Senin, 08 Juli 2013

Fatsal 21 Time To Pay Back






Fatsal 21 Time To Pay Back

Berkumpulnya para raja dan beberapa punggawa kerajaan telah mencapai kata mufakat untuk menyerahkan tugas dan misi yang sangat berat ini kepada Ksatria Aga: Sang Pahlawan Penyelamat, Sang Pembebas dan ketiga ksatria mitranya. Karena berdasarkan pertimbangan atas perencananaan yang secara cerdik telah disusunnya demi perjuangan kemerdekaan berbagai kerajaan masing-masing serta menumpas kelaliman dan kebengisan Raja Ansibia Kejnat. Untuk tidak membuang kesempatan dan waktu yang mereka anggap sangat tepat dan dibantu kekuatan dan kemutakhiran teknologi, eXtremePower Riders merasa mendapatkan kehormatan itu.
            Satu misi telah mereka tunaikan dengan baik. Misi terakhir XPR adalah menyadarkan sang raja atas intervensi dan invasi brutal atau menumpasnya.
            Dalam pertemuan besar itu, Raja Aribi Dilwiba menitahkan kepada Profesor Cherpantulas dan Jenderal Zargi bersama seluruh tim kerjanya yang selamat untuk menekan tombol bom waktu yang mereka tentukan sudah mendekati hitungan mundur. Dari gambar layar monitor terpampang dengan jelas bagaimana seluruh boneka prototip yang menjadi tokoh-tokoh kerajaan berada pada posisinya di setiap kabin. Boneka-boneka tokoh itu telah berhasil mengelabui pihak pengawal dan penjaga kabin-kabin tahanan istana Kerajaan Tucapenbath. Sebuah revolusi pada kerajaan ini pun terjadi dengan berakhirnya kabin-kabin tahanan yang telah mereka pelihara selama beberapa waktu sebelumnya akan hancur tak bersisa. Berbagai ruang istana kini telah berada dalam pandangan mata para raja dan hampir tak sabar rasanya mereka menunggu detik-detik angka yang cukup besar terpampang hingga ledakan itu pun nanti berlangsung. Seperti detak dan degup jantung yang beriringan, mereka tanpa dikomando menghitung bersama-sama: sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, satu, dan…..nol! Meledaklah boneka-boneka itu hancur berkeping-keping. Ledakan itu pun membuat kocar-kacir dan bergelimpangan para pengawal dan petugas yang berada di sana, tewas.
            Getaran dan goncangan ledakan itu begitu dahsyat, sehingga tak ada yang bisa menyelamatkan diri darinya. Dinding-dinding kaca yang transparan dan berteknologi mutakhir dalam perancangan pertahanan dan keamanan ruang-ruang kabin tak mampu menahan kekuatan ledakannya. Berbagai sarana dan prasarana yang menjadi segala fasilitas di sekitarnya tak ayal lagi tersapu bersih. Kepulan asap dari api yang membakar, melahap, membumbung tinggi dan menyembul jauh ke atas salah satu sisi puncak istana yang sangat megah itu. Serpihan kaca, kayu dan batu yang menjadi dinding dan plafon terlontar dan berhamburan kian kemari. Pada layar monitor terdengar jeritan dan teriakan panik minta tolong melengking keras seolah-olah ingin menandingi keras suara retakan, benturan, dan hantaman puing-puing yang berterbangan. Bunyi sempalan runtuh dan roboh sisi bagian istana berdentum keras mengubur siap saja yang berada di bawahnya. Kepulan debu yang pekat bagaikan ingin menyelimuti tubuh mayat compang-camping dan terobek-robek bergelimpangan hendak beranjak tidur di pembaringannya. Sebuah pemandangan yang sungguh-sungguh tidak menguntungkan bagi siapa saja yang memilikinya dan akan seketika membuat geram dan naik pitam si empunya. Cukup lama ini berlangsung hingga dari kabin-kabin ruang istana lainnya orang-orang lari berhamburan ke luar mendengar suara ledakan beberapa kali. Mereka ingin mencari tahu asal dan sumber datangnya bunyi dahsyat tersebut. Tidak terelakkan lagi, sang raja yang mengaku dirinya seorang kaisar agung dan mulia pun lari ke luar dari kabin-kabin ruang pesta-poranya ingin mengetahui apa yang sedang terjadi. Bahkan ia sendiri pun tak mampu mencegah dan menolak kehancuran bukti sejarah sejak para raja pendahulunya secara turun-temurun hingga dirinya. Pun ia tak mampu berkata apa-apa lagi dengan sorot mata nanar penuh dendam dan kebencian terhadap siapa pun yang telah menodai sejarah dan peninggalan nenek-moyangnya itu. Meskipun dalam keadaan yang masih sempoyongan, tangannya mengepal kuat seolah-olah ingin meninju dan menghantam apa pun yang ada di sana.  Tubuhnya bergetar dan berguncang hebat, bak sebuah gunung berapi yang sangat besar ingin menumpahkan lahar api dan lava, menahan segala amarah dan kemurkaan. Wajahnya memerah padam dengan mata melotot menyeramkan bagaikan ingin menanduk pelaku dan memelantingkannya. Mulutnya menggeram, lalu berteriak keras seperti halilintar yang ingin menyambar tingginya gedung dan pepohonan.
            Sebuah kebanggaan dulu secara cepat berganti menjadi kenistaan kini.
