Fatsal 22 Mengalahkan
Nafsu adalah Kemenanganku
Sebelum perjalanan pulang kembali ke Kerajaan Gemrilozie
atas keberhasilan menyelesaikan misi tersebut, para ksatria diundang oleh Raja Ansiabia
Kejnat untuk mengadakan pertemuan besar sangat istimewa. Pada kesempatan
itu, sang raja mengajak mereka ke ruang kabin-kabin yang dirubah menjadi kabin
sangat besar dan luas. Karena ia telah menitahkan seluruh punggawa dan pembesar
istana mengerjakannya saat itu juga. Kabin tersebut dikhususkan untuk menjamu
para ksatria dan seluruh undangan, termasuk seluruh rakyat jelata tanpa
kecuali, sebagai tamu kehormatan sang raja untuk yang terakhir kalinya.
Di kabin raksasa itu, ia juga hendak
mengisahkan pengalaman pribadinya kepda khalayak. Seluruh undangan dari belahan
dunia lain pun turut diundangnya. Ia juga hendak menyampaikan kepada segenap
keluarga besarnya, dan para petinggi istana bahwa sejak saat itu, titah raja
menjadi kali terakhir tehadap mereka. Meskipun pada akhirnya mereka menjalankan
titah itu dengan berbagai macam pertanyaan yang tak dapat dimengerti maksud
kata-katanya, mereka laksanakan juga dengan sangat cepat dan kilat.
Beberapa saat kemudian berdatangan
segenap undangan dari berbagai kalangan, pun termasuk rakyat jelata
berduyun-duyun menghadiri sebuah acara mercusuar. Acara itu pun langsung
dimulai, namun berbagai hal sudah sangat berbeda dengan acara-acara khusus yang
biasa dihadiri para pembesar itu sebelumnya.
Tiba pada giliran sambutan sang raja,
para hadirin sungguh-sungguh terbelalak matanya dengan mulut menganga
seolah-olah tak percaya dengan apa yang sedang mereka saksikan. Sang raja yang
dulunya begitu sangat membangga-banggakan dirinya, kini ia hanya mengenakan
pakaian yang sangat sederhana bagaikan seorang rakyat jelata pada umumnya. Hal
ini melebihi bahkan melebihi keterkejutan mereka melihat atmosfir acara yang
tidak seperti biasanya. Kemunculannya dari balik kabin sendirian menuju
singgasana yang sebelumnya dibuat sangat mewah dan eksotis, tidak menampakkan dirinya
kecil dan tak berharga. Tanpa para pengawal, tanpa orang-orang terkuat pilihan
dan tanpa embel-embel apa pun yang selalu melekat pada dirinya. Sebaliknya ia
berdiri dengan wajah bersinar, berwibawa dan mulia dengan sorot mata lembut dan
senyum tulus mengembang.
“Wahai saudara-saudaraku…….. salam
sejahtera dan keselamatan selalu untuk kalian,” begitu salam pertama kali ia
membuka kalimatnya yang lembut, ramah, dan sopan.
Tentu saja ini merupakan hal yang sangat
ganjil bagi seorang raja yang dahulunya terkenal lalim, beringas, kejam dan
segala sebutan miring pada dirinya.
“Aku……hendak menyampaikan berita penting
bagia kalian semua….. Aku akan melepaskan seluruh gelar kerajaan yang pernah
kusandang sebelumnya…… Mulai detik ini, aku sudah bukan lagi menjadi raja
kalian. Dan….aku telah memilih jalan hidupku sebagai seorang rakyat biasa,”
umumnya dengan kata-kata tulus dan mantap dan tak terlihat keraguan.
Seluruh hadirin berubah menjadi tambah
tak mengerti atas ungkapan yang tak akan bisa dimengerti itu.
“…….sebuah sejarah hidup telah sangat
menggugah dan berhasil menyadarkanku, akan arti dan makna keterbatasanku
sebagai seorang manusia. Ini telah kutekadkan saat kisah ini kualami langsung
tepat sesaat acara kita ini dilaksanakan,” paparnya lagi dengan menceritakan
bagaimana kisah dirinya saat berada di tempayan besi panas tak berdaya yang
seharusnya memanggang dirinya hidup-hidup, tapi kenyataan berkata lain, ia malah menggigil kedinginan. Itu semua
dikarenakan ia mencoba berubah meyakini kalimat yang diberikan seorang ksatria
dan mengucapkannya terus-menerus.
Tentu saja, kisah raja ini menjadi
sebuah fenomena keimanan dan keyakinan bagi seseorang semakin bertambah kuat
dan tebal. Dan, kisah raja inilah yang pada akhirnya menjadi sebuah jawaban
atas berbagai pertanyaan yang sebelumnya menggelayuti pikiran mereka.
