Senin, 08 Juli 2013

Fatsal 20 Ibu Ningsih dan Kesendiriannya



Fatsal 20 Ibu Ningsih dan Kesendiriannya

Kehilangan demi kehilangan yang misterius dialami Keluarga Pak Satria selama kurang-lebih sembilan tahun ini jelas menyisakan kepedihan dan kegalauan yang mendalam, terutama bagi yang dtinggal sendirian itu adalah seorang ibu. Ia pertama kali merasakan kesedihan itu sejak misteriusnya kepergian sang putera bungsu kesayangannya juga, Aga. Rasa pahit ditinggal pergi orang yang dicintainya itu masih cukup beruntung karena perasaannya masih terasa terhibur dengan kehadiran suami, dan kedua puteri dan puteranya yang lain. Belum habis dan selesai kegundahan dan kepahitan hidup itu, ia pun harus terpaksa merelakan kepergian sang suami tiga tahun kemudian yang notabene tanpa jejak dan berita, misterius! Meskipun deraan demi deraan kedua kalinya ini menambah tonase fisik dan mentalnya, masih ada yang menghibur, kedua puteri dan puteranya yang lain, Nandya dan Kemal. Lalu, bisakah Anda bayangkan dan rasakan perasaannya kini ketika masih tiga tahun kemudian kedua anaknya pun turut mengalami nasib yang sama, hilang secara misterius? Anda mungkin tak akan sanggup merasakannya, bahkan membayangkannya pun tak akan tergambar dengan mudah! Lalu kepada siapa ia berani mencurahkan segala rasa itu? Kini tak ada lagi Aga, suaminya, Nandya, dan Kemal. Apakah secara logika dan rasional ia masih tetap merasa beruntung?
Mengalami ini semua membuat ia bertambah pasrah dan ikhlas. Satu jawaban terakhir hanya menerima setelah berbagai macam upaya telah ditempuhnya untuk menemukan jejak kepergian satu-persatu yang dicintainya. Itu memang tak tampak begitu mudah dilaluinya. Namun waktu dan pengalaman mengajarkan banyak hal kepadanya. Agamanya memberi sebuah pegangan iman dan keyakinan akan arti sebuah kesabaran dan ketakuaan dalam menjalani hidup dan kehidupan. Keimanan terus bertambah bahwa pasti ada hikmah di balik semua ini! Begitu seringkali ia mencari-cari sebuah jawaban terakhir yang ia dapatkan atas deraan roda kehidupannya.
Tuhan tidak akan memberi sesuatu beban kepada hambaNya sebatas yang tak dapat diatasi dirinya. Dan Ia pun pasti selalu menguji dan memberi cobaan sebagai bahan evaluasi untuk kenaikan kelas yang lebih tinggi. Pengalaman rasa ini yang pantas dihidupkan dan diaplikasikan, tapi bukan menjadi apriori dan pesimis terhadap eksistensiNya.
Sembilan tahun memang bukan waktu yang sebentar. Dan seiring waktu berjalan tak ada sesuatu petunjuk dari seorang pun tentang di mana keberadaan mereka, tak ada! Kecuali mimpi-mimpinya yang menemani kegelisahan tidur di malam-malamnya yang terasa menjadi lebih dan lebih panjang. Dalam tidurnya sering sekali ia melihat kebersamaan suami dengan puteri dan kedua puteranya dihiasi senyuman dan tawa gembira dan bahagia. Terkadang suatu malam ia hanya memimpikan salah seorang puteri, di lain mimpi ia melihat puteranya penuh kebahagiaan. Namun, bila ia terjaga dari tidurnya ia sering habiskan dengan berdoa untuk mereka dan keselamatan mereka, suami, puteri dan putera-puteranya.
Di siang hari, ia menghabiskan dan mencurahkan segenap waktu untuk mengajar dan mendidik murid-murid di sekolahnya. Gelak-tawa mereka terkadang sedikit menghibur dirinya, tapi juga terkadang membuat hati dan perasaannya miris dan sedih. Sehingga, ia pun jadi melamun dan berandai-andai.
Akhh……mungkin anakku sudah sebesar ini, jika ia masih ada…..” bisiknya lirih dalam hati.
Di saat yang lain ia teringat tak perlu andai-andai itu, inilah kenyataan itu. Dan ia pun harus berpikir lebih rasional lagi. Dan doa-doa menjadi teman karibnya sehari-hari. Karena ia masih yakin bahwa mereka masih hidup dan ada di suatu tempat. Tapi di mana, ia tak tahu pasti, bahkan tak bisa ia ungkapkan. Naluri wanita sebagai ibu dari anak-anaknya dan seorang isteri memang sangat kuat.
Kenyataan hidup inilah yang membuat ia terus menjalani hidup dan menunggu untuk berkumpul kembali bersama mereka, bahkan bila itu mesti sampai hingga akhir hayatnya. Keyakinan akan bertemu nanti di akhir zaman yang membuat ia bertambah ketabahannya menjalani kehidupan ini sendirian.