            Menyaksikan itu semua, para raja dan punggawanya memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Adil lagi Sangat Keras dan Pedih AzabNya, kemudian bersorak-sorai seperti menandai berakhirnya tradisi dan warisan turun-temurun kebiadaban dan tak berperikemanusiaan Kerajaan Tucapenbath. Kepuasan, kegembiraan dan kebahagiaan mereka seperti terbayar dengan pemandangan yang berlangsung beberapa detik saja itu. Kritikan, protes, kecaman dan hujatan terhadap kelaliman dan kebengisan yang pernah mereka alami di sana terlupakan seketika bagaikan kerinduan pengelana yang kini telah kembali ke tanah airnya. Sakit hati, dendam, dan pembalasan seperti sirna seketika bagaikan panas setahun tersiram hujan sehari. Mereka kembali bersalaman dan berpelukan satu sama lain sambil memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan mereka.
            Detik-detik itu sangat dimanfaatkan oleh Sang Ksatria untuk memohon diri kepada para baginda raja dan khalayak untuk melanjutkan misi berikutnya. Mereka mengiringi XPR dengan berbagai doa selamat agar berhasil menjalankan misi mulia ini. Mereka melambaikan tangan saat berpisah dengan kami. Teriakan dan tepuk tangan kembali bergema tak putus-putusnya sesaat kami menuju pesawat yang akan membawa kami ke medan pertempuran, bagaikan perpisahan terakhir yang menyedihkan, dan tak akan bertemu lagi dengan kekasihnya. Kami melangkah beriringan dan pantang untuk membalikkan badan atau kepala sebagai tanda pantang menyerah dan berjuang sampai titik darah yang penghabisan. Kami memang akan mempertaruhkan jiwa dan raga dalam peperangan besar kali ini, karena kami menyadari betapa hebat dan dahsyatnya musuh-musuh yang menjadi lawan kami, di samping jumlah pasukan angkatan perang yang begitu dikenal dan ditakuti pihak lawan mana pun. Menurut mereka, kami bahkan seperti masuk ke kandang singa atau memasuki ke sebuah tempat yang sangat terkenal keangkerannya! Tapi kami tak gentar. Kami sudah bertekad, apa pun akan menjadi taruhannya, meskipun nyawa harus berkubang, mati sebagai pahlawan dan pembela kebenaran. Hidup atau mati sebagai seorang ksatria jihad. Jihad kami bukan tanpa mata, bukan tanpa telinga, bukan pula tanpa rasa. Jihad kami bukan sekedar perang di medan laga, jihad kami berlandaskan hak yang hakiki, bahkan kami siap menjadi mentor baca-tulis yang tulus demi memberantas buta hurup dan tulis seorang peserta didik sebagai sebuah jihad. Tidakkah seseorang berjuang membantu si tak mampu belajar dan tak mampu mencari makan disebut sebagai jihad? Tidakkah seseorang berpuasa di hari-hari tertentu untuk menaklukkan nafsu dan musuh terbesar dalam hidupnya disebut sebuah jihad? Kami tidak menerjemahkan pada sebuah makna, lebih dari itu jihad kami memiliki dimensi dan proporsi di zamannya.
            Di muka pesawat aku terlebih dahulu memformat pesawat  dengan kursi satu-dua-satu. Kami beranjak masuk ke dalam pesawat tanpa merubah wujud. Aku mengambil posisi di belakang kemudi pesawat. Ksatria Satria berada di posisi kursi belakang kanan, lalu Ksatria Kemal berada di posisi kursi belakang kiri, dan Ksatria Nandya duduk di kursi belakang. Pesawat telah kuaktivasikan dan siap meninggalkan landasan luncur. Kami bergerak naik ke atas dengan kekuatan penuh. Di luar kilatan cahaya pergerakan kecepatan pesawat terlihat begitu dahsyat bagaikan sambaran petir.
            Setelah pesawat keluar dari dasar di bawah alam ini, kami langsung menuju ke wilayah sasaran masih dengan kekuatan penuh, Kerajaan Tucapenbath.
            Di sepanjang perjalanan melintasi beberapa wilayah kerajaan masih terlihat kelompok patroli sekitar empat lima orang tentara bercagak dengan kendaraannya. Mereka tetap berpatroli untuk mengawasi setiap wilayah yang sedang dibangun kembali oleh para tahanan yang menjadi pekerja paksa. Dalam sekejap kami telah mendekati ujung wilayah perbatasan Kerajaan Tucapenbath dan bekas kerajaan tetangganya.
“Kita telah memasuki wilayah Kerajaan Tucapenbath,” ujarku kepada ketiga mitraku. “Saatnya bersipa siaga,” lanjutku lagi.
“Siap, Ksatria,” sahut mereka bertiga.