“Aku menghaturkan terima kasih kepada
para ksatria, khususnya Ksatria Aga, Sang
Penyelamat dari Kerajaan Gemrilozie, yang telah mengajarkan sebuah
kebenaran hakiki kepadaku. Maka, sejak saat ini…….aku akan abdikan hidupku,
jiwa dan ragaku kepada kebenaran itu……kepada keadilan, dan…….kepada jalan
Tuhan. Selanjutnya, aku serahkan kerajaan ini kepada siapa pun yang mampu dan
sanggup menjalankan dan menjaga nilai-nilai kebenaran dan keadilan Tuhan. Siapa
pun yang terpilih sebagai raja nantinya untuk tidak lupa mengembalikan seluruh
potensi wilayah kerajaan-kerajaan lain, merehabilitasi dan membangunnya kembali,”
sambutnya dengan nada sendu yang disambut para hadirin dengan tepuk tangan
meriah dan keharuan dan isak tangis.
Seluruh undangan yang hadir mendengar
kisah raja ini bertambah haru dan mulai meneteskan airmata kebahagiaan dan
kesukacitaan, karena ia telah berhasil merubah dirinya menjadi manusia yang
mengarah kepada kesempurnaan.
“Sebagai penutup kata-kataku…..aku
menghaturkan permohonan maaf……dan ampun atas segala kesalahan dan dosaku kepada
kalian sebagai masyarakat kerajaan ini. Aku sangat berharap kalian sudi menerima
permohonanku yang terakhir ini,” pintanya kepada seluruh undangan.
Mendengar kalimat terakhir ini, spontan
seluruh rakyat yang hadir tanpa terkecuali menangis dengan sedu-sedan dengan
kata-katanya yang sangat tulus dan tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Sebelum raja meninggalkan podium istana
dan kerajaanya, ia memperkenalkan para skatria satu-persatu di podium itu. Lalu
ia pamit kepada seluruh keluarganya untuk menjalani kehidupan barunya sebagai
rakyat biasa. Seluruh keluarga istana termasuk permaisuri dan para
putera-puteri pewaris tahta kerajaana para pembesar, dan rakyat jelata tentu
saja kaget dan tersentak mengetahui kenyataan ini. Namun, mereka tak dapat
menolak dan mencegahnya, sehingga dengan sangat berat hati mereka melepas
kepergiannya dan para ksatria dengan isak-tangis membahana dan keharuan yang
sangat mendalam. Apalagi dengan kedua perwira yang tersisa dalam pertarungan
maut yang kini menjadi saksi hidup, Letnan Drago dan letnan Bondi, menjadi
terisak. Lambaian tangan pun tak henti-hentinya mereka lepaskan, bahkan hingga
pesawat yang membawa mereka jauh tak terlihat lagi. Langit di kerajaan itu pun
mulai mendung seolah-olah turut bersedih menyaksikan keharuan di siang itu.
Sementara di ruang rahasia raksasa bawah
tanah istana Kerajaan Gemrilozie jauh di kedalaman sana, para raja dan pembesar
berbagai istana kerajaan terus menonton dan menyaksikan setiap kejadian demi
kejadian, mulai dari pertarungan-pertarungan itu hingga perpisahan terakhir
yang mengharukan. Mereka benar-benar merasa seperti disajikan berbagai macam
perasaan; khawatir, takut, gembira, sedih, senang, bangga, hingga perasaan
bersyukur menjadi satu, saat para ksatria mulai bertempur hingga kepulangan
mereka bersama mantan raja itu. Segala perasaan yang bercampur-aduk, namun
berakhir bahagia.
Para raja dan pembesar berbagai kerajaan
itu mengetahui bahwa sebentar lagi pesawat Ksatria Aga dan ketiga mitranya
serta mantan raja dalam beberapa saat ke depan tiba di kabin rahasia ini. Untuk
itu, mereka telah memepersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut secara layak
rombongan ini. Kemeriahan dalam kesederhanaan di kabin besar itu tidak
menyurutkan semangat para raja, meskipun mereka berstatus raja atau pembesar.
Kehidupan di tahanan Kerajaan Tucapenbath-lah yang menjadikan mereka ‘ngeh’
betapa susah dan pedihnya kehidupan sebagai rakyat biasa, apalagi orang
tahanan. Hal itu yang membuat mereka
bertekad untuk menjalankan roda istana dan membangun kerajaan mereka bersama
rakyat masing-masing dengan arif, bijaksanan, kerja keras, bertakua, adil, dan
merata nantinya. Dan itu bukan lagi sebagai slogan atau semboyan semata. Sebaliknya
sejak saat itu mereka bersungguh-sungguh tidak akan berlaku sombong,
semena-mena, mentang-mentang,
khianat, egois, tebang-pilih, santai, masa-bodoh, memeras, egois, dan
sifat-sifat tak terpuji lainnya sebagai seorang raja, punggawa atau pembesar
istana kerajaan. Menjalani kehidupan seperti di tahanan itulah yang membuat
mereka mengerti arti dan makna hidup, dan merasa hidup. Di sanalah juga mereka
benar-benar hidup ‘sendirian’ tanpa keluarga atau teman yang membantu hidup,
kecuali Tuhan Tempat bergantung. Mereka berpikir seperti itulah kira-kira
kehidupan si rakyat miskin menjalaninya. Jika dipahamai lebih jauh, ternyata
benarlah bahwa Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin.
