Fatsal 23 You Say Goodbye I Say Hello
Suasana sangat meriah di kabin ruang
rahasia bawah tanah istana Kerajaan Gemrilozie. Ruangan yang sangat luas
dihiasi berbagai ornamen dari kain halus warna-warni cerah. Kain-kain disimpul
pada dinding-dinding dan langit-langit yang dibiarkan turun menjuntai pada
ujungnya. Bunga-bungaan pada pepohonan bonsai diletakkan dalam pot-pot keramik
berukur dan berief indah di sudut-sudut dan muka panggung singgasana
kursi-kursi raja. Panggung siinggasana itu hanya berlantaikan papan kayu yang
dilapisi karpet tak seberapa tebal. Hanya panji-panji setiap kerajaan berjajar
di belakang kursi raja yang menjadikannya Nampak megah dan agung. Air mancur
mengitari sebuah sebuah obor besar bergemericik menumpahkan air ke dalam kolam
di muka panggung. Di tengah kolam, Sembilan patung rakyat bersimpuh
menengadahkan sebuah guci kosong. Mereka mengitari sebuah patung raja sedang
berjongkok menggendong tempayan besar dan menuangkan isinya ke dalam sebuah
guci salah satu patung rakyat itu. Di sekeliling kolam terhampar permadani
tebal nan halus menutupi lantai hingga ke tepian.
Para pembesar dan punggawa istana
kerajaan telah berdiri, berbaris dan berjajar di sebelah kanan menghadap ke
jajaran dan barisan para pembesar dan punggawa lain. Mereka dibatasi dengan
sebuah jalan masuk yang cukup luas bagi iring-iringan Ksatria Aga dan ketiga
ksatria pengiring serta mantan Raja Tucapenbath, Ansiabia Kejnat.
Ketika aku dan rombongan memasuki
lorong itu, para raja yang tengah duduk menanti di kursi mereka masing-masing
serentak berdiri hormat dan bertepuk tangan. Para pembesar dan punggawa pun
ikut bertepuk tangan menambah kesemarakan dan kegembiraan senyuman di wajah mereka.
Kami berhenti sejenak tatkala tepuk
tangan itu berhenti dan tiba di depan kolam air mancur, lalu membungkuk
menghaturkan penghormatan kepada para paduka raja, lalu bangkit. Aku maju
beberapa langkah dan memberikan salam penghormatan sekali lagi dan mulai
membuka salamku.
“Ampun paduka raja semua, izinkanlah
hamba mewakili para ksatria dan mantan Raja Tucapenbath, Paduka Ansiabia
Kejnat, menyampaikan laporan.”
“Permohonan engkau diterima, wahai
Ksatria Pembebas…….dan lanjutkan,” jawab Raja Aribi Dilwiba yang berdiri di
pusat singgasana mewakili para raja yang ada di sana.
“Seperti yang Paduka dan segenap
raja-raja dan para hadirin di sini turut menyaksikan melalui tayangan langsung,
kami kira kami telah melengkapi tugas dan misi ini. Saat ini bersama kami turut
serta Paduka Ansiabia Kejnat yang juga nanti hendak menyampaikan sesuatu di
hadapan Paduka Raja Aribi Dilwiba dan segenap raja-raja yang mulia dan pembesar
istana,” lanjutku memberi laporan dengan suara tenang dan sopan.
“Aku dan segenap raja-raja
mengucapkan selamat kepada engkau dan ketiga ksatria atas keberhasilan yang
gemilang melaksanakan tugas dan misi tersebut. Ketahuilah, wahai
saudara-saudaraku, bahwa ini bukan kemenangan atas peperangan antarkerajaan
semata, tidak juga atas pertempuran itu. Terlebih dari itu, ini adalah
kemenangan atas sebuah kebenaran melawan kelaliman. Kelaliman setiap manusia
yang bisa saja terdapat pada manusia, diri kita. Dan……” sejenak ia
mengembangkan senyum ramah lalu melanjutkan lagi. “Kemenangan yang paling besar
dan mulia sesungguhnya telah diraih oleh kedua belah pihak, saudara-saudaraku,……..
yaitu para ksatria dan Raja Ansiabia Kejnat.”
“Oleh karena itu, aku Raja Aribi
Dilwiba dan raja-raja dari seluruh kawasan kerajaan di alam ini menganugerahkan
dan mengukuhkan masing-masing kepada para tamu kehormatan, yaitu Ksatria Aga
dan ketiga pengiringnya sebagai satu-kesatuan: The Chosen, Ksatria Penyelamat dan Pembebas;
selanjutnya kepada Paduka Ansiabia Kejnat sebuah nama baru untuk beliau,”
katanya sambil tersenyum menatapnya akrab.
