Hari ini tanggal tujuh April dua ribu
sebelas pukul empat belas lewat lima belas dan aku masih tetap tak bisa
memejamkan mata. Memang aneh untuk anak seusiaku. Aku baru berusia enam tahun
lebih beberapa bulan saja. Sudah tiga hari ini aku gelisah apakah harus
kuceritakan apa yang telah kuketahui dan kualami atau tidak. Bingung. Hingga
detik ini masih kutahan-tahan, tidak ada seorang pun yang kuberitahu, bahkan
keluargaku sekali pun.
Kucoba bangun dari tempat tidurku.
Ada mama di sisi ranjangku tidur, pulas. Kakakku, Kemal, asyik memeluk guling
dengan kaos dalam saja, milik papa yang nampak longgar di tubuhnya yang kecil.
Ia biasa kupanggil aa, istilah Betawi
atau Sunda, sebutan untuk saudara laki-laki yang lebih tua. Air liurnya yang
biasanya disebut iler kulihat
mengalir dari sudut bibir sebelah bawah pertanda ia sangat pulas. Kucoba
bangkit dan duduk.
Di bawah kulihat papa sama saja, masih
terlelap pulas sambil tengkurap di kasur tebal. Kasur itu biasa digunakan papa
sebagai alas tidur. Agak tinggi dan tebal memang. Aku tahu itu dulu sebenarnya
biasa digunakan sebagai sofa keluarga, hanya sandarannya yang sudah dilepas dan
aku tidak tahu entah ada di mana lagi kini.
Lalu merangkak pelan-pelan sekali
turun dari ranjang agar tak terdengar siapa pun, setelah kuputuskan ke ruang
itu. Sangat perlahan kuturunkan kedua kakiku menjaga agar tidak ada derit yang
bisa membangunkan salah satu dari mereka. Kulihat aa masih pulas sesekali menggeliat, namun kuberhenti sejenak sambil
berdiri di sisi ranjang untuk meyakinkan apakah ada yang terjaga dari tidur
mereka.
“Aman. Semuanya masih lelap
tertidur,” pikirku.
Kujingkatkan kakiku menuju pintu,
kubuka dan kututup kembali dengan sangat perlahan. Tujuanku satu, ke ruang itu.
Ruangannya memang tidak luas, kalau kuhitung dari lantai ubin dari keramik
putih sekitar sembilan buah panjang dan sebelas lebarnya. Kupegang dan tarik ke
bawah pegangan pintunya juga dengan perlahan tanpa menimbulkan suara yang
berarti membuat terjaga salah satu penghuninya yang sedang tertidur. Langsung
kududuk di kursi persis di depan layar monitor. Di ruang ini hanya ada satu
unit perangkat komputer yang masih digunakan papa untuk mengetik sesuatu, letaknya
di sudut kanan dari arah pintu ruangan. Kulihat ada seperangkat komputer
lainnya tapi tak pernah lagi kuperhatikan papa menggunakannya. Ada juga CPU yang yang sudah terbuka cashing-nya. Entah kenapa mungkin rusak
atau sedang diperbaiki papa yang paling pasti sering kulihat ia kotak-katik,
kadang membongkar dan memasangnya kembali begitu bila suatu waktu kulewat dan
menengok ke ruang ini. Sebuah monitor di atas satu meja di dekat ambang jendela
dengan buku-buku yang tumpang-tindih bertumpuk tidak teratur dan sebuah printer dengan kabelnya yang menjuntai ke
bawah meja menyentuh lantai. Meja lainnya tidak jauh dari sisiku di sebelah
kananku duduk terdapat beberapa buku agak acak susunannya dan lampu darurat
dengan kabel listrik yang masih menempel pada saklar. Kulihat lampu indikator
berwarna merah menyala pertanda sedang mengisi enerji listrik pada baterainya
tadi sewaktu aku berhasil membuka pintu masuk.
Kududuk sebentar di kursi depan
komputer ini. Agak berderit, sejenak kuberhenti agar tidak berlangsung lama dan
keras suaranya. Setelah yakin tak kudengar lagi bunyinya, kuhempaskan perlahan
pantatku di kursi hitam dengan dua tangan kursi berlapis plastik busa di dalamnya.
