Senin, 08 Juli 2013

Fatsal 13 Kebangkitan Sang Ksatria



Fatsal 13 Kebangkitan Sang Ksatria
                       
            Kota-kota Kerajaan Gemrilozie kini dipenuhi dengan lubang-lubang besar yang sangat dalam di sana-sini. Reruntuhan gedung-gedung dan pepohonan menambah kotor dan semrawut wilayah itu. Mayat-mayat bergelimpangan di atas onggokan puing-puing reruntuhan diterpa angin. Sesekali burung-burung pemakan bangkai hinggap mematuk-matuk sisa-sisa anggota tubuh yang terpisah dari jasadnya, dan pekikan mereka seolah-olah memanggil kawanannya untuk bergabung menikmati hidangan pesta daging yang berlimpah saat itu.
Ke mana pun di penjuru negeri kerajaan ini, nasib mereka telah ditentukan hari ini. Jemputan maut! Meskipun nasib berkata lain bagi korban selamat, maka akan menjadi tawanan yang diangkut ke Kerajaan Tucapenbath untuk dijadikan penduduk berstrata budak tanpa memiliki hak hidup yang layak di antara penduduk lainnya. Hak hidup mereka merupakan sebuah hadiah satu-satunya dari sang raja baru mereka dengan konsekuensi penyerahan total jiwa dan raga.
Di atas sebuah gundukan bebatuan dan puing-puing bekas reruntuhan gedung setinggi kira-kira dua meter membentuk sebuah bukit kecil, tampak bergerak dan bergeser sedikit demi sedikit. Burung-burung pemakan bangkai di atasnya kaget dan terbang menjauhkan diri. Kerikil dan bebatuan mulai bergetar dan berjatuhan merosot ke dasarnya. Beberapa detik kemudian…..muncullah jemari tangan seseorang bergerak perlahan mencoba menggapai lebih tinggi mencari pegangan yang bisa diraihnya. Tak seberapa lama kemudian tangan lainnya nampak lemah menerobos keluar permukaan. Kini kedua tangan merapatkan kedua jemari, dan………….sesosok tubuh dengan pakaian terkoyak namun tegap dan kekar melesat berdiri! Sang Penyelamat keluar dari lobang kematian bersimbah peluh dan tanah berair di sekujur badannya.
Tubuhku memang tak merasakan sakit akibat luka-luka yang kuderita ini. aku berupaya mencari pijakan yang cukup kuat untuk diriku. Hanya matanya yang masih belum pulih memandang sekelilingku dan dengan nanar kumenoleh ke seluruh penjuru mencoba mencari-cari sesuatu di sekitar. Lalu aku berjongkok merentangkan telapak tangan kananku merasa-rasakan sesuatu yang bisa dikenali. Dengan kekuatan tenagaku, tanganku mulai menyensor dan dengan sigap menangkap sebuah tangan yang mulai melesat ke atas. Kusibakkan gundukan di sekitar tangan itu hingga membentuk celah lubang sebesar ukuran kepala, dan meraih satu tangan lainnya diikuti munculnya sebuah kepala yang bergerak lunglai. Dr. Biodenti! Kuangkat tubuhnya yang begitu lemas dan lunglai bagai menarik secarik kain kering dari atas permukaan yang dihembus angin. Kupeluknya dan membaringkannya di atas sebuah gundukan datar. Sejenak kuperhatikan wajah sang pengiring yang kala itu banyak bercerita tentang berbagai sisi kehidupan di sepanjang perjalanan kami di wilayah itu. Aku masih ingat ketika ia pun pada akhirnya menceritakan bahwa dirinyalah yang menampakkan diri, saat diriku tengah berjalan berkeliling di wilayah istana dan memanggil-manggilnya. Sang profesor memintanya untuk mengawasi pergerakanku secara langsung dan lebih dekat dalam mengidentifikasi apakah diriku mengalami depresi atau radiasi tertentu di dunia baruku ini. Aku baru mengetahui bahwa ilmuan ini sangat menguasai berbagai ilmu pengetahuan, simpatik dan berdedikasi bagi kerajaannya.
