Fatsal 13 Kebangkitan Sang Ksatria
Kota-kota Kerajaan Gemrilozie kini dipenuhi dengan lubang-lubang besar yang
sangat dalam di sana-sini. Reruntuhan gedung-gedung dan pepohonan menambah
kotor dan semrawut wilayah itu. Mayat-mayat bergelimpangan di atas onggokan
puing-puing reruntuhan diterpa angin. Sesekali burung-burung pemakan bangkai
hinggap mematuk-matuk sisa-sisa anggota tubuh yang terpisah dari jasadnya, dan
pekikan mereka seolah-olah memanggil kawanannya untuk bergabung menikmati
hidangan pesta daging yang berlimpah saat itu.
Ke mana pun di penjuru negeri kerajaan
ini, nasib mereka telah ditentukan hari ini. Jemputan maut! Meskipun nasib
berkata lain bagi korban selamat, maka akan menjadi tawanan yang diangkut ke
Kerajaan Tucapenbath untuk dijadikan penduduk berstrata budak tanpa memiliki
hak hidup yang layak di antara penduduk lainnya. Hak hidup mereka merupakan
sebuah hadiah satu-satunya dari sang raja baru mereka dengan konsekuensi
penyerahan total jiwa dan raga.
Di atas sebuah gundukan bebatuan dan
puing-puing bekas reruntuhan gedung setinggi kira-kira dua meter membentuk
sebuah bukit kecil, tampak bergerak dan bergeser sedikit demi sedikit.
Burung-burung pemakan bangkai di atasnya kaget dan terbang menjauhkan diri. Kerikil
dan bebatuan mulai bergetar dan berjatuhan merosot ke dasarnya. Beberapa detik
kemudian…..muncullah jemari tangan seseorang bergerak perlahan mencoba
menggapai lebih tinggi mencari pegangan yang bisa diraihnya. Tak seberapa lama
kemudian tangan lainnya nampak lemah menerobos keluar permukaan. Kini kedua
tangan merapatkan kedua jemari, dan………….sesosok tubuh dengan pakaian terkoyak
namun tegap dan kekar melesat berdiri! Sang
Penyelamat keluar dari lobang kematian bersimbah peluh dan tanah berair di
sekujur badannya.
Tubuhku memang tak merasakan sakit
akibat luka-luka yang kuderita ini. aku berupaya mencari pijakan yang cukup
kuat untuk diriku. Hanya matanya yang masih belum pulih memandang sekelilingku
dan dengan nanar kumenoleh ke seluruh penjuru mencoba mencari-cari sesuatu di
sekitar. Lalu aku berjongkok merentangkan telapak tangan kananku merasa-rasakan
sesuatu yang bisa dikenali. Dengan kekuatan tenagaku, tanganku mulai menyensor
dan dengan sigap menangkap sebuah tangan yang mulai melesat ke atas. Kusibakkan
gundukan di sekitar tangan itu hingga membentuk celah lubang sebesar ukuran
kepala, dan meraih satu tangan lainnya diikuti munculnya sebuah kepala yang
bergerak lunglai. Dr. Biodenti! Kuangkat tubuhnya yang begitu lemas dan lunglai
bagai menarik secarik kain kering dari atas permukaan yang dihembus angin. Kupeluknya
dan membaringkannya di atas sebuah gundukan datar. Sejenak kuperhatikan wajah
sang pengiring yang kala itu banyak bercerita tentang berbagai sisi kehidupan
di sepanjang perjalanan kami di wilayah itu. Aku masih ingat ketika ia pun pada
akhirnya menceritakan bahwa dirinyalah yang menampakkan diri, saat diriku tengah
berjalan berkeliling di wilayah istana dan memanggil-manggilnya. Sang profesor
memintanya untuk mengawasi pergerakanku secara langsung dan lebih dekat dalam
mengidentifikasi apakah diriku mengalami depresi atau radiasi tertentu di dunia
baruku ini. Aku baru mengetahui bahwa ilmuan ini sangat menguasai berbagai ilmu
pengetahuan, simpatik dan berdedikasi bagi kerajaannya.
