Fatsal 20 Ibu
Ningsih dan Kesendiriannya
Kehilangan
demi kehilangan yang misterius dialami Keluarga Pak Satria selama kurang-lebih sembilan
tahun ini jelas menyisakan kepedihan dan kegalauan yang mendalam, terutama bagi
yang dtinggal sendirian itu adalah seorang ibu. Ia pertama kali merasakan
kesedihan itu sejak misteriusnya kepergian sang putera bungsu kesayangannya
juga, Aga. Rasa pahit ditinggal pergi orang yang dicintainya itu masih cukup
beruntung karena perasaannya masih terasa terhibur dengan kehadiran suami, dan
kedua puteri dan puteranya yang lain. Belum habis dan selesai kegundahan dan
kepahitan hidup itu, ia pun harus terpaksa merelakan kepergian sang suami tiga
tahun kemudian yang notabene tanpa jejak dan berita, misterius! Meskipun deraan
demi deraan kedua kalinya ini menambah tonase fisik dan mentalnya, masih ada
yang menghibur, kedua puteri dan puteranya yang lain, Nandya dan Kemal. Lalu,
bisakah Anda bayangkan dan rasakan perasaannya kini ketika masih tiga tahun
kemudian kedua anaknya pun turut mengalami nasib yang sama, hilang secara
misterius? Anda mungkin tak akan sanggup merasakannya, bahkan membayangkannya
pun tak akan tergambar dengan mudah! Lalu kepada siapa ia berani mencurahkan
segala rasa itu? Kini tak ada lagi Aga, suaminya, Nandya, dan Kemal. Apakah
secara logika dan rasional ia masih tetap merasa beruntung?
Mengalami ini semua membuat ia bertambah
pasrah dan ikhlas. Satu jawaban terakhir hanya menerima setelah berbagai macam
upaya telah ditempuhnya untuk menemukan jejak kepergian satu-persatu yang
dicintainya. Itu memang tak tampak begitu mudah dilaluinya. Namun waktu dan
pengalaman mengajarkan banyak hal kepadanya. Agamanya memberi sebuah pegangan
iman dan keyakinan akan arti sebuah kesabaran dan ketakuaan dalam menjalani
hidup dan kehidupan. Keimanan terus bertambah bahwa pasti ada hikmah di balik
semua ini! Begitu seringkali ia mencari-cari sebuah jawaban terakhir yang ia
dapatkan atas deraan roda kehidupannya.
Tuhan tidak akan memberi sesuatu beban
kepada hambaNya sebatas yang tak dapat diatasi dirinya. Dan Ia pun pasti selalu
menguji dan memberi cobaan sebagai bahan evaluasi untuk kenaikan kelas yang
lebih tinggi. Pengalaman rasa ini yang pantas dihidupkan dan diaplikasikan, tapi
bukan menjadi apriori dan pesimis terhadap eksistensiNya.
Sembilan tahun memang bukan waktu yang
sebentar. Dan seiring waktu berjalan tak ada sesuatu petunjuk dari seorang pun
tentang di mana keberadaan mereka, tak ada! Kecuali mimpi-mimpinya yang
menemani kegelisahan tidur di malam-malamnya yang terasa menjadi lebih dan
lebih panjang. Dalam tidurnya sering sekali ia melihat kebersamaan suami dengan
puteri dan kedua puteranya dihiasi senyuman dan tawa gembira dan bahagia.
Terkadang suatu malam ia hanya memimpikan salah seorang puteri, di lain mimpi
ia melihat puteranya penuh kebahagiaan. Namun, bila ia terjaga dari tidurnya ia
sering habiskan dengan berdoa untuk mereka dan keselamatan mereka, suami,
puteri dan putera-puteranya.
Di siang hari, ia menghabiskan dan
mencurahkan segenap waktu untuk mengajar dan mendidik murid-murid di
sekolahnya. Gelak-tawa mereka terkadang sedikit menghibur dirinya, tapi juga
terkadang membuat hati dan perasaannya miris dan sedih. Sehingga, ia pun jadi
melamun dan berandai-andai.
“Akhh……mungkin
anakku sudah sebesar ini, jika ia masih ada…..” bisiknya lirih dalam hati.
Di saat yang lain ia teringat tak perlu
andai-andai itu, inilah kenyataan itu. Dan ia pun harus berpikir lebih rasional
lagi. Dan doa-doa menjadi teman karibnya sehari-hari. Karena ia masih yakin
bahwa mereka masih hidup dan ada di suatu tempat. Tapi di mana, ia tak tahu
pasti, bahkan tak bisa ia ungkapkan. Naluri wanita sebagai ibu dari anak-anaknya
dan seorang isteri memang sangat kuat.
Kenyataan hidup inilah yang membuat ia
terus menjalani hidup dan menunggu untuk berkumpul kembali bersama mereka,
bahkan bila itu mesti sampai hingga akhir hayatnya. Keyakinan akan bertemu
nanti di akhir zaman yang membuat ia bertambah ketabahannya menjalani kehidupan
ini sendirian.
“Bagaimana mungkin aku merasa sendirian?