Kucoba mencari tahu apakah ia masih hidup atau telah mati. Dengan menggunakan kembali sensor kekuatan yang kumiliki dan tak berapa lama kemudian jemari tangan sang ilmuan terlihat bergerak dan tangannya bergoyang sebentar perlahan pertanda ia masih hidup. Setelah mengetahui hal itu, aku pun berupaya kembali menggunakan kemampuanku lagi sehingga kini terlihat kedua matanya mulai terbuka. Ia menatapku sendu dan sepertinya baru ingat kembali dan menyadari apa yang telah terjadi. Berusaha sekuat tenaga lehernya sedikit digerakkan ke sisi kanannya agar matanya dapat menoleh. Pandangannya menjadi kosong dan hampa. Titik-titik dan buliran air mata kulihat mulai berkaca-kaca di kedua matanya yang jernih dan indah itu. Tak percaya dengan apa yang sedang ia saksikan, diliukkan lagi ke arah ujung kakinya. Sehinggga ia menjadi tak kuat menahan air mata kesedihan yang begitu kuat mendera dirinya. Kini ia mulai ingat kembali secara jelas detik-detik dirinya terhuyung-huyung dan terguncang hebat tatkala pasukan musuh menghujamkan peluru dan peledak berkekuatan tinggi dari pesawat-pesawat mereka. Serangan itu begitu jelas mengguncang seisi kota. Ia ingat saat serentak aku menggamit dirinya dan Kapten Rayzor. Ya, Kapten Rayzor!
Ksatria…….”
“Ya.”
Ia tak melanjutkan kata-katanya yang terbata-bata, merasakan perih masih menyelimuti kedua bibirnya.
“Kini kau selamat, Doktor. Dan, kita aman.”
Aku sangat paham, ia pasti juga sedang bertanya-tanya keberadaan sang kapten.
“Kau tenang saja, Dok., jangan banyak bergerak, ya. Aku akan mencoba menemukan Kapten Rayzor….”
Dr. Biodenti tersenyum manis dan mengangguk pelan. Ia merasa senang karena menurutnya mungkin aku sangat pandai membaca pikiran yang sedang melintasinya. Ia memperhatikan diriku, berusaha menemukan titik pada jarak yang tidak jauh dari dirinya dan menggunakan sensor untuk mengangkat sang kapten keluar dari timbunan gundukan puing dan reruntuhan. Ia terlihat memperhatikanku tanganku berkelebat dengan sigap menggapai tangan kapten satu-persatu setelah menemukan posisi yang tepat keberadaannya. Kedua tangan itu begitu lunglai tak bertenaga. Dengan cekatan dan sigap kusibakkan tanah dan puing-puing yang menutupi kepala dan tubuh di bawah sana. Sebentar kemudian aku telah mengangkat tubuh tak berdaya sang kapten, lalu kubaringkan di sebelahnya. Kondisinya sangat kritis dengan luka-luka di sekujur tubuhnya. Pakaian seragamnya terkoyak di sana-sini. Kutatap ke arah sang kapten lalu berganti ke arah sang doktor. Sang doktor pun tersenyum kembali dan mengangguk seolah mengerti aku sedang meminta persetujuan agar secepatnya memberikan sensor untuk memulihkan kondisinya.
“Akan kucoba lagi, Dok.,” kataku kepadanya seolah meminta persetujuan.
Aku pun berusaha menggunakan tenagaku kembali dan mengatur kekuatan untuk memberikan getaran ke arah tubuh sang kapten. Beberapa kali itu kulakukan pada satu-dua titik, namun tak ada reaksi sedikit pun. Sebagian besar denyut di tubuhnya seolah seperti berhenti. Akhirnya, kudapatkan tanda denyut pada sensor tanganku denyut yang sangat lemah pada dirinya. Segera kuperkuat tenagaku untuk merangsang dan mengembalikan daya dan vitalitasnya. Aku berhasil! Reaksinya hampir serupa dengan sang doktor tadi. Kedua jemari tangannya kini terlihat bergerak dan tangannya bergoyang sebentar dan perlahan sekali. Lalu kelopak matanya pun terbuka dan menatapku seolah tak percaya akan dirinya dan apa yang baru saja ia alami, ia masih hidup! Ia sepertinya merasa bersyukur dan bahagia dengan senyum yang dipaksakan kepadaku tanda rasa bahagianya. Kulihat dengan jelas luka-luka itu masih nampak jelas berdarah dan memar-memar pada sekujur tubuhnya menandakan rasa sakit yang menyelimuti dirinya. Sesekali ia meringis saat ingin menggerakkan anggota tubuhnya.
“Sudahlah, Kapt., jangan banyak bergerak dahulu. Beristirahat saja,” kataku kepadanya.
Ia hanya tersenyum dan mengangguk pelan menjawab permintaanku.
Aku berdiri mencoba memperhatikan ke sekelilingku. Aku rasakan lingkungan sekitarku yang sepi dan senyap, kecuali tingkah burung-burung pemakan bangkai ini yang sibuk mengepakkan sayapnya hinggap kian ke mari. Aku yakin di sini pasti tidak aman untuk kami bertiga. Bisa saja mereka mendeteksi dan mendapatkan sinyal tentang keberadaan kami dan menyergap lalu membawa ke kerajaan mereka. Dan aku tidak ingin itu terjadi.