Aku duduk menyandarkan punggungku, diam. Kucoba mengingat-ingat lagi awal
kejadian Senin sore itu tatkala papa pergi mengajar privat, mama mengajar di
salah satu SMU di Depok, aa masih
belum pulang dari sekolahnya, nenekku tertidur di kamarnya dan si teteh,
sebutan untuk pembantuku, entah berada di mana, mungkin ke warung yang agak
jauh, sehingga sendirianlah aku berada di ruang ini.
“Ah,”
desahku.
Tak habis pikir oleh akalku yang
terbilang masih balita ini. Betapa tidak, di usiaku yang masih dini ini aku
mengalami hal yang tidak kualami sebelumnya, mungkin aku satu-satunya yang
pernah mengalaminya di ruang ini. Ada rasa keheranan yang sangat luar biasa,
dicampur dengan ketakjuban yang tidak mampu kuungkapkan dengan keterbatasan
kata-kata lagi, ditambah lagi kebingungan ini terus berpacu, apakah harus
kuceritakan kepada salah satu atau seisi keluargaku atau tidak. Bingung.
“Kalau begitu, apakah mereka mau
percaya dengan ceritaku? OK, misalnya
papa mungkin bisa memahami dan mempercayainya karena kutahu biasanya banyak
mengantisipasi tindakanku dengan lebih bijak, bagaimana aku menjelaskan
pertanyaan-pertanyaannya? Akh…. Aku
menjadi semakin bingung!” Begitu kecamuk pikiranku ini.
Saat itu awal kejadiannya cukup singkat saja komputer
papa dalam kondisi tidak aktif, mati. Tahu-tahu aku sudah ada di sisi kursi
papa di depan komputernya dan aku tidak ingat, apa atau siapa yang mengantar kedua
kakiku duduk tepat di kursi ini. Lalu seperti ada gerakan yang mengarahkan jari
telunjukku ke tombol CPU dan monitor
papa. Kutekan sebentar satu-persatu dan prosesnya lebih cepat dari biasanya,
bahkan tidak seperti biasa saat aku sering menemani menghidupkannya, agak lama.
Dan tanganku kala itu tergerak menekan tombol-tombol yang masih kuingat jelas, X, P,
R lalu Enter tanpa kumengerti mengapa. Dan perlahan di sudut ruang
ini........muncullah cahaya membulat dan meninggi berdiameter cukup besar
seukuran dua kali besar pohon kelapa pikirku. Sinar itu memancar dari dari
sudut bawah ke atas, agak redup terangnya, kehijau-hijauan, kuning dan biru
serta sedikit kemerah-merahan. Sambil terkejut, kupicingkan mataku agak lebar, merasa
tidak yakin dengan apa yang sedang kusaksikan saat itu. Hampir saja aku
berteriak dan melompat untuk berlari menjauh kalau saja gerakanku tidak
tertahan dengan sempitnya jarak antara meja dan kursi tempatku duduk. Sehingga
itu menjagaku tetap terduduk di sini. Aku semakin terkesiap saat sebuah benda
terlihat agak ringan melayang tanpa desingnya yang keras berputar sebentar di
ruangan ini.
“Wuihh!”
Pikirku dalam hati dengan penuh berbagai macam perasaan dalam benakku.
Kini rasa takutku terlupakan, dan mulai
terganti dengan keingintahuanku yang semakin besar terhadap obyek yang terus
kutatap, tanpa sedikit pun kulewatkan gerakan yang kian kemari. Dalam tatapanku,
obyek itu seolah mengerti aku sangat menikmatinya melayang-layang, sehingga
kupikir ia sedang menari-nari di sekitar ruangan dengan indah dan gemulainya.
Bila ia bergerak ke arah kananku, kuikuti dengan memutar leher dan bahuku ke
kanan. Sebentar lagi ia telah melayang menari-nari kembali ke arah semula, ke
sebelah kiri dan tanpa kusadari bahu dan leherku pun kugerakkan ke arah sana.
Beberapa saat kemudian, itu melayang
dan berputar hingga perlahan dan pasti melayang menuju arahku, dan jatuh ke
atas pangkuanku, diam tak bergerak, mereduplah cahayanya saat itu.