Kucoba mencari tahu apakah ia masih
hidup atau telah mati. Dengan menggunakan kembali sensor kekuatan yang kumiliki
dan tak berapa lama kemudian jemari tangan sang ilmuan terlihat bergerak dan
tangannya bergoyang sebentar perlahan pertanda ia masih hidup. Setelah
mengetahui hal itu, aku pun berupaya kembali menggunakan kemampuanku lagi
sehingga kini terlihat kedua matanya mulai terbuka. Ia menatapku sendu dan sepertinya
baru ingat kembali dan menyadari apa yang telah terjadi. Berusaha sekuat tenaga
lehernya sedikit digerakkan ke sisi kanannya agar matanya dapat menoleh. Pandangannya
menjadi kosong dan hampa. Titik-titik dan buliran air mata kulihat mulai
berkaca-kaca di kedua matanya yang jernih dan indah itu. Tak percaya dengan apa
yang sedang ia saksikan, diliukkan lagi ke arah ujung kakinya. Sehinggga ia
menjadi tak kuat menahan air mata kesedihan yang begitu kuat mendera dirinya.
Kini ia mulai ingat kembali secara jelas detik-detik dirinya terhuyung-huyung
dan terguncang hebat tatkala pasukan musuh menghujamkan peluru dan peledak
berkekuatan tinggi dari pesawat-pesawat mereka. Serangan itu begitu jelas
mengguncang seisi kota. Ia ingat saat serentak aku menggamit dirinya dan Kapten
Rayzor. Ya, Kapten Rayzor!
“Ksa…tria…….”
“Ya.”
Ia tak melanjutkan kata-katanya yang
terbata-bata, merasakan perih masih menyelimuti kedua bibirnya.
“Kini kau selamat, Doktor. Dan, kita
aman.”
Aku sangat paham, ia pasti juga sedang
bertanya-tanya keberadaan sang kapten.
“Kau tenang saja, Dok., jangan banyak
bergerak, ya. Aku akan mencoba menemukan Kapten Rayzor….”
Dr. Biodenti tersenyum manis dan
mengangguk pelan. Ia merasa senang karena menurutnya mungkin aku sangat pandai
membaca pikiran yang sedang melintasinya. Ia memperhatikan diriku, berusaha
menemukan titik pada jarak yang tidak jauh dari dirinya dan menggunakan sensor
untuk mengangkat sang kapten keluar dari timbunan gundukan puing dan
reruntuhan. Ia terlihat memperhatikanku tanganku berkelebat dengan sigap
menggapai tangan kapten satu-persatu setelah menemukan posisi yang tepat
keberadaannya. Kedua tangan itu begitu lunglai tak bertenaga. Dengan cekatan
dan sigap kusibakkan tanah dan puing-puing yang menutupi kepala dan tubuh di
bawah sana. Sebentar kemudian aku telah mengangkat tubuh tak berdaya sang
kapten, lalu kubaringkan di sebelahnya. Kondisinya sangat kritis dengan
luka-luka di sekujur tubuhnya. Pakaian seragamnya terkoyak di sana-sini. Kutatap
ke arah sang kapten lalu berganti ke arah sang doktor. Sang doktor pun
tersenyum kembali dan mengangguk seolah mengerti aku sedang meminta persetujuan
agar secepatnya memberikan sensor untuk memulihkan kondisinya.
“Akan kucoba lagi, Dok.,” kataku
kepadanya seolah meminta persetujuan.
Aku pun berusaha menggunakan tenagaku
kembali dan mengatur kekuatan untuk memberikan getaran ke arah tubuh sang
kapten. Beberapa kali itu kulakukan pada satu-dua titik, namun tak ada reaksi
sedikit pun. Sebagian besar denyut di tubuhnya seolah seperti berhenti.
Akhirnya, kudapatkan tanda denyut pada sensor tanganku denyut yang sangat lemah
pada dirinya. Segera kuperkuat tenagaku untuk merangsang dan mengembalikan daya
dan vitalitasnya. Aku berhasil! Reaksinya hampir serupa dengan sang doktor
tadi. Kedua jemari tangannya kini terlihat bergerak dan tangannya bergoyang
sebentar dan perlahan sekali. Lalu kelopak matanya pun terbuka dan menatapku
seolah tak percaya akan dirinya dan apa yang baru saja ia alami, ia masih
hidup! Ia sepertinya merasa bersyukur dan bahagia dengan senyum yang dipaksakan
kepadaku tanda rasa bahagianya. Kulihat dengan jelas luka-luka itu masih nampak
jelas berdarah dan memar-memar pada sekujur tubuhnya menandakan rasa sakit yang
menyelimuti dirinya. Sesekali ia meringis saat ingin menggerakkan anggota
tubuhnya.
“Sudahlah, Kapt., jangan banyak bergerak
dahulu. Beristirahat saja,” kataku kepadanya.
Ia hanya tersenyum dan mengangguk pelan
menjawab permintaanku.
Aku berdiri mencoba memperhatikan ke
sekelilingku. Aku rasakan lingkungan sekitarku yang sepi dan senyap, kecuali
tingkah burung-burung pemakan bangkai ini yang sibuk mengepakkan sayapnya
hinggap kian ke mari. Aku yakin di sini pasti tidak aman untuk kami bertiga.
