Connected Partnership

Peluang bisnis Anda bersama member DEDIMMB, 081212334859, bbm 53B65632

Engine Power dan Maintenance (Sesuai Standar Lemigas No. 199/BLM/7.1/PK08)

Menjadikan kendaraan spontan bertenaga, meningkatkan performa mesin, menjadikan suara kendaraan lebih halus, dll

dengan Loket Resmi Pembayaran Online hidup jadi lebih mudah

listrik pascabayar/prabayar, pulsa hand phone, cicilan kendaraan, BPJS, TV berlangganan, tiket pesawat, dll bisa bayar di sini

Bisnis perusahaan

online media (MDS), franchising, tour dan travel, my products, merchandise, my bill dan network marketing

Tangga Anda menuju kesuksesan tak terbatas bersama PT. Mitra Media Bisnis (MMB)

Jika Anda ingin bergabung dengan kami, harap hubungi WA: 08.1212.33.4859 BBM: 53B65632. Atau Anda dapat mengunjungi website resmi di www.mymediabisnis.com

Senin, 05 Januari 2015

Fatsal 10 Tiga Serangkai



Fatsal 10 Tiga Serangkai

Di dalam sebuah rapat sidang rahasia di Kerajaan Tucapenbath dipimpin oleh Raja Ansibia Kejnat sebuah topik sangat penting sedang dibahas dengan sangat serius. Sidang sangat tertutup ini dihadiri orang-orang kepercayaan raja, seperti Jenderal Tansulbahsa seorang komandan tertinggi pasukan perang elit istana kerajaan yang sangat dikenal bengis dan kejam memiliki banyak keahlian dalam peperangan. Letnan Drago seorang asisten jenderal yang bersifat sama dengan atasannya plus tak mengenal perikemanusiaan dalam menjalankan segala tugasnya, didampingi dua orang tentara rekannya, yaitu Letnan Bondi dan Letnan Droka pun tidak hanya memiliki wajah yang brutal tapi juga bersifat hewani sejati. Sang jenderal duduk di sebelah kiri raja diikuti dua orang anak buahnya. Sementara tiga orang yang berperawakan sangat kekar duduk berjajar di sebelah kanan raja. Tiga orang ini masih cukup asing bagi di mata sang jenderal dan ini kali pertama ia melihatnya. Menurut cerita raja mereka, itu merupakan hasil penciptaan terakhir kerajaan yang akan membantu penyerbuan dan peperangan yang akan mereka lakukan untuk menaklukkan kerajaan tetangga berikutnya.
“Baiklah. Kalian telah hadir semua di sini. Aku akan langsung menyampaikan berita yang sangat penting kepada kalian berkenaan rencana kita untuk menaklukkan Kerajaan Gemrilozie,” Raja Ansiabia Kejnat membuka sidang dengan suara cukup jelas di telinga yang hadir di sana.
“Sebelum aku mendengar tentang perencanaan menyangkut teknik, taktik dan strategi penyerangan yang akan kalian sampaikan kepadaku, dan memastikan serta menetapkan saat yang tepat melakukannya, aku ingin memperkenalkan kepada kalian anggota baru dalam barisan inti pasukan elit kita,” lanjut raja memperkenalkan ‘orang baru’ tersebut.
“Mereka telah dirancang dengan beberapa keunggulan teknologi baru dan mutakhir di dalam tubuhnya. Penyerangan, pengendalian dan pertahanan hidup mereka menggunakan sistem komputasi, sehingga sebagian besar tubuh mereka didominasi unsur-unsur robotik dengan tingkat kecerdasan manusia seperti kita,” papar lagi raja dengan penuh kebanggaan dan kesombongan.
Kemudian raja menampilkan berbagai jenis kelebihan mereka satu-persatu pada layar di dinding ruang sidang yang telah dipersiapkan. Keahlian mereka sangat beragam mulai dari pola sederhana dalam menjalani kehidupan layaknya seperti manusia hingga berbagai teknik menyerang manusia bersenjata dan teknik mempertahankan diri dalam kondisi kritis. Sang raja pun menjelaskan bahwa mereka dapat hidup dalam berbagai tempat, seperti di air mirip kehidupan seekor ikan, di udara layaknya seekor burung dan di bawah tanah menyerupai hewan melata. Hampir tak ada celah kelemahan dan mengarah kepada rekayasa penciptaan yang begitu sempurna.
“Yang tidak kalah penting dari berbagai keunggulan utama aku telah sebutkan mereka merupakan sebuah tiga serangkai. Tiga tubuh itu mampu menyatukan diri seperti ini,” sebut raja sambil membusungkan dada dan menampilkan tayangan bagaimana tiga serangkai menyatukan diri dan memisahkan diri kembali dengan berbagai formasi.
Kemudian raja bertepuk tangan, dan mengajak mereka mengangkat minuman untuk bersulang.
Sang jenderal pun ikut bertepuk tangan sangat gembira seperti seorang anak kecil mendapat sebuah hadiah dari bapaknya mendengar cerita raja mereka, lalu diikuti tepukan tangan kedua asistennya dan bersulang bersama-sama pula. Sementara ketiga orang yang sedang diceritakan duduk mematung menampilkan keangkeran wajah yang sangat luar biasa yang membuat ciut nyali siapa pun yang melihat.
