Senin, 08 Juli 2013

Fatsal 22 Mengalahkan Nafsu adalah Kemenanganku



Fatsal 22 Mengalahkan Nafsu adalah Kemenanganku

            Sebelum perjalanan pulang kembali ke Kerajaan Gemrilozie atas keberhasilan menyelesaikan misi tersebut, para ksatria diundang oleh Raja Ansiabia Kejnat untuk mengadakan pertemuan besar sangat istimewa. Pada kesempatan itu, sang raja mengajak mereka ke ruang kabin-kabin yang dirubah menjadi kabin sangat besar dan luas. Karena ia telah menitahkan seluruh punggawa dan pembesar istana mengerjakannya saat itu juga. Kabin tersebut dikhususkan untuk menjamu para ksatria dan seluruh undangan, termasuk seluruh rakyat jelata tanpa kecuali, sebagai tamu kehormatan sang raja untuk yang terakhir kalinya.
Di kabin raksasa itu, ia juga hendak mengisahkan pengalaman pribadinya kepda khalayak. Seluruh undangan dari belahan dunia lain pun turut diundangnya. Ia juga hendak menyampaikan kepada segenap keluarga besarnya, dan para petinggi istana bahwa sejak saat itu, titah raja menjadi kali terakhir tehadap mereka. Meskipun pada akhirnya mereka menjalankan titah itu dengan berbagai macam pertanyaan yang tak dapat dimengerti maksud kata-katanya, mereka laksanakan juga dengan sangat cepat dan kilat.
Beberapa saat kemudian berdatangan segenap undangan dari berbagai kalangan, pun termasuk rakyat jelata berduyun-duyun menghadiri sebuah acara mercusuar. Acara itu pun langsung dimulai, namun berbagai hal sudah sangat berbeda dengan acara-acara khusus yang biasa dihadiri para pembesar itu sebelumnya.
Tiba pada giliran sambutan sang raja, para hadirin sungguh-sungguh terbelalak matanya dengan mulut menganga seolah-olah tak percaya dengan apa yang sedang mereka saksikan. Sang raja yang dulunya begitu sangat membangga-banggakan dirinya, kini ia hanya mengenakan pakaian yang sangat sederhana bagaikan seorang rakyat jelata pada umumnya. Hal ini melebihi bahkan melebihi keterkejutan mereka melihat atmosfir acara yang tidak seperti biasanya. Kemunculannya dari balik kabin sendirian menuju singgasana yang sebelumnya dibuat sangat mewah dan eksotis, tidak menampakkan dirinya kecil dan tak berharga. Tanpa para pengawal, tanpa orang-orang terkuat pilihan dan tanpa embel-embel apa pun yang selalu melekat pada dirinya. Sebaliknya ia berdiri dengan wajah bersinar, berwibawa dan mulia dengan sorot mata lembut dan senyum tulus mengembang.
“Wahai saudara-saudaraku…….. salam sejahtera dan keselamatan selalu untuk kalian,” begitu salam pertama kali ia membuka kalimatnya yang lembut, ramah, dan sopan.
Tentu saja ini merupakan hal yang sangat ganjil bagi seorang raja yang dahulunya terkenal lalim, beringas, kejam dan segala sebutan  miring pada dirinya.
“Aku……hendak menyampaikan berita penting bagia kalian semua….. Aku akan melepaskan seluruh gelar kerajaan yang pernah kusandang sebelumnya…… Mulai detik ini, aku sudah bukan lagi menjadi raja kalian. Dan….aku telah memilih jalan hidupku sebagai seorang rakyat biasa,” umumnya dengan kata-kata tulus dan mantap dan tak terlihat keraguan.
Seluruh hadirin berubah menjadi tambah tak mengerti atas ungkapan yang tak akan bisa dimengerti itu.
“…….sebuah sejarah hidup telah sangat menggugah dan berhasil menyadarkanku, akan arti dan makna keterbatasanku sebagai seorang manusia. Ini telah kutekadkan saat kisah ini kualami langsung tepat sesaat acara kita ini dilaksanakan,” paparnya lagi dengan menceritakan bagaimana kisah dirinya saat berada di tempayan besi panas tak berdaya yang seharusnya memanggang dirinya hidup-hidup, tapi kenyataan berkata lain, ia malah menggigil kedinginan. Itu semua dikarenakan ia mencoba berubah meyakini kalimat yang diberikan seorang ksatria dan mengucapkannya terus-menerus.
Tentu saja, kisah raja ini menjadi sebuah fenomena keimanan dan keyakinan bagi seseorang semakin bertambah kuat dan tebal. Dan, kisah raja inilah yang pada akhirnya menjadi sebuah jawaban atas berbagai pertanyaan yang sebelumnya menggelayuti pikiran mereka.