Aku pun teringat dengan XPR. Ya, XPR! Dan kupikir inilah saat yang tepat mencari tempat yang lebih aman dengan menggunakan alat itu. Aku coba membisikkan perlahan memberitahukan mereka tentang rencanaku itu. Mereka mengangguk tanda mengerti dan menyetujui rencanaku. Lalu aku berdiri dan menghampiri di antara mereka berdua yang tengah berbaring lemah. Setelah kurasa kami bertiga sudah siap sambil kuminta tangan mereka masing-masing memegang tanganku, kupanggil alat itu dari dalam pikiranku. Tak berapa lama ia telah berada dalam pergelanganku menempel di sana. Dengan kekuatan pikiranku alat itu mampu membacanya dan kami berkomunikasi. Kuperintahkan ia menemukan sebuah tempat yang terlindungi dari deteksi musuh. Secepat kilat kami telah melesat dengan kecepatan yang sangat tinggi mendapatkan sebuah persembunyian yang sangat bagus, sebuah goa.
Begitu tiba di sana, kubaringkan kedua pengiringku ini dan kuminta mereka beristirahat sejenak. Aku mencoba mencari sesuatu yang dapat mereka minum di sekitarku. Kuperhatikan seluruhnya berdinding batu yang tebal. Aku gunakan sensorku untuk mengetahui tingkat keamanannya bagi kami. Ternyata tingkat deteksi alat penyensoran menunjukkan angka yang sangat bagus, sebuah nilai yang mengindikasikan tingkat keamanan yang sangat tinggi. Ini berarti pihak musuh akan sangat sulit menemukan kami. Dinding di sini berllapis bebatuan hitam yang begitu bersih bersinar meskipun agak redup. Beberapa tonjolan batu mencuat dari dindingnya di beberapa tempat. Ruang yang kami tempati memang tidak begitu luas. Namun terasa nyaman bagiku untuk berjalan dan berdiri. Redup gemerlap ruangan sudah cukup memberikan pencahayaan bagi kami.
Setelah memeriksa sekitar ruang goa dan kurasakan tingkat keamanan yang memungkinkan untuk memulihkan tenaga mereka berdua, aku berjalan kembali ke arah mereka.
“Aku telah mencoba mencari sumber air yang dapat kalian minum. Tapi, sepertinya tidak kutemukan di sekitar sini. Lalu kuputuskan untuk menggunakan tenaga sensor atau mungkin alat XPR ini untuk mendapatkannya.”
“Apa pun yang terbaik menurut Anda, Sang Ksatria,” begitu jawab Kapten Rayzor yang sudah mulai berangsur pulih setelah kuterapi dengan sinar sensorku.
Namun ia masih tetap berbaring sangat lemah. Di antara kami bertiga, kondisinyalah yang paling buruk. Kuingat sewaktu serangan beberapa menit yang lalu di kota Ronsamiksa, wilayah perbukitan yang subur dan indah sebelah timur istana yang berjarak sekitar seratus limapuluh sembilan gigamil atau perjalanan sepuluh menit dari istana Kerajaan Gemrilozie, sebuah hantaman puing gedung yang terkena terobosan senjata serangan musuh angsung menghantamnya dari sebelah kanan kami dengan keras. Ia berjalan di sisi sebelah kananku dan otomatis benturan itu menghempaskan kami, melayang dan langsung tertimbun reruntuhannya tanpa aku mendapat kesempatan berpikir dan menggunakan sesuatu untuk berlindung atau menyerang balik ke arah serangan itu.
Suasana dalam goa kembali hening dan aku mencoba memusatkan perhatian. Aku mulai membuka kekuatanku dengan mengembangkan sensor dengan kedua tanganku. Kali ini aku menggunakan perisai antisensor agar detektor mana pun tidak dapat membaca dan mengetahui keberadaan kami. Kedua tanganku terus bergerak mencari sinyal keberadaan suatu tempat yang terdekat agar kubisa meraih sumber air atau bahan makanan yang bisa kudapatkan. Berbagai tempat telah kutelusuri namun hasilnya nihil, karena wilayah kerajaan kini telah hancur dan sumber-sumber berpotensi telah dibumihanguskan dan terkunci. Kucoba terawangi sekali lagi dengan menambah besaran daya pada sensor di kedua tanganku, namun tetap saja menunjukkan hasil yang sama, tak ada apa-apa yang bisa kami gunakan.