Kemudian, sang raja dengan lengkap menampilkan tayangan tentang semua kelebihan dan keahlian yang mereka miliki.
“Begitulah Jenderal Tansulbahsa dan para letnanku, tiga serangkai ini,” lanjutnya lagi. “akan masuk dan lebih memperkuat barisan kekuatan angkatan perang kerajaan kita,” tutup sang raja dalam memperkenalkan hasil penciptaan para tenaga ahli kerajaannya.
 Mereka kembali bertepuk tangan dengan sangat meriah dan dilanjutkan dengan bersulang beberapa kali. Lalu raja memberi tanda kepada si tiga serangkai untuk memperagakan langsung di hadapan mereka. Mereka langsung bangkit dan mengambil posisi di salah satu ruang yang lebih luas dan mulai memperagakan segala kemampuannya satu-persatu secara bersamaan. Sesekali mereka yang hadir di sana bertepuk tangan dengan riuhnya dan dilanjutkan dengan menenggak beberapa minuman yang terus dituangkan oleh para dayang-dayang sangat cantik, molek dan menawan yang sedari awal telah berdiri mengambil posisi agak menjauh. Sesekali mereka mengembangkan senyum nakal mereka dan mengedipkan atau mengerlingkan mata baik kepada jenderal maupun kedua asistennya. Terlihat mereka yang sedang duduk mulai terkena efek memabukkan dari minuman yang mereka teguk terus-menerus, namun mereka tetap memiliki kekuatan konsentrasi yang sangat luar biasa. Terkadang terdengar mereka tertawa kegirangan sambil sesekali bertepuk tangan menandakan luapan kegembiraan ketika menyaksikan tiga serangkai menampilkan sebagian besar adegan yang sangat berbahaya di hadapan mereka. Ketiganya seolah-olah tidak mengenal lelah dan letih terus mempertontonkan kebolehan hasil ciptaan para tenaga ahli tuannya. Tingkah ketiga serangkai itu menampilkan berbagai keahlian menyerang dan mempertahankan diri sebagai manusia dan terkadang seperti kebuasan binatang liar yang bengis dan kejam dalam memangsa korban-korbannya. Mereka saling menyerang, menggigit, mencakar, merobek hingga memakannya. Di lain waktu mereka terlihat bergandeng dan berpegangan akrab seperti layaknya teman atau saudara karib di antara mereka sebelum mereka menyatu manunggal. Sebuah pertunjukan yang sangat memukau dan berhasil memeberikan kepuasan yang sangat dalam di hati para penontonnya. Sang raja berkali-kali tersenyum dan tertawa lepas menunjukkan kesenangan dan kegembiraan sambil membelai dan memeluk para dayang-dayang yang diminta mendekati dan melayaninya. Bahkan tidak ketinggalan sang jenderal dan para asistennya pun ikut menikmati segala fasilitas nafsu dan birahi yang lengkap tersedia di sana. Mereka kini sudah benar-benar seperti tingkah laku binatang dan melupakan kodratnya sebagai manusia dan makhluk ciptaan Tuhan. Mereka telah benar-benar dibuat mabuk dengan keberhasilan dan prestasi kerja dan cipta yang mereka buat dan sungguh-sungguh melupakan campur-tangan Tuhan Semesta Alam, Sang Pencipta.
Bagi mereka kecerdasan dengan daya ciptanya, kedigdayaan dengan level posisinya, dan kesenangan hidup dengan segala kemudahan dan kemewahannya merupakan terminal akhir dalam kehidupan. Bahkan mereka tidak lagi mengenal akan datang kehidupan lain nan kekal di hari akhir, mungkin mereka tidak mengenal dan mengetahui, sudah melupakan atau tidak memperdulikannya lagi. Bagi sang raja dan para pengikutnya menikmati kemewahan dan kesenangan yang tersedia merupakan tujuan akhir pencapaian hidup yang mutlak di alam ini sehingga tidak perduli lagi bagaimana cara dan proses mendapatkannya. Siapa saja yang berani menghalangi, melawan, mengkritik dan memprotes, maka jangan dipertanyakan lagi hasilnya, sang raja akan memerintahkan pasukan yang diperlukan untuk membantai dan memusnahkan tanpa alang-kepalang. Kemajuan dan modernitas kehidupan hanya milik kehidupan itu sendiri. Mereka tak mengenal batas arti dan makna kebaikan dan keburukan. Bagi mereka itu hanya seperti mengenal hitam dan putih yang dapat diganti  warna kapan pun mereka menyukai dan membutuhkannya. Istilah moral, harkat dan martabat merupakan simbol yang hanya ada dan tertulis atau boleh diketahui, tapi bukan sebagai aplikasi nyata kehidupan. Kepatuhan absolut kepada titah raja bak menjadi ketaatan hamba kepada Tuhannya. Sang raja menentukan siapa yang boleh hidup dan siapa yang harus mati di mana dan kapan. Hal itu menjadi kitab pegangan di seluruh penjuru negeri dan sekaligus perundang-undangan tertinggi, sehingga meskipun ada penambahan, pengurangan atau perubahan apa pun itu pasti berasal dari sang raja. Sebuah sisi kehidupan punggawa kerajaan yang benar-benar nyata dijalani dewasa ini di Kerajaan Tucapenbath yang sedang berada di puncak kejayaan di kawasan itu. Apakah mereka lupa siapa, dari mana dan akan ke mana mereka hidup?
