Minggu, 07 Juli 2013

Fatsal 1 Penemuan Aga Si Bocah Cilik





Fatsal 1 Penemuan Aga Si Bocah Cilik

            Hari ini tanggal tujuh April dua ribu sebelas pukul empat belas lewat lima belas dan aku masih tetap tak bisa memejamkan mata. Memang aneh untuk anak seusiaku. Aku baru berusia enam tahun lebih beberapa bulan saja. Sudah tiga hari ini aku gelisah apakah harus kuceritakan apa yang telah kuketahui dan kualami atau tidak. Bingung. Hingga detik ini masih kutahan-tahan, tidak ada seorang pun yang kuberitahu, bahkan keluargaku sekali pun.
            Kucoba bangun dari tempat tidurku. Ada mama di sisi ranjangku tidur, pulas. Kakakku, Kemal, asyik memeluk guling dengan kaos dalam saja, milik papa yang nampak longgar di tubuhnya yang kecil. Ia biasa kupanggil aa, istilah Betawi atau Sunda, sebutan untuk saudara laki-laki yang lebih tua. Air liurnya yang biasanya disebut iler kulihat mengalir dari sudut bibir sebelah bawah pertanda ia sangat pulas. Kucoba bangkit dan duduk.
            Di bawah kulihat papa sama saja, masih terlelap pulas sambil tengkurap di kasur tebal. Kasur itu biasa digunakan papa sebagai alas tidur. Agak tinggi dan tebal memang. Aku tahu itu dulu sebenarnya biasa digunakan sebagai sofa keluarga, hanya sandarannya yang sudah dilepas dan aku tidak tahu entah ada di mana lagi kini.
            Lalu merangkak pelan-pelan sekali turun dari ranjang agar tak terdengar siapa pun, setelah kuputuskan ke ruang itu. Sangat perlahan kuturunkan kedua kakiku menjaga agar tidak ada derit yang bisa membangunkan salah satu dari mereka. Kulihat aa masih pulas sesekali menggeliat, namun kuberhenti sejenak sambil berdiri di sisi ranjang untuk meyakinkan apakah ada yang terjaga dari tidur mereka.
            “Aman. Semuanya masih lelap tertidur,” pikirku.
            Kujingkatkan kakiku menuju pintu, kubuka dan kututup kembali dengan sangat perlahan. Tujuanku satu, ke ruang itu. Ruangannya memang tidak luas, kalau kuhitung dari lantai ubin dari keramik putih sekitar sembilan buah panjang dan sebelas lebarnya. Kupegang dan tarik ke bawah pegangan pintunya juga dengan perlahan tanpa menimbulkan suara yang berarti membuat terjaga salah satu penghuninya yang sedang tertidur. Langsung kududuk di kursi persis di depan layar monitor. Di ruang ini hanya ada satu unit perangkat komputer yang masih digunakan papa untuk mengetik sesuatu, letaknya di sudut kanan dari arah pintu ruangan. Kulihat ada seperangkat komputer lainnya tapi tak pernah lagi kuperhatikan papa menggunakannya. Ada juga CPU yang yang sudah terbuka cashing-nya. Entah kenapa mungkin rusak atau sedang diperbaiki papa yang paling pasti sering kulihat ia kotak-katik, kadang membongkar dan memasangnya kembali begitu bila suatu waktu kulewat dan menengok ke ruang ini. Sebuah monitor di atas satu meja di dekat ambang jendela dengan buku-buku yang tumpang-tindih bertumpuk tidak teratur dan sebuah printer dengan kabelnya yang menjuntai ke bawah meja menyentuh lantai. Meja lainnya tidak jauh dari sisiku di sebelah kananku duduk terdapat beberapa buku agak acak susunannya dan lampu darurat dengan kabel listrik yang masih menempel pada saklar. Kulihat lampu indikator berwarna merah menyala pertanda sedang mengisi enerji listrik pada baterainya tadi sewaktu aku berhasil membuka pintu masuk.