Areal istana membentang dari utara hingga ke selatan dan dari sebelah barat hingga ke timur membentuk palang bangun seperti simbol +. Pada setiap sudut bangun sembilan puluh derajat dilingkupi dengan seperempat lingkaran. Sehingga bentuknya seperti sebuah lingkaran penuh yang ditutupi dengan simbol tambah tersebut yang menjorok ke luar. Setelah memasuki kawasan istana kerajaan itu, pesawat kami arahkan menuju sebuah areal di sebelah selatan yang sangat strategis yang berjarak kurang-lebih lima jenso. Jenso merupakan sebuah ukuran jarak yang hampir serupa dengan kilometer di bumi. Tujuanku agar mudah mengakses dalam keadaan darurat sekali pun. Kami memposisikannya sedemikian rupa dan merubah modus pesawat ke level dua. Kini pesawat kami sudah tak nampak lagi keberadaannya di hadapan mereka. Sementara asap hitam mengepul tinggi ke atas dan kobaran api dari kabin-kabin di ruang tahanan masih menjilat-jilat ke sekitarnya. Orang-orang masih berhamburan lari tunggang-langgang. Para tentara pasukan sebagian terus sibuk berjaga-jaga, sebagian memadamkan api, dan sebagian lain menambah pengawalan lokasi-lokasi strategis. Semua unit pasukan mulai terdengar dan nampak berdatangan dari berbagai penjuru. Meskipun konsentrasi mereka terbagi dua: kebakaran kabin-kabin ruang tahanan tersebut dan kemunculan kami; mereka sangat teratur dan cakap membagi tugas. Untuk menghadapi kepungan pasukan tentara yang berjaga-jaga dan penyerangan mematikan, aku memberi komando di dalam pesawat kami.
“Baiklah, kini saatnya kita berubah,” kataku.
Masing-masing dari kami melakukan perubahan pada Modus Empat, yaitu modus terakhir ketiga ksatria tersebut. Pada modus ini mereka akan dapat melakukan metamorfosa sesuai keinginan mampu berubah wujud dan bergerak sesuai keinginan daya alam pikirannya. Lalu kami turun dan langsung disambut berondongan senjata dari para tentara yang berjumlah lima belas orang. Di luar dugaan kami, mereka telah bersiap siaga mengantisipasi kedatangan kami sesuai titah sang raja dan jenderalnya.
Kami melompat berterbangan ke sana dan ke mari untuk menghindari serangan di areal jalan berpepohonan menuju dekat istana. Kami satu-persatu berpencar dan mengambil posisi menyebar.
Ksatria Satria melompat ke arah barat sambil menghindar tembakan senjata mereka yang sangat deras. Ia menghadapi tiga orang tentara yang mengepungnya. Desingan peluru terus bertubi-tubi mengarah kepadanya sehingga membuatnya tubhnya melenting menuju ke arah penembak itu. Lalu ia melompat sambil bersalto dan mengeluarkan sebuah tendangan keras.
Dugg!” Bunyi tendangan telaknya mengarah ke dada yang tak bisa terleakkan lagi, sehingga membuat tentara itu terpental jatuh dengan luka dalam yang sangat parah.
Ugghhk…..Egghhk…..” Suaranya mengaduh tak jelas dengan darah segar keluar dari mulut dan bibirnya.
Seorang temannya kembali menembakkan senjata beberapa kali dari arah samping kanannya. Ia kembali melompat ke depan dan ke belakang, hingga ia menemukan posisi lonjakan ke arah si penembak sambil melakukan lompatan terbang dan tepat berdiri di atas kedua bahunya. Ia mengayunkan kedua kepalan tangannya mengarah ke muka sambil melompat. Sang tentara terhempas mundur, langsung dimanfaatkan dengan tendangan melenting kedua kaki mendarat di dada. Hujaman kedua kepalan dan tendangan kedua kaki berturut-turut membuat lawannya terhempas bagaikan sehelai kapas dan ambruk terlentang di areal rerumputan.
Egghkkk!” Tentara kedua menggeregak dan mendelik menahahan rasa sakit dan langsung tewas.
Melihat kedua rekannya mati dengan sangat mengenaskan, tidak membuat surut dan gentar temannya yang terakhir. Ia malah menyeruduk dan memberondongkan senjata dengan penuh nafsu  liarnya. Ksatria menyadari serangan kilat kali ini tidak ingin membuatnya terlambat. Sebelum ia menapakkan kakinya di rerumputan, ia melentingkan tubuhnya ke arah yang datang dari sebelah kirinya. Pada saat yang tepat ia telah berada di atas dan tak ingin melepaskan momen yang baik, diturunkan dan dipijakkan kedua kakinya dengan sentakan sepenuh tenaga. Tentara ketiga ini kehilangan keseimbangan dan terjerembab jatuh dengan kasarnya di atas rerumputan.
Brrrugggh!
Secepat kilat sang ksatria ini melompat ke belakang beberapa kali dan tepat mendarat di atas tubuh tengkurap yang masih berusaha untuk bangun, tapi sudah terlambat. Sambil berjongkok, kedua tangannya meraih kepalanya dan memuntir kepala lawannya hingga….
Krrreek!” Terdengar suara leher patah.
Ia pun tak bisa bernafas lagi.
Di tempat lain berjarak setengah nehong atau setara dengan limaratus meter kurang-lebih, Ksatria Kemal melakukan lompatan-lompatan terkadang dibarengi dengan pukulan dan tendangan salto sangat keras tidak jauh dari tempat kami mendarat tadi.
            Gdebugk!” Bunyi jatuh lawannya terjungkal dan langsung tewas seketika.
            Kini tinggal tiga tentara berlari dan melancarkan tembakan brutal ke sana dan ke mari mendekatinya. Serangan ini memang cukup merepotkan, namun ia pun tidak ingin kalah gesit melinting dan berkelebat secepat kilat. Ketiga orang tentara itu membentuk segitiga sangat rapat hampir berbenturan. Ia pun turun dari lompatannya sambil berpijak di ketiga senapan yang beradu. Kaki kanan menendang keras muka yang menghadapnya dengan ujung sepatu bajanya yang berujung belati keluar secara otomatis, lalu melayangkan tendang lagi ke samping kanan dengan sisi sepatu baja bergerigi. Sementara pada saat yang bersamaan kaki kirinya dengan sisi bergeriginya menendang dan menghempaskan ketiga orang tersebut bersamaan.