Kini satu-satunya jalan aku terpaksa harus memfungsikan alat itu. Aku sudah pernah satu kali saling berkomunikasi sebelumnya. Dan kini akan kuajak menemukan sumber air atau makanan dengan ketajaman berbagai indera yang dimiliki indera alat ini. Alat ini sudah menyatu dengan diriku. Aku tinggal menekan salah satu tombol dengan sensor penginderaan yang diperlukan maka terpampang tampilannya dengan sangat jelas bagaikan sebuah layar monitor pada sebuah PC atau televisi.
Tiba penjelajahanku di areal istana yang kondisinya tidak berbeda dengan wilayah perkotaan lainnya, hancur berantakan, kutemuakn salah satu ruang yang agak tersembunyi dari pondasi istana kerajaanku.
“Sebuah ruang yang dipenuhi kode rahasia,” kataku kepada mereka.
“Itu sebuah ruang rahasia, Ksatria,” sahut si kapten. “Bahkan Jenderal Zargi sekali pun tak dapat mendeteksi keberadaannya,” lanjutnya lagi menjelaskan.
“Ruang itu memang diciptakan oleh sang profesor sebagai benteng pertahanan terakhir. Kami bahkan berpikir itu belum dilaksanakan pendiriannya oleh sang profesor,” Doktor Biodenti menambahkan.
“Ya. Dalam program ini aku telah ditunjukkan secara otomatis, salah satu kode yang dapat kugunakan untu mengaksesnya,” ujarku sambil mengakses kode dan kini aku sudah berada di dalam ruangan yang begitu luas dan lengkap.
“Benar. Menurut sang profesor hanya seorang Ksatria Terpilih saja yang dapat menggunakannya dalam keadaan darurat suatu saat,” papar si doktor.
“Baiklah. Sekarang selain air dan bahan makanan, ada lagi yang ingin Anda berdua pesan?” Tanyaku kepada mereka.
“Kurasa tidak ada, Ksatria. Tapi entahlah dengan Anda, Kapten,” sahut doktor masih terbaring.
“Aku pun tidak ada, Ksatria,” balas kapten.
“Namun aku menangkap sinyal adanya sesosok tubuh di suatu area dekat ruang laboratorium di sebuah kabin di sana,” kataku lagi kepada mereka. “Seorang jenderal yang memimpin sebuah pasukan kecil berseragam cagak-cagak berduri sedang melakukan patroli di sekitar reruntuhan istana,” kataku lagi.
“Itu pasti Jenderal Tansulbahsa, pimpinan dan orang kepercayaan nomor satu Raja Ansiabia Kejnat dari Kerajaan Tucapenbath,” sergah Kapten Rayzor menahan rasa dendam mendengar penyensoranku.
“Teruskan saja pemantauan Anda, Ksatria, mereka pasti tidak akan dapat mendeteksi Anda. Karena aku yakin teknologi sensor mereka tidak akan mampu menembus akses sensor Anda yang telah jauh beberapa tingkat berada di atasnya,” jelas si doktor memaparkan. 
Setelah kurasa selesai kebutuhan secukupnya yang kami perlukan, seperti bahan makanan, minuman, obat-obatan dan beberapa lembar pakaian untuk mereka berdua, meskipun aku ingin sekali mengetahui lebih dekat daya tangkap sensorku yang mendeteksi sosok di bawah reruntuhan tersebut, namun kuurungkan. Aku lalu kembali kepada mereka dan menyerahkan kepada mereka. Kulihat Dokter Biodenti telah bertambah kepulihannya sehingga ia dapat kusandarkan pada sebuah dinding bebatuan. Lalu kuserahkan minuman, makanan dan pakaian untuknya. Dan kuhampiri kapten yang sedang berbaring. Aku membantunya minum, dan memberinya makanan untuk menambah stamina tubuhnya. Aku melihat mereka minum dan makan dengan lahapnya. Beberapa lama kemudian doktor itu sudah mampu berdiri dan mencari suatu ruang di salah satu goa, dengan membawa perlengkapan yang telah kuserahkan kepadanya. Tak lama kemudian, ia kembali bergabung kepada kami.
Kulihat tubuhnya telah bersih sehabis mandi dan mengobati luka-lukanya, karena jumlah air yang kuambil memang bisa digunakan untuk mandi selain untuk minum. Aroma semerbak tercium dari tubuhnya yang terlihat sangat seksi. Aku sempat terpana memandang sekilas ke arahnya yang termasuk wanita muda yang sangat cantik. Kulihat ia tersenyum kepadaku dan duduk di sebelahku. Ia pun membantuku merawat si kapten. Kulihat Kapten Rayzor mendenguskan hidungnya pertanda indera penciumannya menangkap aroma yang semerbak di hadapannya.