Bisa saja mereka mendeteksi dan mendapatkan sinyal tentang keberadaan kami dan
menyergap lalu membawa ke kerajaan mereka. Dan aku tidak ingin itu terjadi.
Aku pun teringat dengan XPR.
Ya, XPR!
Dan kupikir inilah saat yang tepat mencari tempat yang lebih aman dengan
menggunakan alat itu. Aku coba membisikkan perlahan memberitahukan mereka
tentang rencanaku itu. Mereka mengangguk tanda mengerti dan menyetujui
rencanaku. Lalu aku berdiri dan menghampiri di antara mereka berdua yang tengah
berbaring lemah. Setelah kurasa kami bertiga sudah siap sambil kuminta tangan
mereka masing-masing memegang tanganku, kupanggil alat itu dari dalam
pikiranku. Tak berapa lama ia telah berada dalam pergelanganku menempel di
sana. Dengan kekuatan pikiranku alat itu mampu membacanya dan kami
berkomunikasi. Kuperintahkan ia menemukan sebuah tempat yang terlindungi dari
deteksi musuh. Secepat kilat kami telah melesat dengan kecepatan yang sangat
tinggi mendapatkan sebuah persembunyian yang sangat bagus, sebuah goa.
Begitu tiba di sana, kubaringkan kedua
pengiringku ini dan kuminta mereka beristirahat sejenak. Aku mencoba mencari
sesuatu yang dapat mereka minum di sekitarku. Kuperhatikan seluruhnya berdinding
batu yang tebal. Aku gunakan sensorku untuk mengetahui tingkat keamanannya bagi
kami. Ternyata tingkat deteksi alat penyensoran menunjukkan angka yang sangat
bagus, sebuah nilai yang mengindikasikan tingkat keamanan yang sangat tinggi.
Ini berarti pihak musuh akan sangat sulit menemukan kami. Dinding di sini
berllapis bebatuan hitam yang begitu bersih bersinar meskipun agak redup.
Beberapa tonjolan batu mencuat dari dindingnya di beberapa tempat. Ruang yang
kami tempati memang tidak begitu luas. Namun terasa nyaman bagiku untuk
berjalan dan berdiri. Redup gemerlap ruangan sudah cukup memberikan pencahayaan
bagi kami.
Setelah memeriksa sekitar ruang goa dan
kurasakan tingkat keamanan yang memungkinkan untuk memulihkan tenaga mereka
berdua, aku berjalan kembali ke arah mereka.
“Aku telah mencoba mencari sumber air
yang dapat kalian minum. Tapi, sepertinya tidak kutemukan di sekitar sini. Lalu
kuputuskan untuk menggunakan tenaga sensor atau mungkin alat XPR
ini untuk mendapatkannya.”
“Apa pun yang terbaik menurut Anda, Sang
Ksatria,” begitu jawab Kapten Rayzor yang sudah mulai berangsur pulih setelah
kuterapi dengan sinar sensorku.
Namun ia masih tetap berbaring sangat
lemah. Di antara kami bertiga, kondisinyalah yang paling buruk. Kuingat sewaktu
serangan beberapa menit yang lalu di kota Ronsamiksa,
wilayah perbukitan yang subur dan indah sebelah timur istana yang berjarak
sekitar seratus limapuluh sembilan gigamil atau perjalanan sepuluh menit dari
istana Kerajaan Gemrilozie, sebuah hantaman puing gedung yang terkena terobosan
senjata serangan musuh angsung menghantamnya dari sebelah kanan kami dengan
keras. Ia berjalan di sisi sebelah kananku dan otomatis benturan itu
menghempaskan kami, melayang dan langsung tertimbun reruntuhannya tanpa aku
mendapat kesempatan berpikir dan menggunakan sesuatu untuk berlindung atau
menyerang balik ke arah serangan itu.
Suasana dalam goa kembali hening dan aku
mencoba memusatkan perhatian. Aku mulai membuka kekuatanku dengan mengembangkan
sensor dengan kedua tanganku. Kali ini aku menggunakan perisai antisensor agar
detektor mana pun tidak dapat membaca dan mengetahui keberadaan kami. Kedua
tanganku terus bergerak mencari sinyal keberadaan suatu tempat yang terdekat
agar kubisa meraih sumber air atau bahan makanan yang bisa kudapatkan. Berbagai
tempat telah kutelusuri namun hasilnya nihil, karena wilayah kerajaan kini
telah hancur dan sumber-sumber berpotensi telah dibumihanguskan dan terkunci.