Di tengah asyik-maksyuk menikmati berbagai sajian kenikmatan di ruang sidang itu, sang raja menepukkan tangannya satu kali. Tiga serangkai langsung serentak menghentikan aksi liar mereka, sang jenderal dan para asistenya pun mengambil posisi khidmat kembali, dan para dayang-dayang nan cantik, molek dan menawan berlenggak-lenggok ke tempat mereka semula.
“Baik!” Ucapnya lantang berwibawa memecah keheningan sejenak.
“Kurasa kita sudah mengetahui peta kekuatan angkatan perang kerajaan ini,” dengan nanar matanya menyala menunjukkan betapa digdaya sang raja di hadapan kehebatan para hambanya itu, dan ia melanjutkan kata-katanya lagi.
“Sebelum sesaat kita lanjutkan lagi pesta yang sementara kutunda ini……. Aku ingin mendengar segala persiapan yang telah kau buat dan rencanakan bagi penyerbuan dan peperangan itu, Jenderal! Aku berikan kesempatan kalian bertiga untuk menyatukan kekuatan dengan ketiga mitra kalian, si tiga serangkai tersebut. Bila ada segala sesuatu, bicarakan dan bahas hingga tuntas secepatnya hari ini. Karena aku sudah tidak sabar ingin kita melanjutkan pesta kita, dan esok………….di awal hari kalian sudah berangkat ke medan peperangan. Dan camkan!! Buatku tidak mengenal kata kekalahan! Hanya kabarkan aku, sebuah kemenangan!”
“Paduka Raja Diraja Yang Mulia Ansiabia Kejnat, titah suci siap hamba laksanakan, Paduka Yang Agung sesembahan rakyat Kerajaan Tucapenbath yang masyhur,” dengan penuh kesopanan dan penghormatan Jenderal Tansulbahsa menerima titah raja itu.
Lalu raja itu beranjak dari meja sidang dan menempati singgasananya yang begitu permai tidak jauh dari meja sidang yang ia duduki tadi. Ia ingin memberikan ruang dan waktu kepada mereka berenam membicarakan dan membahas perencanaan penyerbuan dan peperangan. Kini mereka, yaitu pihak sang jenderal dan pihak tiga serangkai mulai terlihat akrab, dan sudah mulai sangat sibuk di meja sidang itu. Sesekali mereka saling bertanya dan menjawab yang diakhiri dengan membagi tugas masing-masing. Rupanya sang jenderal memang sudah sangat piawai baik dalam medan perang maupun di meja sidang memimpin rapat. Bahkan, sesekali ia menengahi perdebatan yang cukup panjang dan memanas bila terjadi perbedaan pendapat antar mereka. Keahlian inilah salah satu yang menjadi kebanggaan Raja Ansibia Kejnat terhadap Jenderal Tansulbahsa di samping keahlian dan kepiawaiannya dalam menerapkan teknologi, teknik, metode dan strategi yang jitu dalam penyerbuan-penyerbuan dan peperangan yang selalu membawa banyak kemenangan bagi sang raja. Baginya ia merupakan sang pahlawan kerajaan dan seorang abdi setia istana nomor satu selama ini. Bahkan pernah juga terlintas ia berkehendak menjodohkannya dengan salah seorang puteri dari puluhan yang ada untuk dijadikan isteri sang jenderal untuk melepas masa lajangnya. Namun niat itu selalu diurungkannya karena tugas-tugas penyerbuan dan peperangan yang ia titahkan dan tuntut kepadanya.
             Begitulah setelah sidang menemukan konklusi dengan segala perencanaan yang mereka sepakati bersama dan melaporkan hasilnya saat itu juga, sang raja meminta mereka melanjutkan pesta-pora yang sempat tertunda sebelumnya. Kembali suasana ruang sidang berubah bak kehidupan di dalam hutan yang tidak mengenal batas etika dan moral, manusia dan binatang, baik dan buruk serta hitam dan putih. Bagi mereka melanjutkan pesta kenikmatan sementara ini merupakan perwujudan kehidupan mutlak yang hakiki. Mereka nampak kelelahan setelah memuaskan diri masing-masing dengan segala ketersediaan yang ada di sana sebelum menuju medan peperangan sehingga mereka tertidur pulas di seluruh ruang sidang. Buat mereka ketidak-teraturan yang mereka ciptakan ini adalah keteraturan itu sendiri, hingga saatnya nanti Sang Pemilik keteraturan dan ketidak-teraturan datang menagih dan mengambilnya kembali.


