Senin, 08 Juli 2013

Fatsal 23 You Say Goodbye I Say Hello



Fatsal 23 You Say Goodbye I Say Hello

            Suasana sangat meriah di kabin ruang rahasia bawah tanah istana Kerajaan Gemrilozie. Ruangan yang sangat luas dihiasi berbagai ornamen dari kain halus warna-warni cerah. Kain-kain disimpul pada dinding-dinding dan langit-langit yang dibiarkan turun menjuntai pada ujungnya. Bunga-bungaan pada pepohonan bonsai diletakkan dalam pot-pot keramik berukur dan berief indah di sudut-sudut dan muka panggung singgasana kursi-kursi raja. Panggung siinggasana itu hanya berlantaikan papan kayu yang dilapisi karpet tak seberapa tebal. Hanya panji-panji setiap kerajaan berjajar di belakang kursi raja yang menjadikannya Nampak megah dan agung. Air mancur mengitari sebuah sebuah obor besar bergemericik menumpahkan air ke dalam kolam di muka panggung. Di tengah kolam, Sembilan patung rakyat bersimpuh menengadahkan sebuah guci kosong. Mereka mengitari sebuah patung raja sedang berjongkok menggendong tempayan besar dan menuangkan isinya ke dalam sebuah guci salah satu patung rakyat itu. Di sekeliling kolam terhampar permadani tebal nan halus menutupi lantai hingga ke tepian.
            Para pembesar dan punggawa istana kerajaan telah berdiri, berbaris dan berjajar di sebelah kanan menghadap ke jajaran dan barisan para pembesar dan punggawa lain. Mereka dibatasi dengan sebuah jalan masuk yang cukup luas bagi iring-iringan Ksatria Aga dan ketiga ksatria pengiring serta mantan Raja Tucapenbath, Ansiabia Kejnat.
            Ketika aku dan rombongan memasuki lorong itu, para raja yang tengah duduk menanti di kursi mereka masing-masing serentak berdiri hormat dan bertepuk tangan. Para pembesar dan punggawa pun ikut bertepuk tangan menambah kesemarakan dan kegembiraan senyuman di wajah mereka.
            Kami berhenti sejenak tatkala tepuk tangan itu berhenti dan tiba di depan kolam air mancur, lalu membungkuk menghaturkan penghormatan kepada para paduka raja, lalu bangkit. Aku maju beberapa langkah dan memberikan salam penghormatan sekali lagi dan mulai membuka salamku.
            “Ampun paduka raja semua, izinkanlah hamba mewakili para ksatria dan mantan Raja Tucapenbath, Paduka Ansiabia Kejnat, menyampaikan laporan.”
            “Permohonan engkau diterima, wahai Ksatria Pembebas…….dan lanjutkan,” jawab Raja Aribi Dilwiba yang berdiri di pusat singgasana mewakili para raja yang ada di sana.
            “Seperti yang Paduka dan segenap raja-raja dan para hadirin di sini turut menyaksikan melalui tayangan langsung, kami kira kami telah melengkapi tugas dan misi ini. Saat ini bersama kami turut serta Paduka Ansiabia Kejnat yang juga nanti hendak menyampaikan sesuatu di hadapan Paduka Raja Aribi Dilwiba dan segenap raja-raja yang mulia dan pembesar istana,” lanjutku memberi laporan dengan suara tenang dan sopan.
            “Aku dan segenap raja-raja mengucapkan selamat kepada engkau dan ketiga ksatria atas keberhasilan yang gemilang melaksanakan tugas dan misi tersebut. Ketahuilah, wahai saudara-saudaraku, bahwa ini bukan kemenangan atas peperangan antarkerajaan semata, tidak juga atas pertempuran itu. Terlebih dari itu, ini adalah kemenangan atas sebuah kebenaran melawan kelaliman. Kelaliman setiap manusia yang bisa saja terdapat pada manusia, diri kita. Dan……” sejenak ia mengembangkan senyum ramah lalu melanjutkan lagi. “Kemenangan yang paling besar dan mulia sesungguhnya telah diraih oleh kedua belah pihak, saudara-saudaraku,…….. yaitu para ksatria dan Raja Ansiabia Kejnat.”
            “Oleh karena itu, aku Raja Aribi Dilwiba dan raja-raja dari seluruh kawasan kerajaan di alam ini menganugerahkan dan mengukuhkan masing-masing kepada para tamu kehormatan, yaitu Ksatria Aga dan ketiga pengiringnya sebagai satu-kesatuan: The Chosen, Ksatria Penyelamat dan Pembebas; selanjutnya kepada Paduka Ansiabia Kejnat sebuah nama baru untuk beliau,” katanya sambil tersenyum menatapnya akrab.