Kucoba terawangi sekali lagi dengan menambah besaran daya pada sensor di kedua
tanganku, namun tetap saja menunjukkan hasil yang sama, tak ada apa-apa yang
bisa kami gunakan.
Kini satu-satunya jalan aku terpaksa
harus memfungsikan alat itu. Aku sudah pernah satu kali saling berkomunikasi
sebelumnya. Dan kini akan kuajak menemukan sumber air atau makanan dengan ketajaman
berbagai indera yang dimiliki indera alat ini. Alat ini sudah menyatu dengan
diriku. Aku tinggal menekan salah satu tombol dengan sensor penginderaan yang
diperlukan maka terpampang tampilannya dengan sangat jelas bagaikan sebuah
layar monitor pada sebuah PC atau
televisi.
Tiba penjelajahanku di areal istana yang
kondisinya tidak berbeda dengan wilayah perkotaan lainnya, hancur berantakan,
kutemuakn salah satu ruang yang agak tersembunyi dari pondasi istana
kerajaanku.
“Sebuah ruang yang dipenuhi kode
rahasia,” kataku kepada mereka.
“Itu sebuah ruang rahasia, Ksatria,”
sahut si kapten. “Bahkan Jenderal Zargi sekali pun tak dapat mendeteksi
keberadaannya,” lanjutnya lagi menjelaskan.
“Ruang itu memang diciptakan oleh sang
profesor sebagai benteng pertahanan terakhir. Kami bahkan berpikir itu belum
dilaksanakan pendiriannya oleh sang profesor,” Doktor Biodenti menambahkan.
“Ya. Dalam program ini aku telah
ditunjukkan secara otomatis, salah satu kode yang dapat kugunakan untu
mengaksesnya,” ujarku sambil mengakses kode dan kini aku sudah berada di dalam
ruangan yang begitu luas dan lengkap.
“Benar. Menurut sang profesor hanya
seorang Ksatria Terpilih saja yang dapat menggunakannya dalam keadaan darurat
suatu saat,” papar si doktor.
“Baiklah. Sekarang selain air dan bahan
makanan, ada lagi yang ingin Anda berdua pesan?” Tanyaku kepada mereka.
“Kurasa tidak ada, Ksatria. Tapi
entahlah dengan Anda, Kapten,” sahut doktor masih terbaring.
“Aku pun tidak ada, Ksatria,” balas
kapten.
“Namun aku menangkap sinyal adanya
sesosok tubuh di suatu area dekat ruang laboratorium di sebuah kabin di sana,”
kataku lagi kepada mereka. “Seorang jenderal yang memimpin sebuah pasukan kecil
berseragam cagak-cagak berduri sedang melakukan patroli di sekitar reruntuhan
istana,” kataku lagi.
“Itu pasti Jenderal Tansulbahsa,
pimpinan dan orang kepercayaan nomor satu Raja Ansiabia Kejnat dari Kerajaan Tucapenbath,”
sergah Kapten Rayzor menahan rasa dendam mendengar penyensoranku.
“Teruskan saja pemantauan Anda, Ksatria,
mereka pasti tidak akan dapat mendeteksi Anda. Karena aku yakin teknologi
sensor mereka tidak akan mampu menembus akses sensor Anda yang telah jauh
beberapa tingkat berada di atasnya,” jelas si doktor memaparkan.
Setelah kurasa selesai kebutuhan
secukupnya yang kami perlukan, seperti bahan makanan, minuman, obat-obatan dan
beberapa lembar pakaian untuk mereka berdua, meskipun aku ingin sekali
mengetahui lebih dekat daya tangkap sensorku yang mendeteksi sosok di bawah
reruntuhan tersebut, namun kuurungkan. Aku lalu kembali kepada mereka dan
menyerahkan kepada mereka. Kulihat Dokter Biodenti telah bertambah kepulihannya
sehingga ia dapat kusandarkan pada sebuah dinding bebatuan. Lalu kuserahkan
minuman, makanan dan pakaian untuknya. Dan kuhampiri kapten yang sedang
berbaring. Aku membantunya minum, dan memberinya makanan untuk menambah stamina
tubuhnya. Aku melihat mereka minum dan makan dengan lahapnya. Beberapa lama
kemudian doktor itu sudah mampu berdiri dan mencari suatu ruang di salah satu
goa, dengan membawa perlengkapan yang telah kuserahkan kepadanya. Tak lama
kemudian, ia kembali bergabung kepada kami.