Prolog Daftar Isi Fatsal 1 Fatsal 2 Fatsal 3 Fatsal 4 Fatsal 5 Fatsal 6
Fatsal 7 Fatsal 8 Fatsal 9 Fatsal 10 Fatsal 11 Fatsal 12 Fatsal 13 Fatsal 14
Fatsal 15 Fatsal 16 Fatsal 17 Fatsal 18 Fatsal 19 Fatsal 20 Fatsal 21 Fatsal 22
Fatsal 23

Fatsal 9 Perjalanan Pak Satria ke Dunia Baru



Fatsal 9 Perjalanan Pak Satria ke Dunia Baru

            Perenungan malam ini seperti sebelumnya yang biasanya berakhir pilu mendera di dalam dada seperti malam-malam kemarin. Terasa sesak memberatkan tarikan nafas seorang ayah yang tak akan tergambarkan dengan ungkapan kata-kata sedih puisi atau nyanyian kesunyian mana pun. Sepertinya ini tak mungkin terjadi. Tidak mungkin! Bahkan suatu hal yang mustahil jika Pak Satria mengingat dengan sangat jelas di dalam pikiran dan kenangannya kembali saat tiga tahun lalu di pagi hari ia masih bersama si kecil itu. Siang hari ia sempatkan mengobrol dan bercanda bersamanya. Bahkan, di sore hari setelah ia pulang ke rumah dari tempatnya bermain bersama beberapa temannya terlihat badannya sangat segar setelah selesai mandi. Tidak berapa lama berikutnya ia telah memegang sebuah buku tulis dan sebuah pulpen mengisi lembaran kosong dengan tokoh kesayangannya, Naruto. Meskipun sebuah siaran teleivisi terus menyiarkan suatu program, ia hanya asyik menggambar sembari terlentang di tempat tidur yang cukup besar menumpangkan kaki kanan di atas kaki kirinya, sementara beberapa bantal dan guling berserakan semrawut.
            Ia masih duduk bersandar tak bersemangat menghadapi komputer di ruang yang biasa ia tempati ini. Malam ini ia pun mulai menghidupkan lagi komputernya dan mencoba mengusir kejenuhan dan kegalauan dalam pikirannya, ia menjalankan program aplikasi untuk mengusir rasa kesal dan sesal di dada.
“Pasti sesuatu berbau kegaiban telah terjadi di rumah ini yang membawa Aga entah ke mana!” Sangkanya lagi dalam hatinya.
Bahkan ketika ia ingat kembali setelah mematikan komputer selesai mengetik sesuatu dan kembali ke kamar tidurnya, begitu pulas Aga memeluk guling dengan botol susu masih menempel di mulutnya. Sangat jelas ia benar-benar ada di sana tertidur di tengah antara aa-nya Kemal dan mamanya.
“Sangat aneh dan……pasti ada yang tidak beres!” Begitu bisik di dalam pikirannya.
Hingga Pak Satria mengenang saat ia mulai merebahkan badannya untuk beristirahat tidur sebelum berdoa, terlihat Aga masih di sana merem hanya sesekali terdengar bunyi sedotan botol susu yang dikenyot tanpa disadarinya.
Srooot, srooot, srooot…. .”
Setelah itu Pak Satria diam lagi sejenak, karena ia tak mampu mengingat lagi setelah ia tertidur waktu itu.
“Juga mengapa jawaban para tokoh spiritual atau paranormal tetap sama……? Makhluk gaib telah membawanya, katanya! Tapi ke mana dan di mana sekarang, tak ada satu pun dari mereka yang berhasil menembus keberadaannya itu…….” Kembali ia bertanya hal yang sama untuk ke sekian kali dalam pikirannya mencoba mendapatkan petunjuk.  
