanjang, namun yang membuatku penasaran tak kulihat seorang pun berada di luar. Kulangkahkan kakiku ke luar pintu ini dan…
Ssssrrt!
Kembali kudengar bunyi yang sama ketika tadi kutempelkan tanganku pada ceruk mesin di dalam, sempat kuberbalik ke belakang dan celah pintu segera tertutup secara otomatis. Di sebelah kiri celah tersebut, yang telah rata menjadi dinding tanpa tanda-tanda atau petunjuk bahwa di sana terdapat pintu sedikit pun, terdapat mesin yang sama seperti di dalam. Kini aku benar-benar berada di luar sekarang. Kuputar badanku kembali membelakangi pintu dan kususuri setapak yang beralaskan rumput yang sangat empuk ini ke arah jalan yang melintas di hadapanku. Pandanganku kubolak-balikkan ke kanan dan kiriku, masih tetap sepi tak ada siapa pun dan tak ada kendaraan satu pun yang melaju seolah-olah seperti tak ada kehidupan, kota mati.
Ahhh! Ke mana orang-orang ini? Aneh sekali….. Kenapa begitu sepi? Apakah ini sebuah kota? Apakah gedung-gedung unik di sana ada penghuninya? Apakah pintunya sama seperti yang kukenal tadi?” Tanya diriku dalam kepala bertubi-tubi.
Kuputuskan langkah kakiku ke arah kanan pada trotoar, sambil kuamati sekitar beberapa meter dari asalku tadi hingga kujumpai sebuah bangku pada sebuah taman, dan duduk di sana. Setelah kurasa cukup memandang dan menghapal arah jalan agar aku tak tersesat kembali ke gedung semula tadi, lalu kulanjutkan lagi perjalananku. Tiba pada beberapa belokan, aku sempat melihat seperti seseorang dari kejauhan di seberang jalan berdiri seolah sedang memperhatikanku.
Inilah orang pertama yang kulihat pertama kali aku berada di tempat asing seperti ini. Aku coba mendekat untuk mengetahui dan bertanya tentang banyak hal yang masih menjadi misteri bagiku, namun jarak kami agak jauh dan samar-samar ia pun tak terlihat pandanganku entah ke mana. Rasanya ingin kuberteriak saja memanggil dan mengejarnya. Karena rasa penasaranku begitu besar kuberlari sekuat tenaga mendekati tempat ia tadi berdiri, tapi benar saja ia sudah tak ada lagi di sini sekarang. Ahhh….menyesal sekali rasanya diriku tak sempat menemuinya sama sekali.
Dengan langkah gontai kukembali ke arah semula dan kususuri jalan-jalan tadi kutapaki hingga sampailah aku ke gedung di mana aku ke luar tadi. Kuputuskan saja kembali ke sana. Tiba di depan mesin itu, kucoba masukkan tapak tanganku yang sesuai dengan ukurannya, seperti telah kuduga pintu kembali terbuka secara otomatis dan kumasuk ke dalamnya. Ruangan sangat besar ini masih tetap sama tak ada yang berubah sedikit pun. Kuambil posisi dekat sebuah mesin dan kududuk di kursi, terasa nyaman dan sejuk sekali di sini, namun rasa sesal itu masih tetap ada dalam pikiranku karena aku tak sempat mendekat dan berbincang dengan orang itu.
Sambil kutermangu, kuarahkan pandanganku ke monitor di hadapanku tanpa menyentuh tombol apa pun di sana dan kuterkejut melihat tayangan yang muncul secara otomatis di sana. Dari tayangan itu kusaksikan pemunculan gambar setiap jalan dan bangunan tertata sangat rapi dan asri. Hal itu terlihat dari tataruang kota yang sudah sangat maju dan modern tanpa mengindahkan unsur-unsur kenyamanan dan keindahan layaknya di dunia lain, di bumi. Peralatan dan perlengkapan telah jauh berbeda dalam hal jenis, rupa, bentuk dan fungsi bila dibandingkan dengan kehidupan saat ini di dunia lain. Dalam kehidupan sehari-hari, sebuah rumah biasanya terdiri dari ruang-ruang yang disebut kabin. Sebuah kabin tidur