“Anda harum sekali, Dok.,” ujarnya kepada Dr. Biodenti.
“Anda bisa saja, Kapt.,” senyumnya penuh malu.
Sambil berbincang kami berdua menyelesaikan segala sesuatu agar kapten lekas mendapatkan kembali kepulihannya. Dan itu terjadi sangat singkat ketika obat-obatan yang diperlukan terserap ke dalam tubuhnya dan luka-luka itu pun menghilang tanpa bekas. Kemudian kami menyandarkan kapten agar lebih leluasa bernafas dan mendapatkan kekuatan tubuhnya kembali. Benar saja, setelah suapan makanan terakhir tubuhnya kelihatan segar dan kembali bertenaga. Ia berusaha untuk berdiri dan menuju ruang yang sama doktor itu gunakan untuk mandi dan membersihkan dirinya. Sekembalinya kapten ke tempat kami menunggu, ia telah mendapatkan stamina primanya lagi.
Kami membicarakan rencana yang kami lanjutkan. Kuajukan berbagai rencana mulai dari penjelajahan ke istana untuk menyelidiki segala kemungkinan keterangan yang bisa kami dapatkan hingga rencana penyelamatan para sandera yang berhasil ditawan pasukan penyerang dari Kerajaan Tucapenbath. Perencanaan ini merupakan hal sangat baru bagiku, apalagi pertama kali aku mendapatkan kehormatan sebagai Sang Terpilih bagi mereka di kerajaan ini. Aku sempat berpikir sangat keras memilih dan mempertimbangkan segala kemungkinan yang akan terjadi secara mendetil. Sesungguhnya terasa berat bagiku dan sangat beresiko tinggi terutama bagi mereka berdua bila tertangkap pasukan patroli musuh, maka aku harus menyiapkan rencana lain untuk menjalan misi satu-persatu ini. Artinya, rentetan misi ini harus dirancang dan direncanakan dengan sangat matang, dan tidak tidak boleh ada celah atau faktor kegagalan sedikit pun. Hal ini menimbang betapa canggih dan mutakhirnya teknologi musuh. Yang kini kupikirkan adalah bagaimana dalam aksiku, salah satu pengiringku baik itu Kapten Rayzor maupun Dr. Biodenti tidak menimbulkan kesalahan fatal yang bisa mencelakakan jiwa mereka sendiri. Dan kekhawairan ini pun kusampaikan kepada mereka agar mereka memakluminya. Karena seperti mereka ketahui dan sadari bahwa hanya bertiga harus menghadapai kemungkinan berbagai pasukan dari berbagai divisi angkatan perang Kerajaan Tucapenbath. Apalagi bila raja mereka mengetahui bahwa masih ada korban penyerangan dan penyerbuan yang masih selamat, maka rajanya pun akan semakin gusar dan murka, sehingga ia menggunakan kedigdayaan jentikan dua jari yang sangat ditakuti tersebut. Di samping rencanaku ingin melakukan penyusupan ke areal istana kami yang terus dipatroli itu, aku juga hendak menyusup ke Kerajaan Tucapenbath untuk melakukan penyelamatan para sandera.
              Pada akhirnya, beberapa hal yang mereka belum mengerti ditanyakan kepadaku yang mampu kujelaskan dengan deskripsi yang rasional dan strategis berdasarkan basis data yang kumiliki. Akhirnya kami sepakat dengan hasil pembicaraan di goa ini dengan pembagian tugas ringan kepada mereka di saat dan tempat yang telah kuprogram yang tidak akan membahayakan mereka. Aku akan memasukkan mereka ke dalam modus yang sudah kupersiapkan, sehingga mereka tidak akan terpisah dari perisai pertahananku. Aku sendiri akan beraksi sendiri dan aku merupakan satu-satunya harapan Kerajaan Gemrilozie yang semakin kucintai ini karena praktik nilai-nilai luhur sang raja dan rakyatnya tercermin jelas dalam kehidupan sehari-hari mereka tanpa adanya ambiguitas dan kini tinggal menunggu saat yang tepat untuk memulainya.

Prolog Daftar Isi Fatsal 1 Fatsal 2 Fatsal 3 Fatsal 4 Fatsal 5 Fatsal 6
Fatsal 7 Fatsal 8 Fatsal 9 Fatsal 10 Fatsal 11 Fatsal 12 Fatsal 13 Fatsal 14
Fatsal 15 Fatsal 16 Fatsal 17 Fatsal 18 Fatsal 19 Fatsal 20 Fatsal 21 Fatsal 22
Fatsal 23

0 komentar :

Posting Komentar