Dalam ketakberdayaan malam yang semakin larut ini dan kelelahan mental yang begitu dalam, konsentrasi mengetiknya menjadi mengawur akibat mata yang mulai disergap rasa kantuk sehingga beberapa kali tangannya meleset menekan hurup-hurup pada keyboard. Terakhir secara tak sengaja ia menekan hurup-hurup X, P, dan R berturut-turut.
Ah…pikiranku sedang kacau sekali malam ini!” Dalihnya dalam hati.
Lalu ia bermaksud menghapusnya dengan backspace dengan lambang panah mengarah ke kiri pada keyboard tersebut, tapi tak ayal malah tombol enter yang tertekan tak sengaja, dan……..
“Ampuni, Tuhan!” Pak Satria berteriak cukup keras dan memegang dadanya menahan degup jantung berdebar kaget cukup kuat.
Sambil refleks ketakutan, meloncat ke luar dari kursi duduknya dengan mata seolah-olah tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Perlahan di sudut ruangannya muncul cahaya membulat dan meninggi berdiameter cukup besar seluas tubuh tiga orang dewasa. Sinar itu memancar dari sudut bawah ke atas, agak redup terangnya, kehijau-hijauan, kuning dan biru serta sedikit kemerah-merahan.
“Ya Tuhan, sinar apakah ini? Atau jangan-jangan Aga…… aakhh, mana mungkin! Tapi…….” Tanya Pak Satria penuh keraguan merenangi pikirannya.
Pak Satria mencoba memberanikan diri mulai mendekati pancaran warna itu setelah penasarannya melebihi besar ketakutannya. Mula-mula ia tarik kursi yang tadi didudukinya dengan takut-takut, lalu ditempatkannya di sisi yang agak jauh di sudut kanannya, kemudian sambil merapat ke dinding di sebelah kirinya ia merambat jalan perlahan sekali seolah sedang berjalan memegang seutas tali di atas jembatan tambang dengan kekhawatiran terjatuh ke jurang nan begitu dalam ke dasar sana, akhirnya setelah begitu dekat…… ia berhenti dan diam sejenak. Menunggu. Tak ada apa pun yang terjadi! Tangan kanan yang lebih dekat ke lorong sinar itu diarahkan semakin mendekat agar bisa menyentuh permukaannya hingga tinggal beberapa sentimeter saja. Ia tidak merasakan apa pun meskipun tangan dan tubuhnya sudah sedemikian dekatnya dengan cahaya itu. Dengan membulatkan tekad siap menanggung segala resiko bila ia terkena setrum seperti sengatan listrik, misalnya, ia sudah menyiapkan mentalnya sedemikian rupa. Sambil menghitung satu, dua dan tiga dan mengucapkan doa dan memuji kebesaran Tuhan berulang-ulang, akhirnya……..jari telunjuknya pun menyentuh permukaan cahaya itu.
“Terima kasih, Ya Tuhan! Terima kasih, Ya Tuhan, Ya Tuhan, cahaya ini tidak membahayakan, aku tidak kenapa-kenapa…. Terima kasih, Ya Tuhan …..,” dengan gembiranya ia memanjatkan puji syukur ke hadlirat Tuhan Yang Maha Esa.
Sehingga ia semakin berani menyelusupkan lagi tangannya hingga masuk pergelangan ke dalam, juga tidak ada apa-apa. Tidak ada reaksi membahayakan sepertinya. Tak menimbulkan suara atas tindakannya ini, bahkan tidak ada bias cahaya karena sinarnya telah tertembus dengan tangan. Ia menarik kembali tangannya. Terlihat ia menjadi semakin berani saja, lalu disodorkan kaki kanannya hingga masuk seluruh telapaknya.