            Errrghk….hhhekk!” Erang ketiga tenatara itu bersamaan dengan muka terkena tusukan dan sayatan belati dan gerigi tajam sepatu baja sang ksatria.
            Keempat orang tentara itu tewas mengenaskan dengan posisi sorang tentara menyamping dan ketiganya terlentang dan terkapar dengan darah berhamburan di muka dan rerumputan.
            Sementara di pertarungan lain Ksatria Nandya di ujung paling kanan areal atau sebelah selatan, terlihat melakukan pukulan, tendangan dan tandukannya.
            Tubuhnya kembali melompat dan melenting dengan gerakan-gerakan salto secepat kilat. Ketiga tentara yang telah lemas terkena pukulan dan tendangan masih berusaha menyerang dan mendekat dengan tembakan senjata ditambah seorang tentara yang bangkit dari terduduknya pun menembak dan memberondong. Mereka bermaksud mengepung sang ksatria dengan senjata terhunus dengan cepat, namun apa daya ia segera merunduk dan berjongkok dan melakukan tendangan dahsyat kaki kanannya. Kaki kiri dijadikan poros perputarannya dan kedua tangan digunakan sebagai pendorong, shingga ia berputar layaknya sebuah gasing yang cepat. Seketika kaki kanan berlapis baja dengan belati dan bergerigi tajam menyayat dan menusuk kedelapan kaki mereka hingga bertekuk lutut.
            ““Errrghk….hhhekk!
            Keempatnya memegang kaki dan betis berlumuran darah tercabik-cabik dan masing-masing senjatanya telepas jatuh di bawah lutut mereka. Namun dengan sisa-sisa tenaga, mereka hendak meraihnya. Tapi sudah terlambat, karena sang ksatria sambil membungkuk telah mendahului dengan sebuah tendangan ke arah kepala satu-persatu. Hasilnya, badan dan kepala lunglai mereka terhempas ke samping dan roboh dengan tusukan dan sayatan pada nadi leher mereka.
            Errrghk….hhhekk! Brrrugggh!
            Mereka pun tewas seketika secara bersamaan. Kembali darah meleleh deras dari leher ke sekurjur tubuh mereka, memancar dan berhamburan ke rerumputan.
            Keempat tentara yang kuhadapi ini terlihat sangat beringas dan bernafsu membunuhku dengan rentetan tembakan bertubi-tubi ke arahku. Aku tidak diberikannya kesempatan untuk menapakkan kaki pada setiap lompatanku. Bahkan saatku berada di udara, mereka pun tak segan-segan memberondongkan peluru ke sekujur tubuhku. Namun, aku pun tak pernah setengah-setengah mengerahkan tenagaku melenting, bersalto dan berputar. Hingga aku mendapatkan sebuah ruang dan momen yang tepat untuk melonjakkan kakiku. Desingan peluru terus menghampiriku seolah-olah tak akan ada habis-habis isi peluru senjatanya dan aku tak ingin satu peluru pun menggores di tubuh bajaku ini. Sambil melompat secepat kilat ke arah mereka dan mereka pun berlari ke arahku berjajar, aku menghantam mereka dengan sebuah tendangan keras dari kanan ke kiri kepada dua orang tentara di sebelah kanan. Mereka pun terhuyung kehilangan keseimbangan dengan senjata terlempar jauh. Kembali aku menyapu kedua wajah mereka dengan tendangan dari kiri ke kanan. Mereka terjatuh, roboh.
            Gdebugh!” Terdengar bunyi ambruk tubuh mereka dengan muka bengap bersimbah darah.
            Begitu aku tiba di tanah rerumputan, kulonjakkan kembali kedua kakiku melompat sambil menghujamkan tendangan sekuat tenaga sekaligus ke arah dada dua tentara lainnya yang sudah bersiap-siap menyerangku. Saat mereka sempoyongan, kuberikan masing-masing satu hujaman pukulan deras ke wajah mereka.
            Urrgh….khhhhekkk!
            Keempat tubuh tentara itu pun tergeletak seketika, tak bernyawa lagi.
            Ketiga mitraku pun kulihat telah selesai mengalahkan semua lawanya. Mereka menengok ke arahku dan serempak melompat untuk berkumpul.
            Sebelum tentara lain bertambah banyak berdatangan ke arah kami, aku mengajak mereka berbaris berjajar dan memanggil senjata masing-masing. 
            “Dengan memuji Nama dan KekuatanMu, datanglah senjataku!” Kami berempat meneriakkan kata-kata panggilan senjata kami.
            Dengan secepat kilat sebuah senjata meluncur dari suatu arah dan mencapai genggaman kami. Sebuah senjata bagaikan sebuah Kujang menghampiri dan kuraihnya. Ksatria Satria kini menggenggam sebuah senjata mirip Mandau Berperisai. Ksatria Kemal sedang menggenggam sebuah senjata mirip Keris. Terakhir Ksatria Nandya menggenggam sebuah senjata mirip Pedang Jenawi.