Seluruh hadirin pun kembali bertepuk
tangan lebih riuh seolah-olah hendak menumpahkan semua kebahagiaan mereka
karena tak ada dendam sedikit pun yang mereka rasakan saat ini kepada mantan
raja itu.
“Keputusan beliau untuk turun tahta
setelah kejadian itu semula memang kami sangat sayangkan, namun kami sangat
menghargai dan menghormati keputusan beliau yang sangat agung. Akhirnya, kami
mengerti bahwa keputusan itu merupakan cerminan jiwa besar dan dan akan selalu
menjadi kebesaran beliau,” sampai di sini ia berhenti berkata sejenak dan tepuk
tangan pun kembali bergema.
Sesaat setelah suasana kembali
tenang, ia melanjutkan, “Kesepakatan ini bukan tanpa dasar dan alasan, nama itu
bagi kita menjadi sebuah titik awal sejarah kemenangan beliau. Pun nama itu
dapat dijadikan sebagai momen untuk melupakan dan menghapuskan citra buruk
beliau di masa lalu, sekaligus sebagai bentuk rasa simpatik dan penghormatan
tertinggi. Dan kami para raja telah sepakat dengan nama baru tersebut bagi beliau…….”
sang raja sempat mengalihkan pandangan kepada rekan-rekan raja satu-persatu
yang berdiri di barisan belakangnya sambil tersenyum meminta konfirmasi, dan
mereka pun serentak mengangguk.
“RASYUGUSTI PUTRAJIHANSA……”
ucapnya dengan nada tenang tapi pasti.
Kembali tepuk tangan gembira dan
bahagia bergema dengan riuh-rendahnya.
“Nama tersebut bermakna Rasa
Syukur kepada Gusti Tuhan Yang Maha Esa Puja serta Pujinya Sembahan Manusia,”
jelasnya.
Kemudian tepuk tangan para hadirin
pun seolah-olah tidak pernah bosan dan henti-hentinya menyambut hari kemenangan
besar mereka semua.
“Sekali lagi ucapan beribu-ribu terima
kasih khususnya kepada Ksatria Aga, The Chosen, dan ketiga ksatria;
Ksatria Satria, Ksatria Kemal dan Ksatria Nandya sebagai pengiring sebagai Ksatria
Penyelamat dan Pembebas atas segala jasa-jasa yang engkau persembahkan
kepada kami di alam ini. Dan……sampaikan salam hormat dan takzim dan perdamaian
selalu dari kami kepada segenap umat manusia di bumi para ksatria tinggal,”
tutup sang raja dengan beberapa tetes airmata kesedihan dan keharuan yang
mendalam.
Ungkapan terakhir sang raja tentu saja
membuat seluruh raja-raja dan para pembesar dan punggawa ikut meneteskan
airmata kepiluan. Akhirnya mereka baru menyadari bahwa mereka akan berpisah
dengan orang-orang yang mereka cintai dan sangat banggakan itu.
Aku pun menjadi ikut tersedak dengan
perpisahan ini. Aku kembali teringat saat pertama-tama aku tiba di ala mini dan
segala keanehan dan kebingunganku hingga pertemuanku dengan sang profesor, para
asisten dan sang jenderal serta anak-anak buahnya yang sangat mengesankan
diriku. Kulihat ketiga mitraku yang tidak lain adalah papa dan kakak-kakakku
pun ikut merasakan haru dan menitikkan airmata, sedih.
Kesedihan dan kepiluan itu pun masih
terus bergelayut di hati kami masing-masing saat Rasyugusti Putrajihansa yang
tidak lain dan tidak bukan, mantan Raja Tucapenbath, tengah menyampaikan salam
dan permohonan maaf dan ampunan atas segala kesalahan-kesalahan dan
dosa-dosanya kepada para raja dan seluruh rakyat kerajaan masing-masing secara
langsung kepada mereka, serta keinginannya menjadi hamba kebenaran dan keadilan
bagi seluruh umat manusia.