            Seluruh hadirin pun kembali bertepuk tangan lebih riuh seolah-olah hendak menumpahkan semua kebahagiaan mereka karena tak ada dendam sedikit pun yang mereka rasakan saat ini kepada mantan raja itu.
            “Keputusan beliau untuk turun tahta setelah kejadian itu semula memang kami sangat sayangkan, namun kami sangat menghargai dan menghormati keputusan beliau yang sangat agung. Akhirnya, kami mengerti bahwa keputusan itu merupakan cerminan jiwa besar dan dan akan selalu menjadi kebesaran beliau,” sampai di sini ia berhenti berkata sejenak dan tepuk tangan pun kembali bergema.
            Sesaat setelah suasana kembali tenang, ia melanjutkan, “Kesepakatan ini bukan tanpa dasar dan alasan, nama itu bagi kita menjadi sebuah titik awal sejarah kemenangan beliau. Pun nama itu dapat dijadikan sebagai momen untuk melupakan dan menghapuskan citra buruk beliau di masa lalu, sekaligus sebagai bentuk rasa simpatik dan penghormatan tertinggi. Dan kami para raja telah sepakat dengan nama baru tersebut bagi beliau…….” sang raja sempat mengalihkan pandangan kepada rekan-rekan raja satu-persatu yang berdiri di barisan belakangnya sambil tersenyum meminta konfirmasi, dan mereka pun serentak mengangguk.
            RASYUGUSTI PUTRAJIHANSA……” ucapnya dengan nada tenang tapi pasti.
            Kembali tepuk tangan gembira dan bahagia bergema dengan riuh-rendahnya.
            “Nama tersebut bermakna Rasa Syukur kepada Gusti Tuhan Yang Maha Esa Puja serta Pujinya Sembahan Manusia,” jelasnya.
            Kemudian tepuk tangan para hadirin pun seolah-olah tidak pernah bosan dan henti-hentinya menyambut hari kemenangan besar mereka semua.
“Sekali lagi ucapan beribu-ribu terima kasih khususnya kepada Ksatria Aga, The Chosen, dan ketiga ksatria; Ksatria Satria, Ksatria Kemal dan Ksatria Nandya sebagai pengiring  sebagai Ksatria Penyelamat dan Pembebas atas segala jasa-jasa yang engkau persembahkan kepada kami di alam ini. Dan……sampaikan salam hormat dan takzim dan perdamaian selalu dari kami kepada segenap umat manusia di bumi para ksatria tinggal,” tutup sang raja dengan beberapa tetes airmata kesedihan dan keharuan yang mendalam.
Ungkapan terakhir sang raja tentu saja membuat seluruh raja-raja dan para pembesar dan punggawa ikut meneteskan airmata kepiluan. Akhirnya mereka baru menyadari bahwa mereka akan berpisah dengan orang-orang yang mereka cintai dan sangat banggakan itu.
Aku pun menjadi ikut tersedak dengan perpisahan ini. Aku kembali teringat saat pertama-tama aku tiba di ala mini dan segala keanehan dan kebingunganku hingga pertemuanku dengan sang profesor, para asisten dan sang jenderal serta anak-anak buahnya yang sangat mengesankan diriku. Kulihat ketiga mitraku yang tidak lain adalah papa dan kakak-kakakku pun ikut merasakan haru dan menitikkan airmata, sedih.
Kesedihan dan kepiluan itu pun masih terus bergelayut di hati kami masing-masing saat Rasyugusti Putrajihansa yang tidak lain dan tidak bukan, mantan Raja Tucapenbath, tengah menyampaikan salam dan permohonan maaf dan ampunan atas segala kesalahan-kesalahan dan dosa-dosanya kepada para raja dan seluruh rakyat kerajaan masing-masing secara langsung kepada mereka, serta keinginannya menjadi hamba kebenaran dan keadilan bagi seluruh umat manusia.
            Ia pun menyampaikan ucapan terima kasihnya, karena telah menerima anugerah berupa nama yang sangat indah sebagai penghormatan kepada dirinya. Dan ia pun akhirnya menutup sambutannya dengan mengucapkan terima kasih yang istimewa kepadaku dan ketiga mitraku. Menurutnya kami bukan hanya sebagai Ksatria Penyelamat dan Pembebas, The Chosen, tapi juga merupakan para Pahlawan Kebenaran dan Keadilan. Kulihat ia menangis terisak, menahan gejolak keharuan dan kesedihan yang sangat jelas terpancar dari jiwanya.