            Dengan sebuah senjata masing-masing kami melompat tinggi ke atas. Kami mencari posisi tepat berada di atas mereka dan menuju pusat berbagai barisan angkatan perang yang sedang mengarahkan senjata. Mereka mulai menembakkan senjata mutakhir: sensor bertenaga laser dengan kecepatan maksimal. Kami berputar cepat menghindari serangan tersebut hingga terlihat seperti asap tipis. Serangan laser tak dapat menembus kami, karena wujud kami telah berbentuk seperti gas berasap. Lalu bersalto di udara beberapa kali, dan berbalik menukik dengan senjata terhunus masing-masing ke bawah kerumunan pasukan dalam jumlah besar.
Setelah radius dalam kalkulasi telah sesuai, aku memberi komando untuk membalas menyerang.
“Serang!”
Dengan sebuah formasi tukikan menyerang, kami julurkan senjata ke arah bawah di mana mereka berkumpul.
Dwrruarrr!
Kilatan cahaya hijau kekuning-kuningan dan biru kemerah-merahan dari senjata kami menusuk ke bawah dan menghantam titik pusat barisan. Mereka seketika bergelimpangan dan terpelanting kian ke mari. Mulai dari titik pusat serangan hingga menyebar ke segenap sisi para tentara, persenjataan dan kendaraan terpelanting menghasilkan bunyi dentuman, jeritan dan teriakan manusia kesakitan.
Blwuuuaaaarrrh!
            Ooooouuuwwwwhhh……
            Jeritan panjang para tentara yang tekena sambaran dan ledakan dari titik pusat penyatuan keempat senjata kami menghempas dan mencabut nyawa mereka seketika. Penyatuan serangan ini bagaikan lontaran bom atom menghentak dan mengoyakkan permukaan tanah yang mereka injak. Getaran dan goncangan dahsyat bagaikan penebaran radiasi senjata kimia dan senjata biologis. Dengan serangan kami ini, sudah bisa dipastikan tak akan ada yang bisa selamat darinya.
            Setelah satu serangan dahsyat kami lakukan, kami mengambil formasi untuk menjaga jarak dari kepulan asap akibat ledakkan tersebut. Masih melayang di udara, kami bersalto mencari tempat yang agak jauh dan lebih aman. Bersamaan kami menapakkan kaki kami di permukaan tak jauh dari kepulan asap dan ledakan tersebut, sambil menunggu asap yang mulai menipis untuk mengamati jarak pandang kami.
            Sebelum berapa lama kami berdiri di sana dengan kabut kepulan asap yang mulai mereda, tiba-tiba tubuh kami seperti terkena terjangan setrum berkekuatan tinggi. Aku terpelanting jauh membentur salah satu dinding benteng istana. Kepalaku agak sedikit berat dan pandanganku agak sedikit mengabur. Aku tak begitu jelas memperhatikan ketiga ksatria lainnya, seingatku mereka berteriak mengaduh sangat keras. Tiba-tiba, kulihat mereka pun terhempas ke berbagai penjuru.
            Hwua-ha-ha-ha-ha……..! Hwua-ha-ha-ha-ha-ha-ha!!………Hwua-ha-ha-ha-ha-ha!!!”
Lalu terdengar gelegar tawa panjang yang begitu keras membahana. Ternyata, di tempat kami tadi berdiri, telah berjajar sekitar tujuh orang dengan satu orang bertolak pinggang, Raja Ansiabia Kejnat!
            Kurasakan tulang-tulang tubuhku terasa seperti ingin remuk, sehingga aku pun sedikit meringis tatkala hendak bangkit dari lontaran itu. Sambil aku berusaha bangun dan berdiri, kudengar suara dari arah itu kembali.
            “Kini siapa pun engkau tak akan bisa selamat dari Pukulan Kilat Seribu Jenso! Itu salah satu andalan serangan Tiga Serangkai ciptaanku.”
            Hwua-ha-ha-ha-ha……..! Hwua-ha-ha-ha-ha-ha-ha!!………Hwua-ha-ha-ha-ha-ha!!!”
            Kembali kudengar gelegar tawa itu seolah-olah ingin memperlihatkan kemenangan dan keunggulan di pihak mata sang raja. Di samping, tubuhku memang sangat lelah setelah hantaman tadi. Lalu ia pun berkata lagi setelah selesai tawanya.
            “Kalian makhluk-makhluk asing pikir merasa hebat di sini? O-o-o-o, nanti dulu, nanti dulu……..!. Kalian boleh mampu menghancurkan kabin-kabin ruang tahananku……..!! ………..dan menghancurkan seluruh pasukan angkatan perangku!! Tapi tidak buat…..aku!!!
            Suara sang raja semakin keras menghardik di telingaku, dan sambil memperlihatkan sorotan mata dan wajah aslinya di mataku:  kekejaman, kebuasan dan kelaliman yang sudah sangat terkenal itu. Dalam keterhuyunganku ini, aku sempat melihat ketiga rekanku mencoba bangkit dengan seluruh kekuatan tenaga mereka.
            “Sekarang….biar kalian berempat tidak mati penasaran di alam kami, kuizinkan kalian memperkenalkan diri kalian, heh!” Perintahnya lagi agak menghina kami.
