Minggu, 07 Juli 2013

Fatsal 3 Perjalanan Aga ke Dunia Baru



Fatsal 3 Perjalanan Aga ke Dunia Baru

Sebentar kuperhatikan kejadian tiga hari lalu dan posisi dudukku semakin kumantapkan lagi dengan kedua tanganku kutaruh di atas tangan kursi. Teringat aku dengan benda itu, putih lembut dan terasa sejuk di tangan. Kini semakin kuingat di mana kusimpan dan kuletakkan dan pikiranku mengarahkan mataku ke sudut bawah meja ini.
“Ya….waktu itu tanganku seperti digerakkan ke arah itu,” begitu pikirku dalam hati.
“Bagaimana kalau kucoba lihat dan tengok lagi, ya? Apa masih ada di sana? Atau jangan-jangan sudah ada yang melihat dan mengambilnya? Juga jangan-jangan ia malah pergi sendiri, tapi ‘kan ia tidak punya kaki?Tanyaku sendiri dalam hati
“Aku harus mengetahuinya sekarang juga,” gumamku memaksa mendapatkan semua jawaban sesegera mungkin.
Aku masih yakin benda itu masih ada di sana karena kurasakan ia begitu ramah dan bersahabat padaku waktu itu. Lalu kusingkirkan tumpukan buku dan CD case papa, kujulurkan tanganku yang kecil ini dengan merogoh dan meraba di celah sudut ia tersimpan.
Kini rasa dingin dan sejuk kembali kurasakan saat ujung jemariku menyentuh benda yang telah kukenali itu. Lalu kuangkat dan sedikit kugenggam salah satu ujungnya agar tidak terlepas. Kulihat ia berkilau putih di kegelapan ruang kecil bawah meja dan kubawa duduk.
“Tidak ada yang berubah dan masih tetap sama seperti tiga hari lalu,” pikirku beberapa saat sambil duduk dan kutimang-timang di tanganku.
Tombol-tombol kecil terasa bergerigi di telapakku tidak ada reaksi.
“Untuk apa ya tombol-tombol ini? Lalu, bagaimana kalau aku pencet salah satunya?” Pertanyaan-pertanyaan ini tiba-tiba memberondong pikiranku.
“Kenapa aku tidak coba mencari tahu? Aku ‘kan perlu tahu, mana tahu ini adalah mainan yang asyik dan luar biasa yang papa sesungguhnya sudah ketahui sebelumnya?” Kilahku lagi dalam hati sambil mengingat-ingat papa yang bisa sangat serius menghabiskan waktunya siang atau malam bila berada di depan komputernya.
“Jangan-jangan papa lupa memberitahu punya game baru atau malah sebuah kejutan untukku!” Begitu dugaanku kali ini.
Aku memang termasuk anak kecil yang agak beda dalam beberapa hal tidak seperti anak-anak lainnya seusiaku. Kata papa atau mama aku sering langsung menanyakan banyak hal yang tidak kuketahui, berbagai macam pertanyaan seringnya kutanyakan kepada papaku karena kuperhatikan hanya ia yang paling sabar dan tenang menjawab segala pertanyaan keingintahuanku itu. Menurutku sering jawaban-jawabannya memuaskan dahaga semua keingintahuanku. Ia juga sering menjawab singkat, tapi terkadang dengan paparan bahasa yang jelas kumengerti, pilihan kata-kata disampaikan begitu lancar oleh papa dan disesuaikan berdasarkan konteks dan timing saat itu. Meskipun terkadang banyak juga kosakata yang baru kudengar dan belum kumengerti, mungkin papa secara tidak langsung ingin aku mendengarnya terlebih dahulu. Melihat aku agak bingung memahaminya, papa cukup sigap menanggapinya dengan mencari padanan kata lain yang dapat kumengerti, sehingga bertambah banyaklah perbendaharaan kosakataku dan aku tidak ragu menggunakan kata-kata kutipan sebagian dari papaku itu.
“Aga bagus tuh….sering banyak tanya, dan itu tandanya kamu itu cerdas,” simpul papa setelah selesai menjelaskan pertanyaan-pertanyaanku. Aku seringnya sih menjadi diam coba menyimak semampuku. Karena ada juga kudengar papa memberikan rangkaian kata-kata yang jauh lebih asing lagi di telingaku dan jelas masih belum kupahami sebelum diberi cerita penjelasan. Orang-orang dewasa bilang sih itu ungkapan-ungkapan motivasi.