Murid-muridku pun bisa menjadi anak-anakku. Kenapa aku tidak mendidik mereka
seperti layaknya anak-anakku sendiri?” Hiburnya suatu kali melepaskan kegalauan
hatinya.
“Eh,
Andra….datang sama siapa?” Tanya Ibu
Ningsih kepada keponakannya.
“Sama
ayah, Wa Ningsih,” jawab Andra.
Sambil mencium tangan uwanya dan
menyerahkan bungkusan makanan yang dibawa untuk uwanya Ia menyebut Ibu Ningsih
dengan panggilan uwa, sebuah panggilan khas di wilayah Jakarta atau Jawa Barat
yang bermakna sama dengan tante, karena Uwa Ningsih adalah kakak kandung
ayahnya.
“Mama Andra ‘enggak ikut?”
“Ikut, lagi parkirin mobil sama
ayah.”
“Oh,
gitu. Ya udah, masuk aja dulu sini,
Dra.”
“Iya, wa.”
Acapkali keluarga adiknya menyempatkan
diri berkunjung jika mereka sedang berlibur dari kantor atau sekolah. Di lain
waktu sering juga keponakan-keponakan lainnya yang kini sudah bertambah besar,
seperti Irsyad, Dafa, Raka atau yang lainnya sendiri-sendiri atau bersama orang
tua mereka. Mereka ingin datang sekedar menghibur atau hanya mengetahui kondisi
kesehatan kakak kandung atau uwanya itu.
“Iya…emang
kasihan juga sih sama si teteh,” ujar
Ibu Maya adik perempuan Ibu Ningsih yang paling bungsu menimpali obrolan
saudara-saudara lainnya ketika mereka suatu waktu berkumpul bersama-sama di
rumah kakak tertuanya itu. Saat itu kakaknya memang sedang berada di dapur
membantu sang pembantu menyiapkan air minum dan makanan kecil.
“Tapi……emang aneh juga ya A
Yudi, keempat-empatnya pergi dan menghilang begitu aja,” komentar Pak Fadli suami Ibu Maya, adik ipar Ibu Ningsih dan
Pak Yudi.
“Hampir semua koran tulisan headline-nya berisi topik tentang ini,”
sambung Pak Joe.
Pak Jauhari yang biasa dipanggil Joe juga
adik ipar Ibu Ningsih, suami dari adik kandungnya, Ibu Riana yang saat itu
duduk bersila sambil memegang salah satu surat kabar nasional ternama.
“Ini malah
koran ‘Jakarta Mengabari’ judul
beritanya bombastis banget, ….Seorang
Papa dan Ketiga Anaknya Diculik Alien… he-he-heh,” baca Pak Donny adik kandung laki-laki nomor tiga, kakak
Ibu Maya sambil tertawa terkekeh-kekeh karena membaca judul surat kabar yang
dibelinya berbau sensasi fiksi.
Mendengar itu mereka menjadi tersenyum
dan tertawa, karena merasa lucu dengan judul berita menyolok mata. Mereka mengobrol
‘ngalor-ngidul’ untuk bertukar pikiran dan sekaligus menghibur sang tetehnya. Terkadang
mereka juga kedatangan satu atau lebih wartawan atau reporter dari berbagai
media massa untuk mendapatkan berita atau mengkonfirmasi sesuatu hal sehubungan
dengan belum kembalinya keluarga mereka. Maka, otomatis rumah Ibu Ningsih
menjadi kian ramai. Di luar pagar halaman, bahkan ada juga beberapa tetangga
yang berdiri ingin mengetahui perkembangan atau sekedar menonton para wartawan
surat kabar atau majalah atau reporter dari televisi ibukota yang datang
mewawancarai.
“Bagaimana situasi terakhir tentang
kondisi Ibu Ningsih dan rumahnya yang menjadi misteri kehilangan kepala
keluarga dan ketiga puteri dan puteranya itu, bu?” Tanya seorang reporter
kepada salah seorang perempuan setengah tua yang menjadi penonton dan kebetulan
sedang berdiri di depan pagar rumah Ibu Ningsih.
“Kalo
ibu peratiin mah, sepi-sepi baeee, Pak,” jawabnya dengan
logat Betawi Depoknya yang sangat kental seolah-olah memang memahami kondisi
sebenarnya.
Di dalam hatinya, ia merasa sangat senang
dan bangga sekali dapat diwawancarai oleh seorang reporter dari salah satu
stasiun televisi ternama itu dan nanti bisa tampil di televisi pada siaran
berita yang sangat digemari publik saat itu, ‘Kali Aje Berite Penting’.
Jika pertemuan keluarga perkembangannya
sudah seperti itu, mereka biasanya meminta dengan sopan dan hormat kepada
pemburu berita agar tidak banyak mengganggu, terutama kepada kakak mereka, Ibu
Ningsih. Namun, jika salah satu dari wartawan atau reporter bersikeras,
biasanya Pak Joe, yang mantan wartawan cukup handal itu, berdiplomasi bahwa
kakak iparnya tidak mau ditemui dan diganggu. Pada akhirnya, mereka pun memang bergegas
pergi setelah mendapatkan berita atau informasi sekedarnya. Memang ia cukup
piawai dalam mengatasi mereka yang terkadang setengah memaksa atau mendesak
masuk untuk bertemu sang target.