            Setelah menunggu kami tidak bereaksi memberikan kata-kata apa pun, akhirnya ia memberi isyarat kepada tiga serangkai untuk menyerang kami kembali. Dan pertarungan pun tak terelakkan. Tiga Serangkai merasa telah berhasil menjatuhkan kami, kembali mengamuk dengan buas dan melancarkan serangan demi serangan kepada kami berempat. Meskipun kami didera serangan bertubi-tubi, namun kami masih bisa berkelit dan menghindar. Kami telah mempelajari jenis dan bentuk serangannya kali ini dan terlihat berbagai serangannya hampir total meleset dan tidak mengenai sasarannya. Tentu saja, hal itu membuat mereka bertambah geram dan membabi buta, sehingga segala serangan dahsyatnya tidak efektif untuk kami berempat. Bahkan tenaga kami telah semakin pulih, meskipun harus berguling, melompat, bersalto, atau pun melenting, karena secara praktis mereka belum bisa menandingi kami. Melihat tubuh kami semakin bugar, pun karena kami tidak melakukan serangan balik kepada Tiga Serangkai tersebut, sang raja memerintahkan Jenderal Tansulbahsa menyerang maju. Dengan cepat, sang jenderal memerintahkan ketiga anak buahnya maju serentak dengan senjata mutakhir mereka, menambah serangan bertubi-tubi kepada kami. Meskipun begitu serangan ini masih dapat kami tangani dengan cukup mudah. Kini hanya tinggal raja berdiri memperhatikan pertarungan kami.







Ksatria Satria Versus Jenderal Tansulbahsa

            Kebugaran Ksatria Satria telah mencapai stamina prima kembali. Ia langsung mengambil alih kedatangan Jenderal Tansulbahsa dengan berbagai serangannya. Pertarungan duel ini menjadi pertarungan maut yang seimbang, karena sang jenderal memiliki banyak keahlian sangat tinggi. Sang jenderal dengan pakaian kebesaran seorang pimpinan angkatan perang mampu melompat terbang dan menerjang sang ksatria dengan berbagai jurus tendangan dan pukulan. Sang ksatria pun harus mengejar ke udara, sehingga seringkali pertempuran berlangsung secara full contact di sana. Hingga saat ini belum ada satu jurus pun dari keduanya yang berhasil menjatuhkan lawannya. Terlihat keduanya saling mempelajari kelemahan masing-masing.
Setelah saling beradu di udara dan sama-sama terjatuh bergulingan di atas rerumputan, sang jenderal dengan kekuatan penuh, sambil bangkit dan berlari cepat dari rerumputan berlawan arah, melayang di udara menuju sang ksatria tersebut. Ksatria Satria pun serentak bangkit dan berdiri. Seperti orang berlari di udara, sang jenderal dengan satu kepalan tangan kanan diacungkan ke depan dan kepalan tangan kiri di samping dada, sementara sang ksatria menyilangkan kedua tangannya di depan dada bermaksud hendak menangkis tendangan atau pukulan ke bagian depan, namun salah memprediksi arah gerakan rahasia itu. Sang jenderal berhasil menyarangkan jurus Dua Tendangan Maut Beruntun sambil membelakangi sang ksatria: kanan dan kiri tepat di punggungnya. Spontan saja sang ksatria jatuh tersungkur ke rerumputan dan melesak ke permukaan tanah kerasa sekali. Tubuhnya terasa sakit sekali, namun ia segera berbalik dan bangkit. Sang jenderal berdiri dari arah berlawanan yang tidak terlalu jauh berkata.
“Ternyata, kau bukan apa-apa buat aku manusia baja!” Hinanya sambil tersenyum sinis dan membanggakan dirinya.            “Ayo! Kerahkan lagi yang kau miliki, hey makhluk asing!!” Tantangnya lagi kepada Ksatria Satria.
Sang ksatria tidak berkata sepatah pun, ia kini telah mengetahui satu kelemahan yang akan ia lancarkan pada saatnya nanti. Ia harus lebih bersabar menghadapinya dan tidak terbawa nafsu, begitu batinnya memperingati dirinya sendiri. Kini ia harus lebih berhati-hati dengan kemungkinan serangan rahasia yang dimiliki sang jenderal. Sang jenderal sebenarnya dalam hati pun memuji kekuatan manusia ini. Seharusnya orang ini sudah terkuras dan terkapar dengan tendangan beruntunnya tadi, katanya di dalam hati. Ia pun terus berpikir untuk merobohkan manusia bertubuh baja satu ini.
Kembali sang ksatria melancarkan serangan sambil melompat bersalto beberapa kali untuk mendekatinya. Sang jenderal tidak mau kalah ia melompat tinggi satu kali ke udara dan dengan kecepatan matanya menemukan satu titik di momen dan ruang yang tepat pula, lalu menukikkan kakinya di kedua bahu sang ksatria dan berpijak sambil secepat kilat mengaitkan kedua kaki di lehernya. Gerakan berikutnya ia melentingkan tubuhnya menggapai kedua kaki sang ksatria sambil mengunci kaki di leher sebagai pengait dan mengeluarkan jurus Pukulan Palu Godam menghantam kedua sisi paha kanan dan kiri dengan sangat keras. Dengan melepas kaitan kaki di lehernya, ia melenting lagi dan bersalto, lalu berpijak gagah di rerumputan. Sementara sang ksatria terlonjak dan terhempas tubuhnya bagaikan sehelai kapas nan sangat ringan dengan dada membentur ke rerumputan dan terperosok ke kedalam tanah, menyusul kepala menengadah ke atas, lalu kedua kaki menjuntai lemah. Separuh tubuhnya masuk ke dalam lubang seolah tak bergerak dan tak berdaya akibat hantaman dirinya ke dalam tanah.