Setelah yakin sudah siap terhadap segala kemungkinan, disorongkan seluruh badannya perlahan mulai dari kepala, leher, badan bagian atas hingga kakinya ke dalam lorong cahaya ini. Sekarang ia sudah berada di dalam lorong ini seluruhnya. Nampaknya ia merasa cukup canggung berada di dalamnya tanpa tahu apa yang harus diperbuatnya. Sementara sembari memperhatikan ke sekeliling dan beberapa kali menyentuh selubung cahaya yang melingkarinya untuk mengetahui apakah anggota tubuhnya masih dapat menembus atau tidak, dan ternyata ……………. Ia seketika menjadi sangat terkejut dan gugup, mengetahui kedua tangannya tak dapat lagi menembus ke luar selubung itu!  Belum sempat berpikir lebih jauh lagi, ia merasakan seperti ada tarikan ke arah bawah tubuhnya secara perlahan diiringi desiran angin dan tekanan halus dari arah atas. Semakin lama semakin terasa kecepatan tarikan dan tekanan halus di tubuhnya mulai terasa lebih kuat tanpa mempengaruhi keseimbangan tubuhnya sedikit pun. Sambil berpegangan ke dinding selubung cahaya itu, pandangannya mengitari dinding lingkaran cahaya ini terasa seperti bergerak turun dengan kecepatan yang sangat dahsyat. Wajah cemas dan takut luar biasa mulai menghinggapinya, namun seperti tak sanggup berteriak dan menjerit.
“Apa yang sedang terjadi? Apakah yang kualami saat ini juga dialami Aga saat itu? Jika demikian, semoga aku dan ia selamat dan akhirnya bisa ketemu,” tanya dan harap beruntun pada diri sendiri menahan beribu-ribu perasaan yang menjadi satu.
Ia tak bisa melukiskan ketakutan ini, merasa seperti terbawa dan terhisap cahaya, sendirian, meskipun kejadian ini sedikit pun tidak mempengaruhi keseimbangan tubuhnya sama sekali. Dengan masih tetap berdiri tegak seolah tak terjadi apa-apa dengan sekelilingnya, namun ketakutan dan kecemasan yang begitu sangat menghantui, terlihat semakin menjadi-jadi. Kembali meraba-raba dinding kaku dan padat dan tak bisa ditembus di hadapannya seperti tadi, terkejut, tak bisa keluar. Ini membuatnya sangat panik….ingin sekali ia menangis namun tak bisa. Dicobanya menerobos dinding sebelah kanan keluar tapi tak membuahkan hasil, menjadikannya histeris. Tetap saja tak bisa menangis, meskipun ia takut sekali. Masih berharap ada jalan keluar bagi dirinya, mungkin dinding cahaya sebelah kiri merupakan pintu itu, lalu disentuh dan raba beberapa kali dengan penuh kecemasan yang kian bertambah teramat sangat, tetapi tetap nihil. Ketakutannya kian menjadi lagi tanpa dapat tertahan, ia akhirnya pasrah, terduduk lemas di sana. Meskipun sekeliling terasa membisu, namun tiba-tiba…
Srrrrpp…”
Selubung cahaya di sekeliling lenyap dan wajah Pak Satria sedikit berubah gembira dan takjub melihat sebuah pemandangan di hadapannya yang sungguh-sungguh belum pernah ia saksikan sebelumnya. Meskipun ini baru pertama kali ia lihat. Semakin jelaslah kini ia berada di suatu tempat lain dalam tempo seolah-olah hanya  dalam beberapa detik saja.
Matanya terasa dimanjakan dengan kenikmatan dan ketakjuban di setiap penjuru pandangan, ketakutan, kecemasan atau kekhawatiran kini telah sirna. Bahkan terlihat  seperti tak lepas dan bosan mata memandang ke sekeliling.
             “Indah sekali, Ya Tuhan! Tempat apakah ini?” Terdengar ia bergumam sendirian.