“Cuma sayangnya Aga belom bisa baca sih…. Belajar baca juga dong, Ga, sebagai selingan menggambar. Kamu emang enggak mau bisa membaca sendiri judul film kartun Naruto, Power Rangers SPD, Ben 10 atau Upin & Ipin?” Begitu biasanya ia mengomentariku yang diakhiri dengan pertanyaan atau anjuran buatku.
Benda di tanganku kini mulai bergerak-gerak perlahan, seolah menggeliat di tengah telapak kiriku dan menyadarkanku dari lamunan. Tentu saja itu menghentikan ingatanku tentang papa.
Kuberanikan diri memencet tombol yang agak besar dengan telunjuk kiriku.
Hah?!” Sedikit aku terkesiap dan kaget ditambah rasa keingintahuanku apa yang akan terjadi. Perlahan warna-warni yang telah kukenal tiga hari yang lalu keluar, ada biru, kuning, merah membentuk cahaya berpendar yang indah di tanganku. Kudiamkan saja sebentar sambil kuamat-amati dan kunikmati rona sinarnya, tidak terlalu terang memang. Tapi cukup bagus dan indah paduannya. Telunjukku kugerakkan lagi berpindah menekan tombol lain yang lebih kecil di dekatnya.
Terdengar gesekan ujung jariku begitu menekan tombol kecil itu.
Srrrett
Ahh!
Aku menjadi sedikit melenguh tertahan masih khawatir suaraku kali ini terdengar oleh salah satu keluarga.
Tiba-tiba CPU dan monitor menyala tanpa aku sentuh apapun di sana! Aku kaget sekali karena aku benar-benar tidak menekan atau memencet tombol power keduanya. Setelah muncul tampilan awalnya satu-persatu secara otomatis, aku dikejutkan lagi dengan munculnya cahaya lain dari sudut dekat aku duduk di hadapan komputerku. Cahaya itu persis seperti tiga hari lalu kulihat tidak lebih dan kurang ukuran dan bentuknya, persis sama.
“Malam mini aku harus tahu ada apa dengan kedua benda ini: satu di telapak kananku dan satunya lagi lorong cahaya di sebelah kiriku ini! Ditambah komputer ini bisa hidup sendiri……?” Begitu aneh pikirku.
Saat ini aku sudah tak sabar lagi ingin rasanya kuketahui semua ini dan memberanikan diri tak peduli sekecil atau semuda apapun diriku.
“Aku harus tahu dengan semua ini! Kenapa aku yang harus mengalaminya? Kenapa tidak aa saja atau papa atau mama atau kakak……..? Kenapa aku?” Pertanyaan-pertanyaan ini menderu sehingga aku bertekad bulat dalam hati dan yakin.
Kucoba dekati lorong cahaya dan kuarahkan telunjuk kiriku untuk menyentuhnya. Aku sampai lupa tadi dengan saran papa yang seharusnya kugunakan dan kubiasakan tangan kananku seperti yang selalu diajarkannya, tapi karena kecenderunganku terasa lebih dominan pada tangan kiriku dalam memulai aktifitasku. Kata papa, mama atau orang-orang bilang aku ini kidal. Kini sudah separuh telunjukku menembus sisi cahaya itu tidak terjadi apa-apa. Terus kusorongkan lagi tanganku hingga masuk pergelangan ke dalam, juga tidak ada apa-apa. Tak ada suara atas aksiku ini, bahkan tidak ada bias cahaya karena sinarnya telah kutembus dengan tanganku. Kutarik kembali tanganku. Aku menjadi semakin berani saja, lalu kusodorkan kaki kananku hingga masuk seluruh telapaknya.
Ah, aman….. tidak ada apa-apa, Aga enggak kenapa-kenapa koq,” bisikku meyakinkan diriku dalam hati.
Setelah yakin dan mantap semua perkiraanku terhadap segala kemungkinan, aku sorongkan seluruh badanku perlahan mulai dari kepala, leher, badanku bagian atas hingga kakiku ke dalam lorong cahaya ini. Dan…..ups! Kini aku sudah berada di dalam lorong ini. Sementara benda kecil itu masih berada dalam genggamanku. Ia kini kurasakan bergetar di sana secara otomatis. Setelah kubuka tanganku, benar saja benda kecil mirip pemantik api dari gas yang berbentuk bulat memanjang itu berkedip-kedip pada lampu indikatornya. Sebentar kuperhatikan mencari tahu apa selanjutnya