“Bagaimana mungkin aku merasa sendirian? Murid-muridku pun bisa menjadi anak-anakku. Kenapa aku tidak mendidik mereka seperti layaknya anak-anakku sendiri?” Hiburnya suatu kali melepaskan kegalauan hatinya.
Eh, Andra….datang sama siapa?” Tanya Ibu Ningsih kepada keponakannya.
Sama ayah, Wa Ningsih,” jawab Andra.
Sambil mencium tangan uwanya dan menyerahkan bungkusan makanan yang dibawa untuk uwanya Ia menyebut Ibu Ningsih dengan panggilan uwa, sebuah panggilan khas di wilayah Jakarta atau Jawa Barat yang bermakna sama dengan tante, karena Uwa Ningsih adalah kakak kandung ayahnya.
“Mama Andra ‘enggak ikut?”
“Ikut, lagi parkirin mobil sama ayah.”
Oh, gitu. Ya udah, masuk aja dulu sini, Dra.”
“Iya, wa.”
Acapkali keluarga adiknya menyempatkan diri berkunjung jika mereka sedang berlibur dari kantor atau sekolah. Di lain waktu sering juga keponakan-keponakan lainnya yang kini sudah bertambah besar, seperti Irsyad, Dafa, Raka atau yang lainnya sendiri-sendiri atau bersama orang tua mereka. Mereka ingin datang sekedar menghibur atau hanya mengetahui kondisi kesehatan kakak kandung atau uwanya itu.
“Iya…emang kasihan juga sih sama si teteh,” ujar Ibu Maya adik perempuan Ibu Ningsih yang paling bungsu menimpali obrolan saudara-saudara lainnya ketika mereka suatu waktu berkumpul bersama-sama di rumah kakak tertuanya itu. Saat itu kakaknya memang sedang berada di dapur membantu sang pembantu menyiapkan air minum dan makanan kecil.
“Tapi……emang aneh juga ya A Yudi, keempat-empatnya pergi dan menghilang begitu aja,” komentar Pak Fadli suami Ibu Maya, adik ipar Ibu Ningsih dan Pak Yudi.
“Hampir semua koran tulisan headline-nya berisi topik tentang ini,” sambung Pak Joe.
Pak Jauhari yang biasa dipanggil Joe juga adik ipar Ibu Ningsih, suami dari adik kandungnya, Ibu Riana yang saat itu duduk bersila sambil memegang salah satu surat kabar nasional ternama.  
“Ini malah koran ‘Jakarta Mengabari’ judul beritanya bombastis banget, ….Seorang Papa dan Ketiga Anaknya Diculik Alienhe-he-heh,” baca Pak Donny adik kandung laki-laki nomor tiga, kakak Ibu Maya sambil tertawa terkekeh-kekeh karena membaca judul surat kabar yang dibelinya berbau sensasi fiksi.
Mendengar itu mereka menjadi tersenyum dan tertawa, karena merasa lucu dengan judul berita  menyolok mata. Mereka mengobrol ‘ngalor-ngidul’ untuk bertukar pikiran dan sekaligus menghibur sang tetehnya. Terkadang mereka juga kedatangan satu atau lebih wartawan atau reporter dari berbagai media massa untuk mendapatkan berita atau mengkonfirmasi sesuatu hal sehubungan dengan belum kembalinya keluarga mereka. Maka, otomatis rumah Ibu Ningsih menjadi kian ramai. Di luar pagar halaman, bahkan ada juga beberapa tetangga yang berdiri ingin mengetahui perkembangan atau sekedar menonton para wartawan surat kabar atau majalah atau reporter dari televisi ibukota yang datang mewawancarai.
“Bagaimana situasi terakhir tentang kondisi Ibu Ningsih dan rumahnya yang menjadi misteri kehilangan kepala keluarga dan ketiga puteri dan puteranya itu, bu?” Tanya seorang reporter kepada salah seorang perempuan setengah tua yang menjadi penonton dan kebetulan sedang berdiri di depan pagar rumah Ibu Ningsih.
Kalo ibu peratiin mah, sepi-sepi baeee, Pak,” jawabnya dengan logat Betawi Depoknya yang sangat kental seolah-olah memang memahami kondisi sebenarnya.
Di dalam hatinya, ia merasa sangat senang dan bangga sekali dapat diwawancarai oleh seorang reporter dari salah satu stasiun televisi ternama itu dan nanti bisa tampil di televisi pada siaran berita yang sangat digemari publik saat itu, ‘Kali Aje Berite Penting’. 
Jika pertemuan keluarga perkembangannya sudah seperti itu, mereka biasanya meminta dengan sopan dan hormat kepada pemburu berita agar tidak banyak mengganggu, terutama kepada kakak mereka, Ibu Ningsih. Namun, jika salah satu dari wartawan atau reporter bersikeras, biasanya Pak Joe, yang mantan wartawan cukup handal itu, berdiplomasi bahwa kakak iparnya tidak mau ditemui dan diganggu. Pada akhirnya, mereka pun memang bergegas pergi setelah mendapatkan berita atau informasi sekedarnya. Memang ia cukup piawai dalam mengatasi mereka yang terkadang setengah memaksa atau mendesak masuk untuk bertemu sang target.