            Kududuk sebentar di kursi depan komputer ini. Agak berderit, sejenak kuberhenti agar tidak berlangsung lama dan keras suaranya. Setelah yakin tak kudengar lagi bunyinya, kuhempaskan perlahan pantatku di kursi hitam dengan dua tangan kursi berlapis plastik busa di dalamnya. Aku duduk menyandarkan punggungku, diam. Kucoba mengingat-ingat lagi awal kejadian Senin sore itu tatkala papa pergi mengajar privat, mama mengajar di salah satu SMU di Depok, aa masih belum pulang dari sekolahnya, nenekku tertidur di kamarnya dan si teteh, sebutan untuk pembantuku, entah berada di mana, mungkin ke warung yang agak jauh, sehingga sendirianlah aku berada di ruang ini.
            Ah,” desahku.
            Tak habis pikir oleh akalku yang terbilang masih balita ini. Betapa tidak, di usiaku yang masih dini ini aku mengalami hal yang tidak kualami sebelumnya, mungkin aku satu-satunya yang pernah mengalaminya di ruang ini. Ada rasa keheranan yang sangat luar biasa, dicampur dengan ketakjuban yang tidak mampu kuungkapkan dengan keterbatasan kata-kata lagi, ditambah lagi kebingungan ini terus berpacu, apakah harus kuceritakan kepada salah satu atau seisi keluargaku atau tidak. Bingung.
            “Kalau begitu, apakah mereka mau percaya dengan ceritaku? OK, misalnya papa mungkin bisa memahami dan mempercayainya karena kutahu biasanya banyak mengantisipasi tindakanku dengan lebih bijak, bagaimana aku menjelaskan pertanyaan-pertanyaannya? Akh…. Aku menjadi semakin bingung!” Begitu kecamuk pikiranku ini.
             Saat itu awal kejadiannya cukup singkat saja komputer papa dalam kondisi tidak aktif, mati. Tahu-tahu aku sudah ada di sisi kursi papa di depan komputernya dan aku tidak ingat, apa atau siapa yang mengantar kedua kakiku duduk tepat di kursi ini. Lalu seperti ada gerakan yang mengarahkan jari telunjukku ke tombol CPU dan monitor papa. Kutekan sebentar satu-persatu dan prosesnya lebih cepat dari biasanya, bahkan tidak seperti biasa saat aku sering menemani menghidupkannya, agak lama. Dan tanganku kala itu tergerak menekan tombol-tombol yang masih kuingat jelas, X, P, R lalu Enter tanpa kumengerti mengapa. Dan perlahan di sudut ruang ini........muncullah cahaya membulat dan meninggi berdiameter cukup besar seukuran dua kali besar pohon kelapa pikirku. Sinar itu memancar dari dari sudut bawah ke atas, agak redup terangnya, kehijau-hijauan, kuning dan biru serta sedikit kemerah-merahan. Sambil terkejut, kupicingkan mataku agak lebar, merasa tidak yakin dengan apa yang sedang kusaksikan saat itu. Hampir saja aku berteriak dan melompat untuk berlari menjauh kalau saja gerakanku tidak tertahan dengan sempitnya jarak antara meja dan kursi tempatku duduk. Sehingga itu menjagaku tetap terduduk di sini. Aku semakin terkesiap saat sebuah benda terlihat agak ringan melayang tanpa desingnya yang keras berputar sebentar di ruangan ini.
            Wuihh!” Pikirku dalam hati dengan penuh berbagai macam perasaan dalam benakku.
Kini rasa takutku terlupakan, dan mulai terganti dengan keingintahuanku yang semakin besar terhadap obyek yang terus kutatap, tanpa sedikit pun kulewatkan gerakan yang kian kemari. Dalam tatapanku, obyek itu seolah mengerti aku sangat menikmatinya melayang-layang, sehingga kupikir ia sedang menari-nari di sekitar ruangan dengan indah dan gemulainya. Bila ia bergerak ke arah kananku, kuikuti dengan memutar leher dan bahuku ke kanan. Sebentar lagi ia telah melayang menari-nari kembali ke arah semula, ke sebelah kiri dan tanpa kusadari bahu dan leherku pun kugerakkan ke arah sana.
            Beberapa saat kemudian, itu melayang dan berputar hingga perlahan dan pasti melayang menuju arahku, dan jatuh ke atas pangkuanku, diam tak bergerak, mereduplah cahayanya saat itu.