“Aku menghaturkan terima kasih kepada para ksatria, khususnya Ksatria Aga, Sang Penyelamat dari Kerajaan Gemrilozie, yang telah mengajarkan sebuah kebenaran hakiki kepadaku. Maka, sejak saat ini…….aku akan abdikan hidupku, jiwa dan ragaku kepada kebenaran itu……kepada keadilan, dan…….kepada jalan Tuhan. Selanjutnya, aku serahkan kerajaan ini kepada siapa pun yang mampu dan sanggup menjalankan dan menjaga nilai-nilai kebenaran dan keadilan Tuhan. Siapa pun yang terpilih sebagai raja nantinya untuk tidak lupa mengembalikan seluruh potensi wilayah kerajaan-kerajaan lain, merehabilitasi dan membangunnya kembali,” sambutnya dengan nada sendu yang disambut para hadirin dengan tepuk tangan meriah dan keharuan dan isak tangis.
Seluruh undangan yang hadir mendengar kisah raja ini bertambah haru dan mulai meneteskan airmata kebahagiaan dan kesukacitaan, karena ia telah berhasil merubah dirinya menjadi manusia yang mengarah kepada kesempurnaan.
“Sebagai penutup kata-kataku…..aku menghaturkan permohonan maaf……dan ampun atas segala kesalahan dan dosaku kepada kalian sebagai masyarakat kerajaan ini. Aku sangat berharap kalian sudi menerima permohonanku yang terakhir ini,” pintanya kepada seluruh undangan.
Mendengar kalimat terakhir ini, spontan seluruh rakyat yang hadir tanpa terkecuali menangis dengan sedu-sedan dengan kata-katanya yang sangat tulus dan tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Sebelum raja meninggalkan podium istana dan kerajaanya, ia memperkenalkan para skatria satu-persatu di podium itu. Lalu ia pamit kepada seluruh keluarganya untuk menjalani kehidupan barunya sebagai rakyat biasa. Seluruh keluarga istana termasuk permaisuri dan para putera-puteri pewaris tahta kerajaana para pembesar, dan rakyat jelata tentu saja kaget dan tersentak mengetahui kenyataan ini. Namun, mereka tak dapat menolak dan mencegahnya, sehingga dengan sangat berat hati mereka melepas kepergiannya dan para ksatria dengan isak-tangis membahana dan keharuan yang sangat mendalam. Apalagi dengan kedua perwira yang tersisa dalam pertarungan maut yang kini menjadi saksi hidup, Letnan Drago dan letnan Bondi, menjadi terisak. Lambaian tangan pun tak henti-hentinya mereka lepaskan, bahkan hingga pesawat yang membawa mereka jauh tak terlihat lagi. Langit di kerajaan itu pun mulai mendung seolah-olah turut bersedih menyaksikan keharuan di siang itu.
Sementara di ruang rahasia raksasa bawah tanah istana Kerajaan Gemrilozie jauh di kedalaman sana, para raja dan pembesar berbagai istana kerajaan terus menonton dan menyaksikan setiap kejadian demi kejadian, mulai dari pertarungan-pertarungan itu hingga perpisahan terakhir yang mengharukan. Mereka benar-benar merasa seperti disajikan berbagai macam perasaan; khawatir, takut, gembira, sedih, senang, bangga, hingga perasaan bersyukur menjadi satu, saat para ksatria mulai bertempur hingga kepulangan mereka bersama mantan raja itu. Segala perasaan yang bercampur-aduk, namun berakhir bahagia.
Para raja dan pembesar berbagai kerajaan itu mengetahui bahwa sebentar lagi pesawat Ksatria Aga dan ketiga mitranya serta mantan raja dalam beberapa saat ke depan tiba di kabin rahasia ini. Untuk itu, mereka telah memepersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut secara layak rombongan ini. Kemeriahan dalam kesederhanaan di kabin besar itu tidak menyurutkan semangat para raja, meskipun mereka berstatus raja atau pembesar. Kehidupan di tahanan Kerajaan Tucapenbath-lah yang menjadikan mereka ‘ngeh’ betapa susah dan pedihnya kehidupan sebagai rakyat biasa, apalagi orang tahanan. Hal itu yang  membuat mereka bertekad untuk menjalankan roda istana dan membangun kerajaan mereka bersama rakyat masing-masing dengan arif, bijaksanan, kerja keras, bertakua, adil, dan merata nantinya. Dan itu bukan lagi sebagai slogan atau semboyan semata. Sebaliknya sejak saat itu mereka bersungguh-sungguh tidak akan berlaku sombong, semena-mena, mentang-mentang, khianat, egois, tebang-pilih, santai, masa-bodoh, memeras, egois, dan sifat-sifat tak terpuji lainnya sebagai seorang raja, punggawa atau pembesar istana kerajaan. Menjalani kehidupan seperti di tahanan itulah yang membuat mereka mengerti arti dan makna hidup, dan merasa hidup. Di sanalah juga mereka benar-benar hidup ‘sendirian’ tanpa keluarga atau teman yang membantu hidup, kecuali Tuhan Tempat bergantung. Mereka berpikir seperti itulah kira-kira kehidupan si rakyat miskin menjalaninya. Jika dipahamai lebih jauh, ternyata benarlah bahwa Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin.