sekitar dua kali tiga meter terdapat alat pembaringan untuk satu sampai dengan tiga orang yang dapat dilipat dan menyelusup masuk ke dalam dinding dengan sebuah program yang dapat dirubah-rubah berdasarkan jadual bangun yang bisa disesuaikan. Begitu pun dengan tempat duduk dan meja, semua serba bisa dilipat sehingga lebih banyak menghemat ruang dalam kabin yang dilengkapi alat komunikasi antarpenduduk hanya dengan menggunakan sensor suara agar dapat berhubungan satu dengan lainnya. Orang-orang di sini tidak perlu memasang suatu kabel atau antena tertentu pada televisi bila ingin mengetahui suatu siaran berita, hiburan atau perkembangan tertentu, melainkan dengan menyebutkan alat yang dimaksud diawali dengan sebuah kode tertentu, maka secara otomatis akan muncul tampilannya pada dinding yang telah didisain sedemikian rupa. Begitu pun bila ingin mengganti saluran-saluran yang diinginkan cukup gunakan sensor suara, maka akan segera berubah saluran yang diinginkan. Praktis di dalam kabin tidak banyak terlihat perlengkapan atau peralatan penunjang kehidupan, semua tersusun dan tersimpan rapi secara tersembunyi. Pada kabin-kabin lain dalam rumah persegi empat atau persegi panjang seluruhnya menggunakan sistem sensor suara dengan susunan kode yang diinginkan si empunya.
            Keunikan terlihat pada transportasi umum yang tidak akan nampak oleh mata biasa tanpa menggunakan sebuah lensa sensor si pemakainya. Kendaraan dapat tampil dengan wujud asli terlihat dengan mata telanjang bila diinginkan kapan saja atau bahkan tak akan telihat sama sekali. Bila terjadi pertemuan yang dari arah yang berlawanan sensor akan sangat mampu mencari ruang dan jalur kosong secara otomatis melalui sensor yang telah terpasang pada masing-masing kendaraan. Sehingga relatif tidak akan pernah terjadi kecelakaan lalulintas di mana pun rute dan jalurnya. Semua menggunakan lalulintas udara tanpa pengatur lalulintas khusus, karena sistematika pengendali jarak jauh yang terhubung secara otomatis telah lama diatur sebelum kendaraan tersebut dikeluarkan. Bagi calon penumpang yang berangkat belajar berkelompok atau bekerja akan menunggu transportasi jemputannya tepat di sisi kabin rumahnya.
            Kini aku mengerti kenapa jalan nampak lengang dalam pandanganku seolah seperti sebuah kota mati. Inilah sebuah pola kehidupan lain yang tidak kukenal sebelumnya. Inilah yang sangat berbeda dengan duniaku di mana seluruh keluargaku: mama, papa, kakak, aa, teman-temanku atau orang-orang berada.
“Tapi di manakah aku ini?” Sergap satu-satunya pertanyaan yang masih belum mampu kujawab.
Sebelum selesai aku mengakhiri pertanyaan di kepalaku itu, di tempat aku berdiri saat ini perlahan aku merasakan seperti ada sebuah tarikan yang sangat halus dari suatu arah yang tak kuketahui dan sangat jelas menyadari apa yang sedang kualami saat ini, namun aku tak dapat melawannya. Seluruh tubuhku seolah-olah menjadi ringan bagaikan kapas yang terserap mesin penghisap debu dan kedua mataku pun terpejam bak terhipnotis oleh seseorang. Meskipun dengan sisa-sisa tenaga dan pandanganku aku tak melihat siapa pun di sana. Hingga pada akhirnya aku sudah tak ingat apa-apa lagi.


Prolog Daftar Isi Fatsal 1 Fatsal 2 Fatsal 3 Fatsal 4 Fatsal 5 Fatsal 6
Fatsal 7 Fatsal 8 Fatsal 9 Fatsal 10 Fatsal 11 Fatsal 12 Fatsal 13 Fatsal 14
Fatsal 15 Fatsal 16 Fatsal 17 Fatsal 18 Fatsal 19 Fatsal 20 Fatsal 21 Fatsal 22
Fatsal 23

0 komentar :

Posting Komentar