Begitulah hari-hari Ibu Ningsih jalani tanpa suaminya dan ketiga puteri dan puteranya lagi, sendirian. Semakin hari ia semakin membulatkan tekad untuk tetap menunggu dan menanti dengan harapan mereka bisa berada di rumah ini dan berkumpul seperti dahulu kala. Bila mengingat itu semua, kenangannya bersama mereka kembali mencuat. Kata-kata sanjungan sang suami kepada dirinya di saat-saat tertentu, obrolan dengan sang puteri menjelang remaja yang asyik berdua membicarakan banyak hal bersama terkadang diiringi gelak tawa, riuh-rendah pertengkaran kedua kakak-beradik yang berebut saluran televisi, karena aa-nya ingin menyaksikan pertandingan sepakbola tim kesayangannya dan sang adik ingin menonton film kartun kesayangannya pula pada jam tayang yang bersamaan.
Aah….sebenarnya itu saat-saat yang kini membuatku merasa kesepian,” rintihnya suatu kali mengenang kisah-kisah kebersamaan mereka.
“Kenapa Tuhanku…. Engkau memisahkan mereka dariku? Jawablah aku. Aku sungguh tak mengerti maksud dari ini semua,” tanyanya kepada diri sendiri dengan derai airmata yang terus meleleh dari pelupuk matanya. “….Dan mengapa Engkau memberikan ujian yang berat seperti ini?” Tanyanya lagi berharap dirinya mendapat petunjuk dari Sang Maha Kuasa.
Bila sudah seperti itu, ia tidak perduli lagi apakah suhu malam atau siang begitu dingin atau panas, ia segera berdoa secara khusus memohon segala bimbingan dan petunjuk dari Tuhan. Ia lebih mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta dan mengadu sepuas-puasnya tentang segala beban dan sekaligus harapan yang menyelimuti dirinya. Ia pun terkadang menyadarkan dirinya sendiri bahwa itu mungkin bagian dari kesalahan dan dosa masa lalu yang mungkin telah diperbuatnya dan kini terlupakan. Di saat-saat inilah membuat ia lebih banyak berkontemplasi dan memikirkan tentang arti dan makna kehidupan. Ia lebih banyak mengingat namaNya di kala pagi, siang maupun petang. Setelah itu, pikirannya menjadi tenang kembali dan akan lebih arif menerima keputusanNya. Hari-hari berikutnya dijalani dengan lebih bersabar, bijak dan tenang menghadapi berbagai permasalahan.
Jawaban demi jawaban dari berbagai pertanyaan dalam dirinya terasa mulai terjawab bila ia selesai berdoa dan banyak-banyak menyebut NamaNya. Sering sekali ia berlama-lama bercengkrama kepada Tuhannya di awal pagi hingga terbit matahari sebelum berangkat mengajar, dan dihabiskannya waktu untuk kembali mendekatkan diri kepadaNya di sore hari selepas mengajar di sekolah-sekolah. Begitu seterusnya hal itu ia lakukan. Pelajaran-pelajaran berharga pun setiap hari ia petik tentang mengejar dan mengkoleksi kebajikan-kebajikan, ampunan dari kejahatan yang mungkin pernah dilakukannya, tingkatan derajat hidup di surga nanti, pemeliharaan diri dari godaan-godaan syetan dan perbuatan-perbuatan yang sia-sia.
            Ia kini telah mampu bersalin rupa dari kedukacitaan menjadi kegembiraan hati, kelemahan tubuhnya menjadi kekuatan, kemuraman hati dan wajah menjadi bercahaya, kelemahan dan kesemrawutan penampilan menjadi kegagahan dan kemegahan, melahirkan benci menjadi cinta, gelap hati menjadi terang, tergelincir kepada perihal mengumpat, mencela, dusta, dan berbicara si-sia menjadi terhindar daripadanya. Yang tak kalah syukur ia terima dari kontemplasi kepada dan mengingatNya adalah bertambahnya penghasilan dari banyak sumber pemasukan finansial. Karena ia kerapkali dimintai keterangan sebagai narasumber tertentu, karena pengalaman langsung yang ia alami sendiri merupakan pelajaran dan teladan bagi yang lainnya. Segal puji bagi Tuhan semesta alam Yang Telah Memberinya sebagian hikmah itu. Ia bertambah keyakinannya sekarang bahwa ternyata Tuhan itu sangat dekat, bahkan lebih dekat dari nadi lehernya. Banyak wawasan dan pembukaan tabir yang selalu ia lakukan dicatat, dibukukan dan diamalkan kepada orang lain. Karena ia takut bila tak membaginya kepada orang lain, maka ia tergolong cendikia yang yang celaka. Ibu Ningsih….oohh….Bu Ningsih; kau dulu -- dan kau kini!

0 komentar :

Posting Komentar