Di lain tempat, pada puing-puing Kerajaan Gemrilozie kini sudah tak ada lagi patroli pasukan tentara pada beberapa menit yang lalu masih berjaga-jaga, berjalan, berkeliling, dan berputar-putar. Kini sepi dan lengang. Tidak juga terlihat para pekerja paksa berjalan terengah-engah dan tertatih-tatih dibandul batu besi bulat besar dengan rantai di kedua kaki mereka sambil mengangkat batu besar di pundak sambil dihunus senjata bila mereka terjatuh dan terjerembab. Pemandangan itu sudah tak telihat lagi, bahkan sejak kami melintasi berbagai wilayah kerajaan yang sebelumnya dicaplok oleh Kerajaan Tucapenbath.
Aku melihat pada radar pesawat kami bahwa dari kejauhan terdeteksi berbagai jenis pesawat besar berpenumpang menyebar ke berbagai penjuru mata angin. Aku yakin itu adalah sejumlah besar pasukan Kerajaan Tucapenbath mulai mengerahkan para tentara mereka untuk membangun kembali negeri yang telah mereka porak-porandakan. Aku pun merasa bersyukur permohonan terakhir Raja Ansiabia Kejnat sungguh-sungguh dilaksanakan, meskipun ia telah turun tahta dengan segala kebesaran jiwanya. Namun, pada akhirnya ia telah mewariskan teladan terbaik kepada para penerusnya.
Dalam perjalanan kami tadi, beberapa kali memang sang raja itu terus meneteskan airmata di pipinya, karena melihat berbagai dimensi kehancuran dan kerusakan akibat ulahnya beberapa waktu lalu. Ia semakin sadar bahwa penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan berdampak kehancuran besar bagi umat manusia. Perasaan inilah yang semakin membuat hati dan sanubarinya sangat hancur menjerit mengingat apa yang telah ia lakukan terhadap mereka. Ia merasa bukan lagi sebagai anak manusia bagi Penciptanya, karena telah berlaku sebagai seorang penjahat perang. Bahkan kini dirinya telah menjadi seorang teroris yang sangat tega menakut-nakuti, mengancam, mencelakakan, dan membunuh orang tak bersalah dan tak berdosa demi sebuah keinginan pribadi atau kerajaannya. Itulah yang semakin membuatnya kini merasa sebagai seorang hakim terpidana yang kejam dan terlaknat.
Kulihat pula suatu kali sewaktu di pesawat tadi, ia beberapa kali menarik nafas berat dan panjang seolah-olah terlalu banyak dan beratnya beban yang ia derita kini. Sesekali ia terlihat juga mengerutkan dahi sambil melongok ke luar jendela pesawat kami bagaikan tak akan pernah percaya dengan segala kehancuran yang berkali-kali ia kerap lakukan. Ia memang sedang menanggung beban berat atas semua ulahnya itu. Ulah yang pernah ia titahkan kepada para komandan pasukan tentaranya.
Jika memikirkan dan mengenang itu semua ia merasa memang pantas mati. Tapi……ksatria itu malah memberi peluang sebuah keselamatan kepadanya. Sang ksatria itu berbudi luhur sekali. Pantaslah ia mewakili Kerajaan Gemrilozie yang sangat besar dan kerajaan-kerajaan lain yang pernah ia taklukkan. Ia memang memiliki kekautan itu, mampu menyelamatkan para raja dan pembesar istana yang ia masukkan ke dalam tahanan.
“Bahkan, ia pun memilih untuk memberi peluang untuk menyelamatkanku,” kenangnya dalam batin teringat ia diberi petunjuk untuk mengucapkan kalimat Tuhan itu.
Sungguh pantas jika Ksatria Aga memang menyandang gelar Ksatria Penyelamat.
       Setelah pesawat benar-benar telah masuk ke lorong menuju hanggar di kabin rahasia Kerajaan Gemrilozie, kulihat sang raja agak terkejut mengetahui hal ini. Namun terlihat sangat pandai menyimpannya. Setelah kumatikan mesin pesawat dan kami keluar, beberapa baris tentara pengawal bersenjata lengkap dari tadi menunggu, memberi sambutan penghormatan secara militer kepada kami. Lalu mereka membimbing kami menuju kabin berkumpulnya para raja dan pembesar di sana.

Prolog Daftar Isi Fatsal 1 Fatsal 2 Fatsal 3 Fatsal 4 Fatsal 5 Fatsal 6
Fatsal 7 Fatsal 8 Fatsal 9 Fatsal 10 Fatsal 11 Fatsal 12 Fatsal 13 Fatsal 14
Fatsal 15 Fatsal 16 Fatsal 17 Fatsal 18 Fatsal 19 Fatsal 20 Fatsal 21 Fatsal 22
Fatsal 23

0 komentar :

Posting Komentar