Di lain tempat, pada puing-puing
Kerajaan Gemrilozie kini sudah tak ada lagi patroli pasukan tentara pada
beberapa menit yang lalu masih berjaga-jaga, berjalan, berkeliling, dan
berputar-putar. Kini sepi dan lengang. Tidak juga terlihat para pekerja paksa
berjalan terengah-engah dan tertatih-tatih dibandul batu besi bulat besar
dengan rantai di kedua kaki mereka sambil mengangkat batu besar di pundak
sambil dihunus senjata bila mereka terjatuh dan terjerembab. Pemandangan itu
sudah tak telihat lagi, bahkan sejak kami melintasi berbagai wilayah kerajaan
yang sebelumnya dicaplok oleh Kerajaan Tucapenbath.
Aku melihat pada radar pesawat kami
bahwa dari kejauhan terdeteksi berbagai jenis pesawat besar berpenumpang
menyebar ke berbagai penjuru mata angin. Aku yakin itu adalah sejumlah besar
pasukan Kerajaan Tucapenbath mulai mengerahkan para tentara mereka untuk
membangun kembali negeri yang telah mereka porak-porandakan. Aku pun merasa
bersyukur permohonan terakhir Raja Ansiabia Kejnat sungguh-sungguh
dilaksanakan, meskipun ia telah turun tahta dengan segala kebesaran jiwanya.
Namun, pada akhirnya ia telah mewariskan teladan terbaik kepada para
penerusnya.
Dalam perjalanan kami tadi, beberapa
kali memang sang raja itu terus meneteskan airmata di pipinya, karena melihat
berbagai dimensi kehancuran dan kerusakan akibat ulahnya beberapa waktu lalu.
Ia semakin sadar bahwa penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan berdampak
kehancuran besar bagi umat manusia. Perasaan inilah yang semakin membuat hati dan
sanubarinya sangat hancur menjerit mengingat apa yang telah ia lakukan terhadap
mereka. Ia merasa bukan lagi sebagai anak manusia bagi Penciptanya, karena
telah berlaku sebagai seorang penjahat perang. Bahkan kini dirinya telah
menjadi seorang teroris yang sangat tega menakut-nakuti, mengancam, mencelakakan,
dan membunuh orang tak bersalah dan tak berdosa demi sebuah keinginan pribadi
atau kerajaannya. Itulah yang semakin membuatnya kini merasa sebagai seorang
hakim terpidana yang kejam dan terlaknat.
Kulihat pula suatu kali sewaktu di
pesawat tadi, ia beberapa kali menarik nafas berat dan panjang seolah-olah
terlalu banyak dan beratnya beban yang ia derita kini. Sesekali ia terlihat
juga mengerutkan dahi sambil melongok ke luar jendela pesawat kami bagaikan tak
akan pernah percaya dengan segala kehancuran yang berkali-kali ia kerap
lakukan. Ia memang sedang menanggung beban berat atas semua ulahnya itu. Ulah
yang pernah ia titahkan kepada para komandan pasukan tentaranya.
Jika memikirkan dan mengenang itu semua
ia merasa memang pantas mati. Tapi……ksatria itu malah memberi peluang sebuah keselamatan kepadanya. Sang ksatria
itu berbudi luhur sekali. Pantaslah ia mewakili Kerajaan Gemrilozie yang sangat
besar dan kerajaan-kerajaan lain yang pernah ia taklukkan. Ia memang memiliki
kekautan itu, mampu menyelamatkan para raja dan pembesar istana yang ia
masukkan ke dalam tahanan.
“Bahkan, ia pun memilih untuk memberi
peluang untuk menyelamatkanku,” kenangnya dalam batin teringat ia diberi
petunjuk untuk mengucapkan kalimat Tuhan itu.
Sungguh pantas jika Ksatria Aga memang menyandang
gelar Ksatria Penyelamat.
Setelah pesawat benar-benar telah masuk ke
lorong menuju hanggar di kabin rahasia Kerajaan Gemrilozie, kulihat sang raja
agak terkejut mengetahui hal ini. Namun terlihat sangat pandai menyimpannya.
Setelah kumatikan mesin pesawat dan kami keluar, beberapa baris tentara
pengawal bersenjata lengkap dari tadi menunggu, memberi sambutan penghormatan
secara militer kepada kami. Lalu mereka membimbing kami menuju kabin
berkumpulnya para raja dan pembesar di sana.
0 komentar :
Posting Komentar