            Aku merasa terkesan sekali dengan sambutan Rasyugusti Putrajihansa yang begitu legowo pemunculannya di hadapan para raja-raja, yang notabene pernah ia jadikan tawanan dan tahanan. Tak sedikit pun kata-katanya menampakkan kesombongan atau keangkuhan yang dulu menempel erat pada dirinya. Bahkan tak secuil pun, sikap dan perilaku kebengisan dan kelalimannya terlihat lagi pada dirinya kini bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya; ia akan langsung menyiksa atau membinasakan orang yang membuatnya merasa rendah atau tersaingi. Saat itu, tidak ada dan tidak boleh siapa pun berlaku salah atau lalai sedikit pun di mata dirinya. Dalam penutup kata-katanya, ia berpesan pada kami bahwa ia merupakan contoh nyata atas kebenaran dan keadilan yang akan selalu mengalahkan kelaliman.
            Akhirnya, waktu yang diberikan kepada kami pun tiba di penghujung acara untuk mengucapkan salam perpisahan. Aku didampingi Ksatria Satria, Ksatria Kemal, dan Ksatria Nandya mengatakan bahwa seperti yang mereka ketahui merupakan sebuah keluarga yang terdiri dari seorang bapak dan anak-anak. Berkat kecanggihan teknologi dan ilmu pengetahuan merekalah kami mampu membantu apa yang mereka butuhkan. Aku tegaskan lagi kepada mereka bahwa kami memang tidak memiliki daya dan kekuatan apa pun kecuali bergantung hanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Jika segala sesuatu sesuai seperti yang diharapkan itu pun berkat rahmat dan hidayahNya jua. Aku pun tidak lupa bahwa mereka dapat kapan saja menghubungi kami jika di lain waktu mereka membutuhkan sesuatu dan memang menjadi perkenanNya. Kami akan menjaga kekuatan demi membela kebenaran dan keadilan bagi siapa saja yang membutuhkan di masa yang akan dating.
            Setelah sambutan itu kami menghaturkan penghormatan kepada para raja, namun mereka menolaknya, melainkan merangkul kami satu-persatu secara bergantian. Hal inilah yang membuat aku dan ketiga mitraku menjadi terharu atas kehormatan sangat besar ini. Sangat jarang sekali, para raja yang sangat dihormati dan disegani, rela berpeluk-rangkul dengan orang yang tidak sederajat dengan mereka, tapi mereka mencontohkan lain. Mereka seolah ingin menyatakan bahwa derajat manusia di mana pun sama di mata Tuhannya, kecuali tingkat kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Raja Aribi Dilwiba mengajak para raja dan kami menuruni panggung singgasana untuk langsung memberikan jabatan tangan kepada para punggawa dan pembesar istana yang masih tetap setia pada raja mereka masing-masing baik dalam suka maupun duka. Tentu saja, hal ini menjadi momen berharga bagi mereka betapa nilai kekeluargaan semakin erat terjalin demi profesionalisme kinerja kerajaan yang sangat tinggi. Setelah usai, kami beramah tamah sambil menikmati hidangan hingga waktu perpisahan yang sesungguhnya pun terpaksa memisahkan kami.
            Aku dan ketiga mitraku berjalan diiringi Raja Aribi Dilwiba, Rasyugusti Putrajihansa, para raja, Jenderal Zargi diiringi oleh para perwira tingginya termasuk Kapten Rayzor nan gagah dan berani, Profesor Cherpantulas dan para asistennya termasuk Dr. Biodenti nan elok dan cantik itu, dan para punggawa serta pembesar istana menuju kabin transformasi yang akan menghantarkan kami kembali di dunia. Dalam perjalanan ke sana, Raja Aribi Dilwiba sempat berpesan bahwa kekuatan eXtremePower Riders atau XPR yang kami jaga, meskipun didapatkan melalui teknologi mereka, namun hakikatnya itu berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan Yang Maha Kuasa. Aku pun berjanji untuk menjaga dan menggunakannya demi memperjuangkan kebenaran dan keadilan bagi siapa pun yang membutuhkannya. Sang raja nan arif, bijaksanan, adil, dan berwibawa ini memperlambat langkahnya secara perlahan menuju ke kabin itu seolah-olah ia tak ingin berpisah dari kami dan ingin kami bisa tinggal bersama mereka lebih lama lagi, atau kami menetap menjadi penduduk alam ini. Sempat dalam suatu perbincangan suatu kali ia hendak mewariskan tahta istana dan kerajaannya kepadaku bila ia telah wafat nanti, tidak kepada pewaris keluarganya. Menurutnya, aku merupakan tipe yang lebih cocok dan sesuai sebagai seorang pewaris kerajaannya ini. Saat itu, aku hanya tersenyum dan menganggapnya sebagai keramahtamahan seorang raja yang cukup kukagumi ini. Aku mengomentarinya dengan menyatakan bahwa masih ada pewaris atau calon lain yang lebih berhak untuk itu. Dan ia pun hanya tersenyum dan manggut-manggut beberapa kali, tanda mengerti apa maksud kata-kataku itu. Tapi, kini ia mengungkapkannya lagi tanpa segan-segan dan sungkan, karena menurutnya lagi ia menganggap aku sudah seperti puteranya sendiri.