Kulihat tubuhnya telah bersih sehabis
mandi dan mengobati luka-lukanya, karena jumlah air yang kuambil memang bisa
digunakan untuk mandi selain untuk minum. Aroma semerbak tercium dari tubuhnya
yang terlihat sangat seksi. Aku sempat terpana memandang sekilas ke arahnya
yang termasuk wanita muda yang sangat cantik. Kulihat ia tersenyum kepadaku dan
duduk di sebelahku. Ia pun membantuku merawat si kapten. Kulihat Kapten Rayzor
mendenguskan hidungnya pertanda indera penciumannya menangkap aroma yang
semerbak di hadapannya.
“Anda harum sekali, Dok.,” ujarnya
kepada Dr. Biodenti.
“Anda bisa saja, Kapt.,” senyumnya penuh
malu.
Sambil berbincang kami berdua menyelesaikan
segala sesuatu agar kapten lekas mendapatkan kembali kepulihannya. Dan itu
terjadi sangat singkat ketika obat-obatan yang diperlukan terserap ke dalam
tubuhnya dan luka-luka itu pun menghilang tanpa bekas. Kemudian kami
menyandarkan kapten agar lebih leluasa bernafas dan mendapatkan kekuatan
tubuhnya kembali. Benar saja, setelah suapan makanan terakhir tubuhnya
kelihatan segar dan kembali bertenaga. Ia berusaha untuk berdiri dan menuju
ruang yang sama doktor itu gunakan untuk mandi dan membersihkan dirinya.
Sekembalinya kapten ke tempat kami menunggu, ia telah mendapatkan stamina
primanya lagi.
Kami membicarakan rencana yang kami
lanjutkan. Kuajukan berbagai rencana mulai dari penjelajahan ke istana untuk
menyelidiki segala kemungkinan keterangan yang bisa kami dapatkan hingga rencana
penyelamatan para sandera yang berhasil ditawan pasukan penyerang dari Kerajaan
Tucapenbath. Perencanaan ini merupakan hal sangat baru bagiku, apalagi pertama
kali aku mendapatkan kehormatan sebagai Sang
Terpilih bagi mereka di kerajaan ini. Aku sempat berpikir sangat keras
memilih dan mempertimbangkan segala kemungkinan yang akan terjadi secara
mendetil. Sesungguhnya terasa berat bagiku dan sangat beresiko tinggi terutama
bagi mereka berdua bila tertangkap pasukan patroli musuh, maka aku harus
menyiapkan rencana lain untuk menjalan misi satu-persatu ini. Artinya, rentetan
misi ini harus dirancang dan direncanakan dengan sangat matang, dan tidak tidak
boleh ada celah atau faktor kegagalan sedikit pun. Hal ini menimbang betapa
canggih dan mutakhirnya teknologi musuh. Yang kini kupikirkan adalah bagaimana
dalam aksiku, salah satu pengiringku baik itu Kapten Rayzor maupun Dr. Biodenti
tidak menimbulkan kesalahan fatal yang bisa mencelakakan jiwa mereka sendiri.
Dan kekhawairan ini pun kusampaikan kepada mereka agar mereka memakluminya.
Karena seperti mereka ketahui dan sadari bahwa hanya bertiga harus menghadapai
kemungkinan berbagai pasukan dari berbagai divisi angkatan perang Kerajaan
Tucapenbath. Apalagi bila raja mereka mengetahui bahwa masih ada korban
penyerangan dan penyerbuan yang masih selamat, maka rajanya pun akan semakin
gusar dan murka, sehingga ia menggunakan kedigdayaan jentikan dua jari yang
sangat ditakuti tersebut. Di samping rencanaku ingin melakukan penyusupan ke
areal istana kami yang terus dipatroli itu, aku juga hendak menyusup ke
Kerajaan Tucapenbath untuk melakukan penyelamatan para sandera.
Pada akhirnya, beberapa hal yang mereka belum
mengerti ditanyakan kepadaku yang mampu kujelaskan dengan deskripsi yang
rasional dan strategis berdasarkan basis data yang kumiliki. Akhirnya kami
sepakat dengan hasil pembicaraan di goa ini dengan pembagian tugas ringan
kepada mereka di saat dan tempat yang telah kuprogram yang tidak akan
membahayakan mereka. Aku akan memasukkan mereka ke dalam modus yang sudah
kupersiapkan, sehingga mereka tidak akan terpisah dari perisai pertahananku.
Aku sendiri akan beraksi sendiri dan aku merupakan satu-satunya harapan
Kerajaan Gemrilozie yang semakin kucintai ini karena praktik nilai-nilai luhur
sang raja dan rakyatnya tercermin jelas dalam kehidupan sehari-hari mereka tanpa
adanya ambiguitas dan kini tinggal menunggu saat yang tepat untuk memulainya.
0 komentar :
Posting Komentar