Kini aku yang tak mampu berbuat
apa-apa. Bingung. Tidak tahu apa yang mesti kulakukan. Sementara hanya mampu
kulihat benda di atas pangkuanku saat itu, sebentar kuperhatikan lagi. Masih
tak bergerak. Tak ada reaksi, tanpa cahayanya lagi seperti tadi. Hanya
bentuknya saja yang semakin jelas dalam pandanganku kini, bulat memanjang
sekitar sepuluh sentimeter, bening keputih-putihan dengan beberapa tombol kecil
dan besar di permukaanya tanpa kuketahui apa fungsi kesemuanya itu. Sementara
aku tak mau tahu. Kuperhatikan ada hurup-hurup, simbol di atasnya dan kata di
atas tombol lainnya. Aku semakin tak mengerti karena aku memang belum mampu
membaca hingga akhir tahunku di PAUD,
semacam Taman Kanak-kanak atau TK
untuk anak-anak belajar layaknya di taman kanak-kanak. Pernah suatu kali papaku
bilang bahwa aku termasuk anak yang kreatif memiliki kegemaran menggambar. Sehingga
sebagian besar dinding rumah yang menjadi kursus ini penuh dengan gambar-gambarku,
Naruto, si tokoh Ninja cilik terkenal
dari Jepang itu dengan beragam aksi. Tak ada ruang kosong sudah di dinding
penuh dengan goresan pensil, pensil warna, pulpen, krayon atau bahkan spidol. Hasratku
memang tinggi untuk menggambar tokoh idola yang satu ini, dan papa atau mamaku
kini seolah seperti membiarkan saja ulahku. Bahkan tidak ada peluang
halaman-halaman kosong buku tulis, kertas atau diari yang masih bisa
kucorat-coret dengan sang tokohku itu. Pernah suatu kali papaku bilang,
“Papa juga sering menggambar
sekali-kali, Ga, sewaktu SD, SMP atau SMA, Cuma enggak sering aja,” paparnya ketika sedang
memperhatikan aku sewaktu sedang asyik membuat Naruto.
“Hah?!”
Teriakku pelan dan tertahan.
Aku sedikit terperanjat agak takut
ketika benda di pangkuanku pelan mengeluarkan bunyi berdesis dengan asap tipis,
dan samar-samar bergerak naik dengan sesekali bergoyang ke kanan dan kiri,
seperti mengundang tanganku untuk menangkapnya. Aku masih belum bereaksi
terhadapnya. Diam dalam keterkejutanku tak tahu apa yang harus kulakukan saat
itu. Akhirnya dengan perlahan sekali ia mengarah ke tangan kananku seolah-olah
memberi sinyal beberapa kali agar tanganku meraihnya. Aku masih terkesiap dan
tak mencoba meraihnya. Bunyi desisnya semakin jelas ketika aku masih tetap
tidak bergeming.
“Apa yang aku harus lakukan?”
Pikiranku terus berkecamuk dengan sejuta
kebingunganku.
Sementara benda itu berhenti bergerak
dan desisannya pun berhenti. Beberapa saat muncul lagi, dan kini lebih cepat
bergoyang-goyang sinarnya membentuk garis dari kiri ke kanan dengan kemilau
cahaya biru seiring laju geraknya yang membuat aku semakin bingung, setelah ia
tepat berada di atas tanganku dan diam, tak bergerak hingga desisannya terasa
mengeluarkan angin yang menyentuh buku tanganku yang masih menelungkup.
Saat itu rasa penasaranku semakin besar
dan ingin tahu seandainya kuraih dan kupegang. Dengan sedikit rasa khawatir dan
takut, kuberanikan diri membalikkan tanganku sehingga telapak tanganku berada
di atas. Sangat pelan sekali agar tak menyentuhnya, karena aku takut ia
bereaksi menyerang atau mungkin menyakitiku. Kulihat tidak ada suatu gerakan
apa pun, benda itu masih diam. Kuangkat telunjukku agar menyentuhnya dan
kemudian terhenti karena keraguanku masih cukup besar. Aku masih terpaku,
punggungku kurapatkan di sandaran kursi. Kutambahkan sedikit keberanianku
dengan sedikit menaikkan ujung telunjukku agak mendekat. Dan……! Kuusap dahi
yang kurasakan agak sedikit berkeringat dengan gemetar tangan kananku yang tak
bisa kutahan, tak kulanjutkan, kuambil nafas untuk menenangkan diriku. Lalu…. dengan
sedkiti dorongan ke atas saja telunjukku sudah menyentuhnya. Kurasakan sedikit
hangat sisi bawahnya dalam ketakbergerakannya. Kusapu beberapa kali, agak licin
dan halus dan perlahan bergoyang lalu turun ke arah telapakku. Kali ini tidak
kurasakan desiran angin yang keluar dari bawahnya atau cahaya seperti
sebelumnya kulihat saat melayang-layang. Tiba-tiba,
“Pluk.”