            Tak kami sadari, kami sudah berada di kabin itu, dan segala sesuatunya telah dipersiapkan untuk keberangkatan kami pulang kembali ke alam dunia. Inilah detik-detik yang sangat menegangkan dan sekaligus mengharukan. Betapa sesungguhnya ia, Raja Aribi Dilwiba dari Kerajaan Gemrilozie, pemimpin yang memiliki wilayah kerajaan yang gemah ripah loh jinawi cukup luas di berbagai kawasan kerajaan di alam ini sangat berat dengan perpisahan ini seolah-olah menjadi perpisahan terakhir dan tak akan bertemu kembali. Aku meyakinkannya bahwa kapan saja ia membutuhkan ia dapat dengan mudah menghubungi kami kapan saja. Setelah ia telah menerima kenyataan ini barulah ia merasa lebih tenang dan melepas kepergian kami. Kulihat para raja dan rombongan di luar kabin transformasi melambaikan tangan mereka sambil terisak menahan tangis, kecuali airmata mereka yang tak kuat dibendung karena kesedihan dan kepiluan ini. Kami melambaikan tangan kepada mereka. Kulihat semua tersenyum dan mulai menangisi kepergian kami. Tidak terkecuali pada Jenderal Zargi yang berperawakan sangat kekar dan wajah simpatiknya, dan Kapten Rayzor yang memiliki kenangan tersendiri bersamaku dan Dr. Biodenti saat di goa persembunyian itu. Profesor Cherpantulas dan para asistennya termasuk Dr. Biodenti hampir tak bisa berkosentrasi penuh saat mulai melakukan penyensoran dan pengkodean sistem secara bersama-sama. Sang asisten tersebut dengan pipi dibasahi tetesan airmata menatapku dengan senyuman istimewa dan pandangan tertentu di wajahnya yang tak kumengerti maknanya. Saat mereka selesai dan detik-detik pentransformasian tersebut, mereka pun ikut melambaikan tangannya yang terakhir.
Aku dan ketiga ksatria yang masih bertubuh kekar mulai bersiaga setelah selubung cahaya melingkupi kami. Perlahan bayangan mereka mulai menghilang, dan suasana di dalam selubung ini persis sama ketika aku pertama kali memasukinya beberapa waktu yang lalu. Bedanya waktu itu aku dalam kondisi ketakutan dan ketidakmengertian tentang ini semua. Setelah pergerakan kami semakin lama semakin cepat, dan perlahan tubuhku mulai berubah ke kondisi semula layaknya seorang anak kecil kembali. Aku perhatikan satu-persatu diriku; kedua tangan dan jemarinya, perut dan kedua kakiku kini telah berubah dan bajuku sama seperti yang dulu awal kukenakan. Tapi, di tanganku kini tergenggam kembali alat itu, XPR, yang mampu merubah segalanya tentang diriku dengan semua petualangan yang terjadi dan kualami, bahkan dengan papa dan kedua kakakku. Aku perhatikan lagi sekelilingku kepada kakak-kakakku, Aa Kemal dan Kak Nandya mereka pun telah kembali ke wujud semula dengan pakaian terakhir yang mereka kenakan dulu saat mereka bangun dari tidur mereka. Begitu juga, hal ini terjadi dengan papa. Ia nampak kembali ke wujudnya semula dengan tubuh yang kurus dan tidak begitu tinggi. Kami lalu saling berangkulan dan merasa seolah-olah ini seperti mimpi saja selama ini. Cukup lama kami berpelukan melepaskan rasa kerinduan atas perasaan kehilangan waktu itu. Kami tak berkata apa-apa, kecuali rasa syukur. Dan saat itu kuperlihatkan XPR itu kepada mereka. Lalu mereka meminta aku menjaga alat itu baik-baik dan menyuruhku memasukkan ke dalam saku celanaku. Dan tanpa kami sadari…….
