Fatsal 3 Perjalanan Aga ke Dunia Baru
Sebentar kuperhatikan kejadian tiga hari
lalu dan posisi dudukku semakin kumantapkan lagi dengan kedua tanganku kutaruh
di atas tangan kursi. Teringat aku dengan benda itu, putih lembut dan terasa
sejuk di tangan. Kini semakin kuingat di mana kusimpan dan kuletakkan dan
pikiranku mengarahkan mataku ke sudut bawah meja ini.
“Ya….waktu itu tanganku seperti
digerakkan ke arah itu,” begitu pikirku dalam hati.
“Bagaimana kalau kucoba lihat dan tengok
lagi, ya? Apa masih ada di sana? Atau jangan-jangan sudah ada yang melihat dan
mengambilnya? Juga jangan-jangan ia malah
pergi sendiri, tapi ‘kan ia tidak
punya kaki?” Tanyaku
sendiri dalam hati
“Aku harus mengetahuinya sekarang juga,”
gumamku memaksa mendapatkan semua jawaban sesegera mungkin.
Aku masih yakin benda itu masih ada di
sana karena kurasakan ia begitu ramah dan bersahabat padaku waktu itu. Lalu
kusingkirkan tumpukan buku dan CD case
papa, kujulurkan tanganku yang kecil ini dengan merogoh dan meraba di celah
sudut ia tersimpan.
Kini rasa dingin dan sejuk kembali
kurasakan saat ujung jemariku menyentuh benda yang telah kukenali itu. Lalu
kuangkat dan sedikit kugenggam salah satu ujungnya agar tidak terlepas. Kulihat
ia berkilau putih di kegelapan ruang kecil bawah meja dan kubawa duduk.
“Tidak ada yang berubah dan masih tetap
sama seperti tiga hari lalu,” pikirku beberapa saat sambil duduk dan
kutimang-timang di tanganku.
Tombol-tombol kecil terasa bergerigi di
telapakku tidak ada reaksi.
“Untuk apa ya tombol-tombol ini? Lalu,
bagaimana kalau aku pencet salah satunya?” Pertanyaan-pertanyaan ini tiba-tiba
memberondong pikiranku.
“Kenapa aku tidak coba mencari tahu? Aku
‘kan perlu tahu, mana tahu ini adalah mainan yang asyik dan luar biasa yang papa
sesungguhnya sudah ketahui sebelumnya?” Kilahku lagi dalam hati sambil
mengingat-ingat papa yang bisa sangat serius menghabiskan waktunya siang atau
malam bila berada di depan komputernya.
“Jangan-jangan papa lupa memberitahu
punya game baru atau malah sebuah kejutan untukku!” Begitu
dugaanku kali ini.
Aku memang termasuk anak kecil yang agak
beda dalam beberapa hal tidak seperti anak-anak lainnya seusiaku. Kata papa
atau mama aku sering langsung menanyakan banyak hal yang tidak kuketahui,
berbagai macam pertanyaan seringnya kutanyakan kepada papaku karena
kuperhatikan hanya ia yang paling sabar dan tenang menjawab segala pertanyaan
keingintahuanku itu. Menurutku sering jawaban-jawabannya memuaskan dahaga semua
keingintahuanku. Ia juga sering menjawab singkat, tapi terkadang dengan paparan
bahasa yang jelas kumengerti, pilihan kata-kata disampaikan begitu lancar oleh
papa dan disesuaikan berdasarkan konteks dan timing saat itu. Meskipun
terkadang banyak juga kosakata yang baru kudengar dan belum kumengerti, mungkin
papa secara tidak langsung ingin aku mendengarnya terlebih dahulu. Melihat aku
agak bingung memahaminya, papa cukup sigap menanggapinya dengan mencari padanan
kata lain yang dapat kumengerti, sehingga bertambah banyaklah perbendaharaan
kosakataku dan aku tidak ragu menggunakan kata-kata kutipan sebagian dari
papaku itu.
“Aga bagus tuh….sering banyak tanya, dan itu tandanya kamu itu cerdas,” simpul
papa setelah selesai menjelaskan pertanyaan-pertanyaanku. Aku seringnya sih
menjadi diam coba menyimak semampuku. Karena ada juga kudengar papa memberikan
rangkaian kata-kata yang jauh lebih asing lagi di telingaku dan jelas masih
belum kupahami sebelum diberi cerita penjelasan. Orang-orang dewasa bilang sih itu ungkapan-ungkapan motivasi.
“Cuma sayangnya Aga belom bisa baca sih….
Belajar baca juga dong, Ga, sebagai selingan menggambar.