Prolog Daftar Isi Fatsal 1 Fatsal 2 Fatsal 3 Fatsal 4 Fatsal 5 Fatsal 6
Fatsal 7 Fatsal 8 Fatsal 9 Fatsal 10 Fatsal 11 Fatsal 12 Fatsal 13 Fatsal 14
Fatsal 15 Fatsal 16 Fatsal 17 Fatsal 18 Fatsal 19 Fatsal 20 Fatsal 21 Fatsal 22
Fatsal 23

Fatsal 4 Pertemuan Keluarga Besar





Fatsal 4 Pertemuan Keluarga Besar

Kini di sebuah ruangan yang cukup luas tepatnya tanggal tujuh April dua ribu empat belas, tiga tahun sejak kepergian Aga, tepatnya sejak menghilangnya secara misterius putra ketiga si bungsu keluarga pasangan Pak Satria dan Ibu Ningsih menjadikan mereka sangat menderita.
Kedua orang tua itu yang hanya ditemani Nandya puteri sulung, sembilan belas tahun, mahasiswi salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta, dan Kemal putera kedua yang merupakan kakak atau aa Aga, tiga belas tahun, pelajar kelas tiga belas di salah satu sekolah menengah pertama negeri di kota Depok, telah banyak melakukan upaya berbagai macam cara agar dapat menemukan si bungsu Aga adik kedua kakak-beradik tersebut, bahkan hingga saat ini.
Mereka terlihat sedang berkumpul untuk kesekian kali membicarakan segala kemungkinan agar bisa mendapatkan informasi baru atau perkembangan lain tentang keberadaan Aga. Kedua orang tua itu dan kakak-beradik duduk merenung dikelilingi seluruh om dan tante: Yudi, Andry, Dony, Joe, Aldi, dan tante Riana, Maya, Dewi dan Rani. Terdengar berbicara satu sama lain. Ada yang berkelompok empat, tiga dan dua.
Kak Satria udeh coba dapetin info lain dari internet, mungkin ada pemberitahuan orang hilang, misalnya?” Tanya Andry yang duduk tidak jauh dari kakak iparnya memecah pembicaraan masing-masing.
Udah, tapi emang belom ada petunjuk apapun tentang keberadaan Aga,” jawab Pak Satria agak tak bersemangat.
“Bahkan Kak Satria juga sudah coba datengin lagi ke beberapa kantor di Kota Depok…… sekedar mencari info terbaru atau mengingatkan mereka tentang laporan kehilangan tiga tahun lalu, agar terus membantu melacak keberadaannya,” paparnya lagi menjelaskan.
Suasana kembali hening sebentar lalu kembali agak gaduh karena mereka berbicara secara berkelompok membicarakan kemungkinan-kemungkinan lain sendiri-sendiri.
“Begini….adik-adik,” tiba-tiba Pak Satria mencoba meminta perhatian untuk melanjutkan kata-katanya dengan sebutan ‘adik-adik’, karena ia merupakan saudara tertua dalam pertemuan keluarga besar ini.
Rasa-rasanya kita sudah berupaya keras agar dapat menemukan Aga kembali, bahkan sampai hari ini. Saya dan keluarga akhirnya hanya bisa pasrah dan ikhlas saja, jika ia memang akhirnya tak akan kembali, meskipun masih terus berharap dan berusaha semampu kita.”
Kata-katanya tak dapat ia lanjutkan karena terlihat wajahnya berubah sendu dan sambil berusaha tetap tegar.
“Saya juga mohon kepada seluruh saudara yang hadir di sini untuk tetap membantu mencari informasi apapun yang mengarah kepada petunjuk-petunjuk baru,” ungkapnya menambahkan.