Ia pun menyampaikan ucapan terima
kasihnya, karena telah menerima anugerah berupa nama yang sangat indah sebagai
penghormatan kepada dirinya. Dan ia pun akhirnya menutup sambutannya dengan
mengucapkan terima kasih yang istimewa kepadaku dan ketiga mitraku. Menurutnya
kami bukan hanya sebagai Ksatria Penyelamat dan Pembebas, The Chosen, tapi juga
merupakan para Pahlawan Kebenaran dan Keadilan. Kulihat ia menangis terisak,
menahan gejolak keharuan dan kesedihan yang sangat jelas terpancar dari
jiwanya.
Aku merasa terkesan sekali dengan sambutan
Rasyugusti Putrajihansa yang begitu legowo pemunculannya di hadapan para raja-raja,
yang notabene pernah ia jadikan
tawanan dan tahanan. Tak sedikit pun kata-katanya menampakkan kesombongan atau
keangkuhan yang dulu menempel erat pada dirinya. Bahkan tak secuil pun, sikap
dan perilaku kebengisan dan kelalimannya terlihat lagi pada dirinya kini bila
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya; ia akan langsung menyiksa atau
membinasakan orang yang membuatnya merasa rendah atau tersaingi. Saat itu,
tidak ada dan tidak boleh siapa pun berlaku salah atau lalai sedikit pun di
mata dirinya. Dalam penutup kata-katanya, ia berpesan
pada kami bahwa ia merupakan contoh nyata atas kebenaran dan keadilan yang akan
selalu mengalahkan kelaliman.
Akhirnya,
waktu yang diberikan kepada kami pun tiba di penghujung acara untuk mengucapkan
salam perpisahan. Aku didampingi Ksatria Satria, Ksatria Kemal, dan Ksatria
Nandya mengatakan bahwa seperti yang mereka ketahui merupakan sebuah keluarga yang
terdiri dari seorang bapak dan anak-anak. Berkat kecanggihan teknologi dan ilmu
pengetahuan merekalah kami mampu membantu apa yang mereka butuhkan. Aku
tegaskan lagi kepada mereka bahwa kami memang tidak memiliki daya dan kekuatan
apa pun kecuali bergantung hanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Jika segala
sesuatu sesuai seperti yang diharapkan itu pun berkat rahmat dan hidayahNya
jua. Aku pun tidak lupa bahwa mereka dapat kapan saja menghubungi kami jika di
lain waktu mereka membutuhkan sesuatu dan memang menjadi perkenanNya. Kami akan
menjaga kekuatan demi membela kebenaran dan keadilan bagi siapa saja yang
membutuhkan di masa yang akan dating.
Setelah sambutan itu kami
menghaturkan penghormatan kepada para raja, namun mereka menolaknya, melainkan merangkul
kami satu-persatu secara bergantian. Hal inilah yang membuat aku dan ketiga
mitraku menjadi terharu atas kehormatan sangat besar ini. Sangat jarang sekali,
para raja yang sangat dihormati dan disegani, rela berpeluk-rangkul dengan
orang yang tidak sederajat dengan mereka, tapi mereka mencontohkan lain. Mereka
seolah ingin menyatakan bahwa derajat manusia di mana pun sama di mata
Tuhannya, kecuali tingkat kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Raja Aribi
Dilwiba mengajak para raja dan kami menuruni panggung singgasana untuk langsung
memberikan jabatan tangan kepada para punggawa dan pembesar istana yang masih
tetap setia pada raja mereka masing-masing baik dalam suka maupun duka. Tentu
saja, hal ini menjadi momen berharga bagi mereka betapa nilai kekeluargaan
semakin erat terjalin demi profesionalisme kinerja kerajaan yang sangat tinggi.
Setelah usai, kami beramah tamah sambil menikmati hidangan hingga waktu
perpisahan yang sesungguhnya pun terpaksa memisahkan kami.
Aku dan ketiga mitraku berjalan
diiringi Raja Aribi Dilwiba, Rasyugusti Putrajihansa, para raja, Jenderal Zargi
diiringi oleh para perwira tingginya termasuk Kapten Rayzor nan gagah dan
berani, Profesor Cherpantulas dan para asistennya termasuk Dr. Biodenti nan
elok dan cantik itu, dan para punggawa serta pembesar istana menuju kabin
transformasi yang akan menghantarkan kami kembali di dunia. Dalam perjalanan ke
sana, Raja Aribi Dilwiba sempat berpesan bahwa kekuatan eXtremePower Riders atau XPR
yang kami jaga, meskipun didapatkan melalui teknologi mereka, namun hakikatnya
itu berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan Yang Maha Kuasa. Aku pun
berjanji untuk menjaga dan menggunakannya demi memperjuangkan kebenaran dan
keadilan bagi siapa pun yang membutuhkannya. Sang raja nan arif, bijaksanan,
adil, dan berwibawa ini memperlambat langkahnya secara perlahan menuju ke kabin
itu seolah-olah ia tak ingin berpisah dari kami dan ingin kami bisa tinggal
bersama mereka lebih lama lagi, atau kami menetap menjadi penduduk alam ini.