Kami telah berada di sebuah sudut sebuah ruangan yang telah jauh berbeda dari pertama kali kami masuki beberapa hari yang lalu.
Sungguh kami masih terpaku dengan pemandangan ruangan tempat kami tiba ini dengan beberapa kursi dan sebuah meja cukup besar di tengahnya. Namun tak ada siapa-siapa di sana. Kosong dan sepi. Kami merasa heran dan berkeliling di sekitar ruangan mencari-cari petunjuk di mana keberadaan kami saat ini. Aku menuju pintu itu. Tapi masih ragu…..
“Ga, tunggu sebentar. Dea, Kemal ke mari. Semua duduk dulu,” kata papa meminta kami menempati kursi yang ada di ruang ini.
Enaknya kita jawab apa kalo mama tanya tentang kepergian kita selama beberapa waktu yang lalu?” Tanyanya lagi kepada kami meminta persetujuan.
“Ya udah ceritain aja apa adanya, pah….” ujar Kak Dea menjawab pertanyaan papa.
“Iya, jawab aja yang kita alamin,” timpal Aa Kemal menyetujui saran Kak Dea.
“Menurut Aga, kita simpen aja ini menjadi rahasia kita beberapa hari atau minggu. Kalo perlu diceritain, kita cerita…… kalo enggak, ya kita jadiin rahasia kita aja selamanya,” ungkapku kepada mereka bertiga.
“Ya, tepat banget, papa setuju dengan saran Aga, adikmu. Lagian kita telah berjanji untuk tetap menjalankan misi menjaga kebenaran dan keadilan itu,” ungkap papa lagi menyetujuiku dan menambahkan dengan alasan logis.
Akhirnya, kami semua sepakat seperti itu. Melanjutkan pencarian hingga kami putuskan keluar lewat pintu itu dengan hati-hati. Namun, begitu pintu kami buka perlahan sedikit demi sedikit…….  Susana telah berubah. Rumah yang kosong, kecuali meja dan kursi tamu dan beberapa perabotan lain.
Dengan berbaris dan berjalan hati-hati seperti orang yang sedang mengendap-endap, papa memimpin di depan kami berjalan. Masih tak ada siapa-siapa, dan semua ruangan yang telah berubah jauh ini menjadi kosong. Kami tidak menemukan mama di mana pun, tidak juga di kamar tidur. Tapi ke mana? Papa tiba-tiba memanggil kami setengah berteriak dan menunjuk ke sebuah dinding. Sebuah kalender. Kami terkejut sekali mengetahui bahwa saat ini kalender menunjukkan tahun dua ribu dua puluh satu!!!
Dengan penuh keheranan dan ketakmengertian, kami berempat dan rasa kantuk yang mulai menyerang kami, masing-masing beranjak ke beberapa deretan sofa di sebuah ruangan untuk duduk menyandarkan punggung. Kulihat papa, Kak Dea, Aa Kemal mengambil posisi sofa yang nyaman untuk mereka tempati. Dan aku pun mencari sofaku dekat papa, dan tak terasa lagi setelah beberapa lama, jatuh tertidur. Tak ingat apa-apa lagi, kecuali satu mimpi indahku ke mimpi berikutnya……..  sebagai XPR.
           
“Mana seorang hamba yang Aku ketahui hatinya, maka Aku lihat, hatinya banyak bergantung untuk mengingat Aku, maka Akulah yang mengendalikan siasatnya, Akulah teman duduknya. Aku orang yang memberitahunya dan Akulah yang menggembirakannya.” (Firman Tuhan)
tHe eNd



Prolog Daftar Isi Fatsal 1 Fatsal 2 Fatsal 3 Fatsal 4 Fatsal 5 Fatsal 6
Fatsal 7 Fatsal 8 Fatsal 9 Fatsal 10 Fatsal 11 Fatsal 12 Fatsal 13 Fatsal 14
Fatsal 15 Fatsal 16 Fatsal 17 Fatsal 18 Fatsal 19 Fatsal 20 Fatsal 21 Fatsal 22
Fatsal 23

0 komentar :

Posting Komentar