Begitulah hari-hari Ibu Ningsih jalani
tanpa suaminya dan ketiga puteri dan puteranya lagi, sendirian. Semakin hari ia
semakin membulatkan tekad untuk tetap menunggu dan menanti dengan harapan
mereka bisa berada di rumah ini dan berkumpul seperti dahulu kala. Bila
mengingat itu semua, kenangannya bersama mereka kembali mencuat. Kata-kata
sanjungan sang suami kepada dirinya di saat-saat tertentu, obrolan dengan sang
puteri menjelang remaja yang asyik berdua membicarakan banyak hal bersama
terkadang diiringi gelak tawa, riuh-rendah pertengkaran kedua kakak-beradik
yang berebut saluran televisi, karena aa-nya ingin menyaksikan pertandingan
sepakbola tim kesayangannya dan sang adik ingin menonton film kartun
kesayangannya pula pada jam tayang yang bersamaan.
“Aah….sebenarnya
itu saat-saat yang kini membuatku merasa kesepian,” rintihnya suatu kali
mengenang kisah-kisah kebersamaan mereka.
“Kenapa Tuhanku…. Engkau memisahkan
mereka dariku? Jawablah aku. Aku sungguh tak mengerti maksud dari ini semua,”
tanyanya kepada diri sendiri dengan derai airmata yang terus meleleh dari
pelupuk matanya. “….Dan mengapa Engkau memberikan ujian yang berat seperti
ini?” Tanyanya lagi berharap dirinya mendapat petunjuk dari Sang Maha Kuasa.
Bila sudah seperti itu, ia tidak perduli
lagi apakah suhu malam atau siang begitu dingin atau panas, ia segera berdoa
secara khusus memohon segala bimbingan dan petunjuk dari Tuhan. Ia lebih
mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta dan mengadu sepuas-puasnya tentang
segala beban dan sekaligus harapan yang menyelimuti dirinya. Ia pun terkadang
menyadarkan dirinya sendiri bahwa itu mungkin bagian dari kesalahan dan dosa
masa lalu yang mungkin telah diperbuatnya dan kini terlupakan. Di saat-saat
inilah membuat ia lebih banyak berkontemplasi dan memikirkan tentang arti dan
makna kehidupan. Ia lebih banyak mengingat namaNya di kala pagi, siang maupun
petang. Setelah itu, pikirannya menjadi tenang kembali dan akan lebih arif menerima
keputusanNya. Hari-hari berikutnya dijalani dengan lebih bersabar, bijak dan tenang
menghadapi berbagai permasalahan.
Jawaban demi jawaban dari berbagai
pertanyaan dalam dirinya terasa mulai terjawab bila ia selesai berdoa dan
banyak-banyak menyebut NamaNya. Sering sekali ia berlama-lama bercengkrama
kepada Tuhannya di awal pagi hingga terbit matahari sebelum berangkat mengajar,
dan dihabiskannya waktu untuk kembali mendekatkan diri kepadaNya di sore hari
selepas mengajar di sekolah-sekolah. Begitu seterusnya hal itu ia lakukan.
Pelajaran-pelajaran berharga pun setiap hari ia petik tentang mengejar dan
mengkoleksi kebajikan-kebajikan, ampunan dari kejahatan yang mungkin pernah
dilakukannya, tingkatan derajat hidup di surga nanti, pemeliharaan diri dari
godaan-godaan syetan dan perbuatan-perbuatan yang sia-sia.
Ia kini telah mampu bersalin rupa dari
kedukacitaan menjadi kegembiraan hati, kelemahan tubuhnya menjadi kekuatan, kemuraman
hati dan wajah menjadi bercahaya, kelemahan dan kesemrawutan penampilan menjadi
kegagahan dan kemegahan, melahirkan benci menjadi cinta, gelap hati menjadi
terang, tergelincir kepada perihal mengumpat, mencela, dusta, dan berbicara
si-sia menjadi terhindar daripadanya. Yang tak kalah syukur ia terima dari
kontemplasi kepada dan mengingatNya adalah bertambahnya penghasilan dari banyak
sumber pemasukan finansial. Karena ia kerapkali dimintai keterangan sebagai
narasumber tertentu, karena pengalaman langsung yang ia alami sendiri merupakan
pelajaran dan teladan bagi yang lainnya. Segal puji bagi Tuhan semesta alam
Yang Telah Memberinya sebagian hikmah itu. Ia bertambah keyakinannya sekarang
bahwa ternyata Tuhan itu sangat dekat, bahkan lebih dekat dari nadi lehernya.
Banyak wawasan dan pembukaan tabir yang selalu ia lakukan dicatat, dibukukan
dan diamalkan kepada orang lain. Karena ia takut bila tak membaginya kepada
orang lain, maka ia tergolong cendikia yang yang celaka. Ibu Ningsih….oohh….Bu
Ningsih; kau dulu -- dan kau kini!
0 komentar :
Posting Komentar