Kamu emang enggak mau bisa membaca sendiri
judul film kartun Naruto, Power Rangers SPD, Ben 10 atau Upin & Ipin?”
Begitu biasanya ia mengomentariku yang diakhiri dengan pertanyaan atau anjuran
buatku.
Benda di tanganku kini mulai
bergerak-gerak perlahan, seolah menggeliat di tengah telapak kiriku dan
menyadarkanku dari lamunan. Tentu saja itu menghentikan ingatanku tentang papa.
Kuberanikan diri memencet tombol yang
agak besar dengan telunjuk kiriku.
“Hah?!”
Sedikit aku terkesiap dan kaget ditambah rasa keingintahuanku apa yang akan
terjadi. Perlahan warna-warni yang telah kukenal tiga hari yang lalu keluar,
ada biru, kuning, merah membentuk cahaya berpendar yang indah di tanganku.
Kudiamkan saja sebentar sambil kuamat-amati dan kunikmati rona sinarnya, tidak
terlalu terang memang. Tapi cukup bagus dan indah paduannya. Telunjukku
kugerakkan lagi berpindah menekan tombol lain yang lebih kecil di dekatnya.
Terdengar gesekan ujung jariku begitu
menekan tombol kecil itu.
“Srrrett”
“Ahh!”
Aku menjadi sedikit melenguh tertahan
masih khawatir suaraku kali ini terdengar oleh salah satu keluarga.
Tiba-tiba CPU dan monitor menyala tanpa aku sentuh apapun di sana! Aku kaget
sekali karena aku benar-benar tidak menekan atau memencet tombol power
keduanya. Setelah muncul tampilan awalnya satu-persatu secara otomatis, aku
dikejutkan lagi dengan munculnya cahaya lain dari sudut dekat aku duduk di
hadapan komputerku. Cahaya itu persis seperti tiga hari lalu kulihat tidak
lebih dan kurang ukuran dan bentuknya, persis sama.
“Malam mini aku harus tahu ada apa
dengan kedua benda ini: satu di telapak kananku dan satunya lagi lorong cahaya
di sebelah kiriku ini! Ditambah komputer ini bisa hidup sendiri……?” Begitu aneh
pikirku.
Saat ini aku sudah tak sabar lagi ingin
rasanya kuketahui semua ini dan memberanikan diri tak peduli sekecil atau
semuda apapun diriku.
“Aku harus tahu dengan semua ini! Kenapa
aku yang harus mengalaminya? Kenapa tidak aa
saja atau papa atau mama atau kakak……..? Kenapa aku?” Pertanyaan-pertanyaan ini
menderu sehingga aku bertekad bulat dalam hati dan yakin.
Kucoba dekati lorong cahaya dan
kuarahkan telunjuk kiriku untuk menyentuhnya. Aku sampai lupa tadi dengan saran
papa yang seharusnya kugunakan dan kubiasakan tangan kananku seperti yang
selalu diajarkannya, tapi karena kecenderunganku terasa lebih dominan pada
tangan kiriku dalam memulai aktifitasku. Kata papa, mama atau orang-orang
bilang aku ini kidal. Kini sudah separuh telunjukku menembus sisi cahaya itu
tidak terjadi apa-apa. Terus kusorongkan lagi tanganku hingga masuk pergelangan
ke dalam, juga tidak ada apa-apa. Tak ada suara atas aksiku ini, bahkan tidak
ada bias cahaya karena sinarnya telah kutembus dengan tanganku. Kutarik kembali
tanganku. Aku menjadi semakin berani saja, lalu kusodorkan kaki kananku hingga
masuk seluruh telapaknya.
“Ah,
aman….. tidak ada apa-apa, Aga enggak
kenapa-kenapa koq,” bisikku meyakinkan diriku dalam hati.
Setelah yakin dan mantap semua
perkiraanku terhadap segala kemungkinan, aku sorongkan seluruh badanku perlahan
mulai dari kepala, leher, badanku bagian atas hingga kakiku ke dalam lorong
cahaya ini. Dan…..ups! Kini aku sudah
berada di dalam lorong ini. Sementara benda kecil itu masih berada dalam
genggamanku. Ia kini kurasakan bergetar di sana secara otomatis. Setelah kubuka
tanganku, benar saja benda kecil mirip pemantik api dari gas yang berbentuk
bulat memanjang itu berkedip-kedip pada lampu indikatornya. Sebentar
kuperhatikan mencari tahu apa selanjutnya yang harus kulakukan. Tangan kananku
kugoyang-goyang mungkin ada reaksi tertentu, tapi tidak terjadi reaksi apapun.