Sang jenderal kini tersenyum puas mengetahui lawannya telah roboh dan pasti siapa pun dalam kondisi seperti ini tak akan sanggup bertahan darinya, mati. Tubuh sang ksatria tak bergerak sama sekali di bawah lubang sana, hanya kaki dan kepalanya saja yang masih terlihat menyangkut dan tergolek. Jenderal mengusap kedua tangannya dengan santai, sejenak memperhatikan tubuh terkapar tak bergerak itu dari jarak yang cukup dekat dan membalikkan badannya berjalan kembali ke arah rajanya ingin melaporkan kepada sang paduka. Namun….setelah beberapa langkah…..
Tiba-tiba, kaki itu perlahan bergerak, dahi kepala merunduk dan merapat ke tanah itu seolah-olah ingin menarik nafas panjang dan perlahan kedua tangan naik ke atas untuk mencari pijakan untuk mengangkat tubuhnya. Sambil telungkup dan dengan menggunakan kedua tangannya, tubuhnya melentingk ke belakang dan berdiri di ujung sisi lobang pada kakinya, tegap. Tidak satu anggota tubuh pun yang terluka, kecuali tanah dan rerumputan yang segera ia bersihkan dari sekujur tubuhnya.
“Hey, aku belum selesai, dan baru akan memulainya!” Bentak Ksatria Satria mengagetkan orang yang dimaksud.
Ia memalingkan mukanya ke belakang mencari arah suara itu, tentu saja bagai disambar sejuta petir dan dideru badai, tubuh sang jenderal itu menahan kaget, karena melihat kenyataan sangat jauh di luar dugaan dan nalarnya. Gila! Sungguh gila makhluk ini masih bisa hidup!!! Begitu keluh bercampur heran dalam hatinya. Namun, ia segera menyembunyikan keterkejutan dan keheranannya itu.
Ohh!? Kau ingin merasakan mampus yang kedua kalinya, ya?!” Ejeknya sekali lagi sambil tersenyum sinis mengembang.
“Mari maju ke sini, ayolah…..!” Ejeknya lagi untuk membangkitkan amarah dan nafsu lawannya sambil bergaya seperti seorang bapak yang sedang mengajarinya anaknya berjalan.
Kali ini sang ksatria tidak terpancing dan malah ia mencoba sangat tenang dan pasti sambil berkata.
“Tidak. Aku yang ingin memberitahu kamu, betapa nyamannya semua seranganmu ditubuhku. Aku seolah-olah seperti dipijat oleh tukang urut tadi,” balik sang ksatria memancingnya.
Benar saja, sang jenderal langsung menampakkan muka yang merah padam, karena menahan amarah dan geram. Lalu, ia sudah tak sabar ingin menyelesaikan dan mencabik-cabiknya kali ini. Secepat kilat ia mengeluarkan senjata mirip seperti sebuah pistol dari balik seragam perwiranya dan menerjang sambil mengatakan sesuatu.
“Terimalah kematianmu yang terakhir, hey bedebah!”
Ia sudah memperkirakan dan memikirkan sebelumnya, sang ksatria tak mau kalah cepat gerakannya kali ini. Lalu ia meneriakkan kata-kata panggilan senjatanya.
“Dengan memuji Nama dan KekuatanMu, datanglah senjataku!”
Dengan cepat ia menangkap senjata mirip Mandau Berperisai, melompat dan menerjang ke arah sang jenderal.
Sambil keduanya lompat menerjang, sang jenderal membidik dan menembakkan pistol laser mautnya, tapi sang ksatria cepat menangkis dengan senjatanya dan sekaligus membalikkan laser itu ke arah sang jenderal. Tak pelak lagi, tubuh sang jenderal yang sudah sangat dekat itu meledak dan hancur berkeping-keping dan berhamburan kian ke mari. Ia pun tewas mengenaskan.
Ksatria Satria kembali berdiri tegak menengadah ke angkasa, mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menyapu kedua wajahnya, karena berkat bantuanNya, satu manusia zalim telah binasa oleh senjata dan kesombongannya sendiri.
Ia melihat ketiga rekannya pun telah berhasil merobohkan lawan-lawan mereka. Ksatria Kemal telah membunuh Tiga Serangkai yang sangat menakutkan itu. Ksatria Nandya telah melumpuhkan ketiga letnan yang sangat tangguh, dan kini ia hendak bergabung ke Ksatria Nandya.


Ksatria Kemal Versus Tiga Serangkai
Begitu pun Ksatria Kemal yang kini sedang menghadapi tiga orang yang menjadi andalan utama sang raja, staminanya benar-benar telah kembali berada di puncak, setelah ambrol terkena kehebatan jurus Pukulan Kilat Seribu Jenso. Mereka bahkan oleh penciptanya sering disebut-sebut dan diproklamirkan sebagai sebuah ciptaan mahakarya terbesarnya di abad alam raya ini, Tiga Serangkai. Harus diakui memang kehebatan mereka saat Sang Ksatria ikut bertarung tadi bersama ketiga mitranya. Tapi, kali ini ia harus menghadapinya sendiri. Meskipun begitu, ia tak pernah gentar mendengar kesohoran namanya dan kehebatan ketiga orang ini. Tiga serangkai selalu kompak melancarkan pukulan dan tendangan serempak, namun ia masih mampu mengatasinya dengan baik.