Sempat dalam suatu perbincangan suatu kali ia hendak mewariskan tahta istana
dan kerajaannya kepadaku bila ia telah wafat nanti, tidak kepada pewaris
keluarganya. Menurutnya, aku merupakan tipe yang lebih cocok dan sesuai sebagai
seorang pewaris kerajaannya ini. Saat itu, aku hanya tersenyum dan
menganggapnya sebagai keramahtamahan seorang raja yang cukup kukagumi ini. Aku
mengomentarinya dengan menyatakan bahwa masih ada pewaris atau calon lain yang
lebih berhak untuk itu. Dan ia pun hanya tersenyum dan manggut-manggut beberapa
kali, tanda mengerti apa maksud kata-kataku itu. Tapi, kini ia mengungkapkannya
lagi tanpa segan-segan dan sungkan, karena menurutnya lagi ia menganggap aku
sudah seperti puteranya sendiri.
Tak kami sadari, kami sudah berada
di kabin itu, dan segala sesuatunya telah dipersiapkan untuk keberangkatan kami
pulang kembali ke alam dunia. Inilah detik-detik yang sangat menegangkan dan
sekaligus mengharukan. Betapa sesungguhnya ia, Raja Aribi Dilwiba dari Kerajaan
Gemrilozie, pemimpin yang memiliki wilayah kerajaan yang gemah ripah loh jinawi
cukup luas di berbagai kawasan kerajaan di alam ini sangat berat dengan perpisahan
ini seolah-olah menjadi perpisahan terakhir dan tak akan bertemu kembali. Aku
meyakinkannya bahwa kapan saja ia membutuhkan ia dapat dengan mudah menghubungi
kami kapan saja. Setelah ia telah menerima kenyataan ini barulah ia merasa
lebih tenang dan melepas kepergian kami. Kulihat para raja dan rombongan di
luar kabin transformasi melambaikan tangan mereka sambil terisak menahan
tangis, kecuali airmata mereka yang tak kuat dibendung karena kesedihan dan
kepiluan ini. Kami melambaikan tangan kepada mereka. Kulihat semua tersenyum
dan mulai menangisi kepergian kami. Tidak terkecuali pada Jenderal Zargi yang
berperawakan sangat kekar dan wajah simpatiknya, dan Kapten Rayzor yang
memiliki kenangan tersendiri bersamaku dan Dr. Biodenti saat di goa persembunyian
itu. Profesor Cherpantulas dan para asistennya termasuk Dr. Biodenti hampir tak
bisa berkosentrasi penuh saat mulai melakukan penyensoran dan pengkodean sistem
secara bersama-sama. Sang asisten tersebut dengan pipi dibasahi tetesan airmata
menatapku dengan senyuman istimewa dan pandangan tertentu di wajahnya yang tak
kumengerti maknanya. Saat mereka selesai dan detik-detik pentransformasian
tersebut, mereka pun ikut melambaikan tangannya yang terakhir.
Aku dan ketiga ksatria yang masih bertubuh
kekar mulai bersiaga setelah selubung cahaya melingkupi kami. Perlahan bayangan
mereka mulai menghilang, dan suasana di dalam selubung ini persis sama ketika
aku pertama kali memasukinya beberapa waktu yang lalu. Bedanya waktu itu aku
dalam kondisi ketakutan dan ketidakmengertian tentang ini semua. Setelah
pergerakan kami semakin lama semakin cepat, dan perlahan tubuhku mulai berubah
ke kondisi semula layaknya seorang anak kecil kembali. Aku perhatikan
satu-persatu diriku; kedua tangan dan jemarinya, perut dan kedua kakiku kini
telah berubah dan bajuku sama seperti yang dulu awal kukenakan. Tapi, di
tanganku kini tergenggam kembali alat itu, XPR, yang mampu merubah segalanya
tentang diriku dengan semua petualangan yang terjadi dan kualami, bahkan dengan
papa dan kedua kakakku. Aku perhatikan lagi sekelilingku kepada kakak-kakakku, Aa Kemal dan Kak Nandya mereka pun telah
kembali ke wujud semula dengan pakaian terakhir yang mereka kenakan dulu saat
mereka bangun dari tidur mereka. Begitu juga, hal ini terjadi dengan papa. Ia
nampak kembali ke wujudnya semula dengan tubuh yang kurus dan tidak begitu
tinggi. Kami lalu saling berangkulan dan merasa seolah-olah ini seperti mimpi
saja selama ini. Cukup lama kami berpelukan melepaskan rasa kerinduan atas
perasaan kehilangan waktu itu. Kami tak berkata apa-apa, kecuali rasa syukur.