            Kini aku yang tak mampu berbuat apa-apa. Bingung. Tidak tahu apa yang mesti kulakukan. Sementara hanya mampu kulihat benda di atas pangkuanku saat itu, sebentar kuperhatikan lagi. Masih tak bergerak. Tak ada reaksi, tanpa cahayanya lagi seperti tadi. Hanya bentuknya saja yang semakin jelas dalam pandanganku kini, bulat memanjang sekitar sepuluh sentimeter, bening keputih-putihan dengan beberapa tombol kecil dan besar di permukaanya tanpa kuketahui apa fungsi kesemuanya itu. Sementara aku tak mau tahu. Kuperhatikan ada hurup-hurup, simbol di atasnya dan kata di atas tombol lainnya. Aku semakin tak mengerti karena aku memang belum mampu membaca hingga akhir tahunku di PAUD, semacam Taman Kanak-kanak atau TK untuk anak-anak belajar layaknya di taman kanak-kanak. Pernah suatu kali papaku bilang bahwa aku termasuk anak yang kreatif memiliki kegemaran menggambar. Sehingga sebagian besar dinding rumah yang menjadi kursus ini penuh dengan gambar-gambarku, Naruto, si tokoh Ninja cilik terkenal dari Jepang itu dengan beragam aksi. Tak ada ruang kosong sudah di dinding penuh dengan goresan pensil, pensil warna, pulpen, krayon atau bahkan spidol. Hasratku memang tinggi untuk menggambar tokoh idola yang satu ini, dan papa atau mamaku kini seolah seperti membiarkan saja ulahku. Bahkan tidak ada peluang halaman-halaman kosong buku tulis, kertas atau diari yang masih bisa kucorat-coret dengan sang tokohku itu. Pernah suatu kali papaku bilang,
            “Papa juga sering menggambar sekali-kali, Ga, sewaktu SD, SMP atau SMA, Cuma enggak sering aja,” paparnya ketika sedang memperhatikan aku sewaktu sedang asyik membuat Naruto.
            Hah?!” Teriakku pelan dan tertahan.
Aku sedikit terperanjat agak takut ketika benda di pangkuanku pelan mengeluarkan bunyi berdesis dengan asap tipis, dan samar-samar bergerak naik dengan sesekali bergoyang ke kanan dan kiri, seperti mengundang tanganku untuk menangkapnya. Aku masih belum bereaksi terhadapnya. Diam dalam keterkejutanku tak tahu apa yang harus kulakukan saat itu. Akhirnya dengan perlahan sekali ia mengarah ke tangan kananku seolah-olah memberi sinyal beberapa kali agar tanganku meraihnya. Aku masih terkesiap dan tak mencoba meraihnya. Bunyi desisnya semakin jelas ketika aku masih tetap tidak bergeming.
“Apa yang aku harus lakukan?”
Pikiranku terus berkecamuk dengan sejuta kebingunganku.
Sementara benda itu berhenti bergerak dan desisannya pun berhenti. Beberapa saat muncul lagi, dan kini lebih cepat bergoyang-goyang sinarnya membentuk garis dari kiri ke kanan dengan kemilau cahaya biru seiring laju geraknya yang membuat aku semakin bingung, setelah ia tepat berada di atas tanganku dan diam, tak bergerak hingga desisannya terasa mengeluarkan angin yang menyentuh buku tanganku yang masih menelungkup.
Saat itu rasa penasaranku semakin besar dan ingin tahu seandainya kuraih dan kupegang. Dengan sedikit rasa khawatir dan takut, kuberanikan diri membalikkan tanganku sehingga telapak tanganku berada di atas. Sangat pelan sekali agar tak menyentuhnya, karena aku takut ia bereaksi menyerang atau mungkin menyakitiku. Kulihat tidak ada suatu gerakan apa pun, benda itu masih diam. Kuangkat telunjukku agar menyentuhnya dan kemudian terhenti karena keraguanku masih cukup besar. Aku masih terpaku, punggungku kurapatkan di sandaran kursi. Kutambahkan sedikit keberanianku dengan sedikit menaikkan ujung telunjukku agak mendekat. Dan……! Kuusap dahi yang kurasakan agak sedikit berkeringat dengan gemetar tangan kananku yang tak bisa kutahan, tak kulanjutkan, kuambil nafas untuk menenangkan diriku. Lalu…. dengan sedkiti dorongan ke atas saja telunjukku sudah menyentuhnya. Kurasakan sedikit hangat sisi bawahnya dalam ketakbergerakannya. Kusapu beberapa kali, agak licin dan halus dan perlahan bergoyang lalu turun ke arah telapakku. Kali ini tidak kurasakan desiran angin yang keluar dari bawahnya atau cahaya seperti sebelumnya kulihat saat melayang-layang. Tiba-tiba,
Pluk.”