Suaranya pelan ketika jatuh ke tanganku.
Rasa hangat sebelumnya tak kurasakan lagi saat berada di telapakku, dan kini
berganti dingin dan sejuk membuatku nyaman. Aku semakin heran,
“Gila! Ia tidak menyerangku bahkan kini
hanya tergeletak diam saja,” gumamku dalam hati.
Seiring semakin sejuk kurasakan, semakin
bertambah keberanianku untuk mencoba menggenggamnya. Namun aku masih ragu
melakukannya. Beberapa saat aku dan ia seperti sama-sama menunggu reaksi
masing-masing.
“Ah….masa bodoh apa yang selanjutnya akan
terjadi. Aku sudah lama di ruang ini dan sepertinya sudah mau pagi. ‘ntar papa atau mama bangun mencariku di
mana karena aku tak ada di tempat tidur. Berabe
kalau ke mari bisa-bisa kena marah,
apalagi papa tahu aku ada di ruang komputer kerjanya,” pikirku sambil
memberanikan diri dan secara perlahan menggenggamnya.
“Ooh!”
Aku spontan melenguh pelan, kaget ketika
melihat kepalan tanganku menggenggamnya bergoyang pelan dan membawanya ke arah
sudut bawah meja di mana terdapat buku-buku dan beberapa CD case dan berhenti di sana.
Setelah tiba di sudut kanan yang agak
tersembunyi dari penglihatan dan menemukan celah ruang, tanganku secara
otomatis terbuka dan terlihatlah kilau benda itu dalam kegelapan sudut bawah
meja. Tanpa kuduga dan kutahan ujung-ujung jemariku terbuka merapat pula dan
menungging ke bawah menjatuhkan benda itu dari telapakku.
“Pluk!”
Suara pelan seiring jatuhnya benda
melalui celah pertanda telah menyentuh dasar papan kayu. Sebentar aku terdiam
tak mengerti dan tak tahu mengapa dan harus bagaimana. Kemudian dari sudut
mataku terlihat diameter cahaya membentuk lorong di sudut ruangan tadi semakin
mengecil. Aku segera membalikkan tubuhku yang agak membungkuk dan kini
kuberdiri. Diameternya semakin mengecil dan selang beberapa detik saja sudah
lenyap tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Aku bingung dan mencoba mundur perlahan
untuk keluar dari kursi dan meja tadi kuberdiri. Kuberhenti sejenak, dan
kuperhatikan lagi sekeliling ruangan, diam dan sepi seolah-olah seperti tidak
pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Di tengah kebingunganku, aku merasakan
kantuk yang luar biasa kuatnya.
“Ahhh…..kenapa
tiba-tiba aku merasa sangat mengantuk sekali ya?” Keluhku dalam hati.
Tanpa kuat lagi berpikir aku bergegas kembali ke
kamar tidurku di mana masih kulihat papa masih menelungkup di kasur setengah
bulatnya, mama berselimut hingga sebatas leher, tinggal wajahnya menghadap ke
kiri dan aa miring memeluk guling,
semua masih terlelap dengan pulas. Aku naik perlahan ke tengah-tengah antara
mama dan aa lalu dengan semakin
beratnya kantukku kurebahkan kepalaku dan kupeluk guling sambil meraih botol
susuku yang masih tersisa seperempat dan menyedotnya. Beberapa saat aku sudah
tak ingat apa-apa lagi.Prolog | Daftar Isi | Fatsal 1 | Fatsal 2 | Fatsal 3 | Fatsal 4 | Fatsal 5 | Fatsal 6 |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Fatsal 7 | Fatsal 8 | Fatsal 9 | Fatsal 10 | Fatsal 11 | Fatsal 12 | Fatsal 13 | Fatsal 14 |
Fatsal 15 | Fatsal 16 | Fatsal 17 | Fatsal 18 | Fatsal 19 | Fatsal 20 | Fatsal 21 | Fatsal 22 |
Fatsal 23 |
0 komentar :
Posting Komentar