Tombol-tombol itu kembali menarik perhatianku untuk memencetnya. Kuberanikan
diriku memencet salah satu yang berada di bawah indikator yang sedang
berkedip-kedip dan aku seketika merasakan seperti ada tarikan ke arah bawah
tubuhku secara perlahan diiringi desiran angin dan tekanan halus dari arah
atas. Tanpa kusadari kecepatan tarikan dan tekanan halus di tubuhku mulai
terasa lebih kuat sementara pandanganku masih tertuju pada obyek yang terakhir
kusebut XPR, karena begitulah kira-kira kueja satu-persatu hurup yang
tertulis di permukaannya. Lalu kualihkan pandanganku ke sekelilingku pada dinding
lingkaran cahaya yang membentuk lorong ini terasa seperti bergerak turun dengan
kecepatan yang sangat dahsyat. Ini jelas membuatku amat terkejut dan mulai
dihinggapi kecemasan dan ketakutan yang luar biasa sehingga aku berteriak dan
menjerit.
“Mamaaaaa!
Papaaaaa!!!” Jeritku sejadi-jadinya.
Tak bisa kulukiskan ketakutanku ini, aku
merasa seperti terbawa dan terhisap cahaya ini, sendirian, meskipun kejadian
ini sama sekali tidak mempengaruhi keseimbangan tubuhku. Aku masih tetap
berdiri dengan tegak seolah tak terjadi apa-apa di sekelilingku. Namun ketakutan
dan kecemasan yang begitu sangat menghantui diriku semakin menjadi-jadi.
Ingatanku kembali ke papa dan mama di kamarku. Kuingin keluar dan kembali ke
kamar itu lagi bersama mereka. Kuraba-raba dinding di hadapanku terasa begitu
kaku dan padat dan tak bisa kutembus seperti tadi! Aku terkejut! Aku tak bisa
keluar. Ini sudah membuatku sangat panik….menangis. Kuberalih ke dinding
sebelah kananku dan kucoba terobos keluar tapi nihil! Dan ini membuatku histeris.
Tangisanku pun terasa semakin keras – aku takut sekali!!! Masih kuberharap ada
jalan keluar bagi diriku, dinding cahaya sebelah kiriku merupakan pintu itu,
lalu kusentuh dan kuraba beberapa kali. Dengan kecemasan yang kian bertambah
teramat sangat, tapi tetap nihil! Aku semakin ketakutan dan mulai menjerit dan
berteriak lagi tanpa dapat kutahan luapan perasaanku ini.
“Bukaaaaa!
Mamaaaa….!! Papaaaa!!! Tolongin
Aga, papaaaaa!” Jeritku terus-menerus sambil menangis, namun tak ada siapapun yang
terlihat mendengar dan datang menghampiri dan menolongku.
Aku terus menangis semakin keras dan
terduduk lemas di sini. Sekelilingku terasa membisu dan tiba-tiba…
“Srrrrpp…”
Lenyaplah selubung cahaya di
sekelilingku dan sekaligus mulai lenyap juga rasa ketakutanku dan kini mulai
berganti dengan rasa takjub melihat sebuah pemandangan di hadapanku yang
sungguh-sungguh belum pernah kusaksikan sebelumnya. Meskipun ini bukan tempat
sebelumnya aku berasal. Bukan, ini bukan ruang kerja papa tadi. Pemandangan inilah
yang membuat segenap ketakutan dan kecemasan baru saja kualami, meskipun aku tak
tahu lagi entah berada di mana, dan itu kini terhapuskan sudah, kecuali XPR
yang masih tetap dalam genggamanku.
Merasa nikmatnya mataku dimanjakan
dengan ketakjuban di setiap penjuru kumemandang, segala rasa takut, cemas atau
khawatir terhadap kesendirian ini sirna sudah. Sebaliknya, kini aku seperti tak
lepas dan bosan mata memandang ke sekelilingku dan tak ingin kuingat lagi
mereka di kamar itu dan tak ingin kuberbagi yang kualami kini dengan siapapun.
“Wuihhh.
Hebat!” Gumamku sendirian.Prolog | Daftar Isi | Fatsal 1 | Fatsal 2 | Fatsal 3 | Fatsal 4 | Fatsal 5 | Fatsal 6 |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Fatsal 7 | Fatsal 8 | Fatsal 9 | Fatsal 10 | Fatsal 11 | Fatsal 12 | Fatsal 13 | Fatsal 14 |
Fatsal 15 | Fatsal 16 | Fatsal 17 | Fatsal 18 | Fatsal 19 | Fatsal 20 | Fatsal 21 | Fatsal 22 |
Fatsal 23 |
0 komentar :
Posting Komentar