yang harus kulakukan. Tangan kananku kugoyang-goyang mungkin ada reaksi tertentu, tapi tidak terjadi reaksi apapun. Tombol-tombol itu kembali menarik perhatianku untuk memencetnya. Kuberanikan diriku memencet salah satu yang berada di bawah indikator yang sedang berkedip-kedip dan aku seketika merasakan seperti ada tarikan ke arah bawah tubuhku secara perlahan diiringi desiran angin dan tekanan halus dari arah atas. Tanpa kusadari kecepatan tarikan dan tekanan halus di tubuhku mulai terasa lebih kuat sementara pandanganku masih tertuju pada obyek yang terakhir kusebut XPR, karena begitulah kira-kira kueja satu-persatu hurup yang tertulis di permukaannya. Lalu kualihkan pandanganku ke sekelilingku pada dinding lingkaran cahaya yang membentuk lorong ini terasa seperti bergerak turun dengan kecepatan yang sangat dahsyat. Ini jelas membuatku amat terkejut dan mulai dihinggapi kecemasan dan ketakutan yang luar biasa sehingga aku berteriak dan menjerit.
Mamaaaaa! Papaaaaa!!!” Jeritku sejadi-jadinya.
Tak bisa kulukiskan ketakutanku ini, aku merasa seperti terbawa dan terhisap cahaya ini, sendirian, meskipun kejadian ini sama sekali tidak mempengaruhi keseimbangan tubuhku. Aku masih tetap berdiri dengan tegak seolah tak terjadi apa-apa di sekelilingku. Namun ketakutan dan kecemasan yang begitu sangat menghantui diriku semakin menjadi-jadi. Ingatanku kembali ke papa dan mama di kamarku. Kuingin keluar dan kembali ke kamar itu lagi bersama mereka. Kuraba-raba dinding di hadapanku terasa begitu kaku dan padat dan tak bisa kutembus seperti tadi! Aku terkejut! Aku tak bisa keluar. Ini sudah membuatku sangat panik….menangis. Kuberalih ke dinding sebelah kananku dan kucoba terobos keluar tapi nihil! Dan ini membuatku histeris. Tangisanku pun terasa semakin keras – aku takut sekali!!! Masih kuberharap ada jalan keluar bagi diriku, dinding cahaya sebelah kiriku merupakan pintu itu, lalu kusentuh dan kuraba beberapa kali. Dengan kecemasan yang kian bertambah teramat sangat, tapi tetap nihil! Aku semakin ketakutan dan mulai menjerit dan berteriak lagi tanpa dapat kutahan luapan perasaanku ini.
Bukaaaaa! Mamaaaa….!! Papaaaa!!! Tolongin Aga, papaaaaa!” Jeritku terus-menerus sambil menangis, namun tak ada siapapun yang terlihat mendengar dan datang menghampiri dan menolongku.
Aku terus menangis semakin keras dan terduduk lemas di sini. Sekelilingku terasa membisu dan tiba-tiba…
Srrrrpp…”
Lenyaplah selubung cahaya di sekelilingku dan sekaligus mulai lenyap juga rasa ketakutanku dan kini mulai berganti dengan rasa takjub melihat sebuah pemandangan di hadapanku yang sungguh-sungguh belum pernah kusaksikan sebelumnya. Meskipun ini bukan tempat sebelumnya aku berasal. Bukan, ini bukan ruang kerja papa tadi. Pemandangan inilah yang membuat segenap ketakutan dan kecemasan baru saja kualami, meskipun aku tak tahu lagi entah berada di mana, dan itu kini terhapuskan sudah, kecuali XPR yang masih tetap dalam genggamanku.
Merasa nikmatnya mataku dimanjakan dengan ketakjuban di setiap penjuru kumemandang, segala rasa takut, cemas atau khawatir terhadap kesendirian ini sirna sudah. Sebaliknya, kini aku seperti tak lepas dan bosan mata memandang ke sekelilingku dan tak ingin kuingat lagi mereka di kamar itu dan tak ingin kuberbagi yang kualami kini dengan siapapun.
Wuihhh. Hebat!” Gumamku sendirian.


Prolog Daftar Isi Fatsal 1 Fatsal 2 Fatsal 3 Fatsal 4 Fatsal 5 Fatsal 6
Fatsal 7 Fatsal 8 Fatsal 9 Fatsal 10 Fatsal 11 Fatsal 12 Fatsal 13 Fatsal 14
Fatsal 15 Fatsal 16 Fatsal 17 Fatsal 18 Fatsal 19 Fatsal 20 Fatsal 21 Fatsal 22
Fatsal 23






0 komentar :

Posting Komentar