Dan saat itu kuperlihatkan XPR itu kepada mereka. Lalu mereka
meminta aku menjaga alat itu baik-baik dan menyuruhku memasukkan ke dalam saku
celanaku. Dan tanpa kami sadari…….
Kami telah berada di sebuah sudut sebuah
ruangan yang telah jauh berbeda dari pertama kali kami masuki beberapa hari
yang lalu.
Sungguh kami masih terpaku dengan
pemandangan ruangan tempat kami tiba ini dengan beberapa kursi dan sebuah meja
cukup besar di tengahnya. Namun tak ada siapa-siapa di sana. Kosong dan sepi.
Kami merasa heran dan berkeliling di sekitar ruangan mencari-cari petunjuk di
mana keberadaan kami saat ini. Aku menuju pintu itu. Tapi masih ragu…..
“Ga, tunggu
sebentar. Dea, Kemal ke mari. Semua duduk dulu,” kata papa meminta kami
menempati kursi yang ada di ruang ini.
“Enaknya
kita jawab apa kalo mama tanya
tentang kepergian kita selama beberapa waktu yang lalu?” Tanyanya lagi kepada
kami meminta persetujuan.
“Ya udah
ceritain aja apa adanya, pah….” ujar Kak Dea menjawab pertanyaan papa.
“Iya, jawab aja yang kita alamin,”
timpal Aa Kemal menyetujui saran Kak Dea.
“Menurut Aga, kita simpen aja ini menjadi rahasia kita beberapa hari atau minggu. Kalo perlu diceritain, kita cerita…… kalo
enggak, ya kita jadiin rahasia
kita aja selamanya,” ungkapku kepada
mereka bertiga.
“Ya, tepat banget, papa setuju dengan saran Aga, adikmu. Lagian kita telah
berjanji untuk tetap menjalankan misi menjaga kebenaran dan keadilan itu,”
ungkap papa lagi menyetujuiku dan menambahkan dengan alasan logis.
Akhirnya, kami semua sepakat seperti
itu. Melanjutkan pencarian hingga kami putuskan keluar lewat pintu itu dengan
hati-hati. Namun, begitu pintu kami buka perlahan sedikit demi sedikit……. Susana telah berubah. Rumah yang kosong,
kecuali meja dan kursi tamu dan beberapa perabotan lain.
Dengan berbaris dan berjalan hati-hati
seperti orang yang sedang mengendap-endap, papa memimpin di depan kami
berjalan. Masih tak ada siapa-siapa, dan semua ruangan yang telah berubah jauh
ini menjadi kosong. Kami tidak menemukan mama di mana pun, tidak juga di kamar
tidur. Tapi ke mana? Papa tiba-tiba memanggil kami setengah berteriak dan
menunjuk ke sebuah dinding. Sebuah kalender. Kami terkejut sekali mengetahui
bahwa saat ini kalender menunjukkan tahun dua ribu dua puluh satu!!!
Dengan penuh keheranan dan
ketakmengertian, kami berempat dan rasa kantuk yang mulai menyerang kami,
masing-masing beranjak ke beberapa deretan sofa di sebuah ruangan untuk duduk
menyandarkan punggung. Kulihat papa, Kak
Dea, Aa Kemal mengambil posisi sofa
yang nyaman untuk mereka tempati. Dan aku pun mencari sofaku dekat papa, dan
tak terasa lagi setelah beberapa lama, jatuh tertidur. Tak ingat apa-apa lagi,
kecuali satu mimpi indahku ke mimpi berikutnya…….. sebagai XPR.
“Mana seorang hamba yang Aku ketahui
hatinya, maka Aku lihat, hatinya banyak bergantung untuk mengingat Aku, maka
Akulah yang mengendalikan siasatnya, Akulah teman duduknya. Aku orang yang
memberitahunya dan Akulah yang menggembirakannya.” (Firman Tuhan)
0 komentar :
Posting Komentar