“Baiklah….karena waktu juga sudah semakin sore, saya mohon kita menutup pertemuan kali ini dengan doa seperti biasanya untuk kesehatan dan keselamatan Aga khususnya….dan kita yang hadir di sini umumnya,” paparnya mencoba mengakhiri dan menutup pertemuan keluarga itu.
Merekapun berdoa bersama secara khidmat dan ikhlas yang saat itu dipimpin oleh Om Joe, saudara tertua kedua. Terlihat juga seluruh sepupu ada yang menitikkan air mata mengungkapkan rasa sedih yang mendalam, Irsyad, Andra, Dafa, Alya bahkan Fathan yang termuda pun akhirnya ikut terisak seolah teringat kenangan mereka dulu bersama saudaranya, Aga. Mereka akhirnya berpisah diikuti dengan rasa haru-biru yang begitu mendalam.
Tinggal mereka berempat merasa sepi kehilangan salah satu putera kesayangan mereka, si bungsu Aga. Pernah suatu kali kakaknya yang biasa dipanggil aa yang juga sedih sekali kehilangan adik, teman dan saudara muda sekandung biasa sering bermain, bercanda bersama dan berselisih itu, berujar kepada papanya, Pak Satria,
Pah, kita jalan ke mana keq, yuk….siapa tahu bisa ketemu Aga atau ada orang yang memberitahu di mana adanya.”
Mah, Kemal ikut ya, ke sekolah tempat mama ngajar, kali aja bisa ngeliat Aga dari jendela angkot….” Pintanya suatu kali kepada mamanya yang sedang bersiap-siap berangkat mengajar di suatu pagi.
Bahkan tidak jarang salah satu dari mereka bermimpi melihatnya sedang bermain, bercanda, duduk, berdiri atau dituntun bersama seseorang di suatu tempat keramaian atau tempat terpencil, sehingga dalam tidur atau mimpi mengigau dengan memanggil-manggil atau berteriak nama adik atau puteranya tersebut.
“Aga! Aga! Aga!! Mah, pah itu Aga di sana lagi bediri…..” teriak Kemal dalam suatu tidurnya mengigau dengan meneriak-neriakkan nama adiknya berulang-ulang.
Pak Satria dan Bu Ningsih terbangun dan membangunkan Kemal, lalu mengingatkannya bahwa ia sedang bermimpi dan mengigau. Kemudian ia menceritakan di dalam mimpinya tentang adiknya tersebut. Hal itu pun terjadi tidak saja pada Kemal, kakak sulung, Nandya yang tidak kalah besar dalam menyayangi adiknya tersebut mengalami hal serupa, termasuk mama dan papa mereka. Mimpi-mimpi melihat atau bertemu dan berbicara dengannya selalu menghantui malam-malam mereka hingga beberapa tahun terakhir. Kenangan dengan si bungsu kecil yang cerdas, cerdik, lucu dan tampan itu memang terlalu manis untuk dilupakan dan terlalu indah untuk dikenangkan.
Malam harinya sekitar pukul sembilan belas tiga puluhan terlihat Pak Satria, papa Aga, duduk termenung sendirian di ruang itu. Tepat di kursi tiga tahun lalu saat Aga memasuki dunia petualangannya pertama kali yang tak disengajanya itu. Namun, siapa yang menyangka di dunianya kini entah di mana ia telah menjadi The Chosen, Pahlawan Penyelamat di suatu kerajaan yang kini hanya diketahui dan dialami sendiri oleh Sang Pembebas di sebuah wilayah yang disebut Kerajaan Gemrilozie.





Prolog Daftar Isi Fatsal 1 Fatsal 2 Fatsal 3 Fatsal 4 Fatsal 5 Fatsal 6
Fatsal 7 Fatsal 8 Fatsal 9 Fatsal 10 Fatsal 11 Fatsal 12 Fatsal 13 Fatsal 14
Fatsal 15 Fatsal 16 Fatsal 17 Fatsal 18 Fatsal 19 Fatsal 20 Fatsal 21 Fatsal 22
Fatsal 23