Suaranya pelan ketika jatuh ke tanganku. Rasa hangat sebelumnya tak kurasakan lagi saat berada di telapakku, dan kini berganti dingin dan sejuk membuatku nyaman. Aku semakin heran,
“Gila! Ia tidak menyerangku bahkan kini hanya tergeletak diam saja,” gumamku dalam hati.
Seiring semakin sejuk kurasakan, semakin bertambah keberanianku untuk mencoba menggenggamnya. Namun aku masih ragu melakukannya. Beberapa saat aku dan ia seperti sama-sama menunggu reaksi masing-masing.
Ah….masa bodoh apa yang selanjutnya akan terjadi. Aku sudah lama di ruang ini dan sepertinya sudah mau pagi. ‘ntar papa atau mama bangun mencariku di mana karena aku tak ada di tempat tidur. Berabe kalau ke mari bisa-bisa kena marah, apalagi papa tahu aku ada di ruang komputer kerjanya,” pikirku sambil memberanikan diri dan secara perlahan menggenggamnya.
Ooh!
Aku spontan melenguh pelan, kaget ketika melihat kepalan tanganku menggenggamnya bergoyang pelan dan membawanya ke arah sudut bawah meja di mana terdapat buku-buku dan beberapa CD case dan berhenti di sana.
Setelah tiba di sudut kanan yang agak tersembunyi dari penglihatan dan menemukan celah ruang, tanganku secara otomatis terbuka dan terlihatlah kilau benda itu dalam kegelapan sudut bawah meja. Tanpa kuduga dan kutahan ujung-ujung jemariku terbuka merapat pula dan menungging ke bawah menjatuhkan benda itu dari telapakku.
Pluk!
Suara pelan seiring jatuhnya benda melalui celah pertanda telah menyentuh dasar papan kayu. Sebentar aku terdiam tak mengerti dan tak tahu mengapa dan harus bagaimana. Kemudian dari sudut mataku terlihat diameter cahaya membentuk lorong di sudut ruangan tadi semakin mengecil. Aku segera membalikkan tubuhku yang agak membungkuk dan kini kuberdiri. Diameternya semakin mengecil dan selang beberapa detik saja sudah lenyap tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Aku bingung dan mencoba mundur perlahan untuk keluar dari kursi dan meja tadi kuberdiri. Kuberhenti sejenak, dan kuperhatikan lagi sekeliling ruangan, diam dan sepi seolah-olah seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Di tengah kebingunganku, aku merasakan kantuk yang luar biasa kuatnya.
Ahhh…..kenapa tiba-tiba aku merasa sangat mengantuk sekali ya?” Keluhku dalam hati.
Tanpa kuat lagi berpikir aku bergegas kembali ke kamar tidurku di mana masih kulihat papa masih menelungkup di kasur setengah bulatnya, mama berselimut hingga sebatas leher, tinggal wajahnya menghadap ke kiri dan aa miring memeluk guling, semua masih terlelap dengan pulas. Aku naik perlahan ke tengah-tengah antara mama dan aa lalu dengan semakin beratnya kantukku kurebahkan kepalaku dan kupeluk guling sambil meraih botol susuku yang masih tersisa seperempat dan menyedotnya. Beberapa saat aku sudah tak ingat apa-apa lagi.

Prolog Daftar Isi Fatsal 1 Fatsal 2 Fatsal 3 Fatsal 4 Fatsal 5 Fatsal 6
Fatsal 7 Fatsal 8 Fatsal 9 Fatsal 10 Fatsal 11 Fatsal 12 Fatsal 13 Fatsal 14
Fatsal 15 Fatsal 16 Fatsal 17 Fatsal 18 Fatsal 19 Fatsal 20 Fatsal 21 Fatsal 22
Fatsal 23

0 komentar :

Posting Komentar