Hingga detik ini mereka belum menggunakan jurus pukulan tersebut. Mereka terlihat asyik memainkan tendangan-tendangan maut yang berakibat fatal bila terkena sodokan kaki mereka bersamaan. Tendangan demi tendangan belum ada yang membuahkan hasil dalam merobohkan sang ksatria, tapi sebaliknya sang ksatria dalam posisinya bersama mereka berada di udara berhasil mendaratkan sebuah tendangan beruntun satu-satu ke ketiga orang itu.
Brugghh! Brugghh! Brugghh!” Bunyi tiga tendangan beruntun menghenyakkan ketiganya dan ambruk mencium rerumputan.
Sang ksatria kini telah mendarat di atas rerumputan lagi.
Mereka langsung bangkit dari rerumputan secepat kilat sambil sedikit terhuyung dan menahan pedih di dada mereka akibat tendangan tadi. Setelah saling berpandangan satu sama lain, mereka membentuk sebuah formasi segitiga: dua berada di depan dan satu di belakang. Masing-masing memposisikan tangan kanan ditekuk membentuk sudut empat puluh lima derajat di depan wajah dengan jemari terkepal ke atas, sementara tangan kiri diposisikan di bawah pusat dengan jemari membentuk sodokan pedang dengan telapak tangan berada di atasnya. Kaki mereka memasang kuda-kuda yang sangat lentur dan kokoh. Inilah yang disebut formasi jurus Pukulan Kilat Seribu Jenso. Sambil berteriak dan lari melompat, mereka hendak menerjang sang ksatria.
Heyyaaa!!!
Sang ksatria menyadari akan datangnya serangan andalan itu tidak membuang waktu, langsung membuat pertahanan dengan menyilangkan kedua tangan setinggi dada dengan menempatkan tangan kanan di depan. Ia pun melompat dan menerjang ke arah datangnya ketiga serangan itu. Ia berlari cepat hingga ke udara, lebih tinggi, lebih tinggi lagi, dan lebih tinggi lagi hingga berada di atas mereka setengah nehong. Peluang ini ia tidak lepaskan untuk melakukan tendangan beruntun satu-satu ke ketiga orang itu. Diarahkannya dengan tepat pisau belati dan gerigi tajam sisi sepatu bajanya, sehingga….
Gdebugk!” Bunyi jatuh ketiga lawannya terjungkal.
Dan sang ksatria mendarat di belakang mereka yang tengah terjerembab. Ia secepat kilat membalikkan tubuhnya untuk mengantisipasi dan melanjutkan serangan berikutnya.
Ketiga orang itu melenting bangkit kembali dengan leher dan dada masing-masing terkoyak dan tersayat hebat sambil mengucurkan darah segar. Kini mereka cepat berbalik seolah-olah tidak merasakan sakit sedikit pun akibat serangannya barusan, dan malah langsung membuat formasi baru dengan berangkulan tangan, melingkar dan berputar cepat seperti gasing. Ia tak sempat melihat kelebat serangan yang baru saja dilakukan ke arahnya begitu keras menghantam dan menghujam ke dadanya. Ia jatuh terlentang dengan dada terasa tertindih gundukan bebatuan dan cadas yang padat dan panas. Sangat sesak rasanya.
Mereka tidak memberi peluang sang ksatria untuk berdiri. Tanpa melepaskan rangkulan tangan, mereka kembali melingkar dan berputar cepat seperti gasing, kali ini tidak hanya menghujamkan, tapi juga menumbukkan, melesakkan dan membenturkan tendangan super cepat dan keras ke muka, dada dan perut. Sekali lagi menderu ke atas dan menghujamkan, menumbukkan, melesakkan dan membenturkan tendangan super cepat dan keras ke ketiga bagian tubuh sang ksatria. Sehingga tubuhnya semakin terbenam melewati rerumputan dan menerobos masuk ke dalam tanah. Mereka seolah ingin mengubur lebih dalam. Mereka merasa belum puas dengan kedalaman itu, dengan melakukan jurus yang sama, jurus Tendangan Gasing Berputar yang sangat dahsyat hasilnya, naik kembali ke atas. Namun lonjakan mereka agak sedikit ke atas sekitar lima nehong lebih tinggi dari lompatan sebelumnya.
Sementara sang ksatria telah benar-benar amblas tak bergerak tubuhnya tak bergerak beberapa saat. Dadanya semakin sesak dan terasa padat dan panas bernafas. Kedua tangan dan kakinya hanya terjuntai lemas ke atas, kecuali kepala hingga pergelangan kaki yang masuk ke dalam tanah menembus rerumputan. Pandangan matanya mulai mengabur tak jelas, namun ia masih melihat kelebatan cahaya secara samar-samar, dan tersentak dalam hatinya dengan tendangan dahsyat yang seakan-akan kehebatannya melebihi jurus Pukulan Kilat Seribu Jenso. Dikumpulkannya seluruh tenaga yang tersisa dari kedua tangan hingga kedua kakinya. Ia tak ingin berakhir konyol seperti ini, apalagi mengharapkan bantuan terhadap dirinya. Ia berpikir ia harus cepat bangkit sekarang, sebab ia tak ingin mati sekarang saat ini. Semangat itu membuatnya segera melentingkan tubuhnya dengan dibantu hentakan kedua kakinya dari atas ke bawah, tubuh dan kedua tangannya mulai melenting dan melompat ke depan. Saat itu pula tepat dengan kelebatan jurus tendangan tersebut. Waktunya hanya berbeda sekitar satu detik saja.
Jurus tendangan itu mengenai lubang kosong, karena di luar dugaan mereka lawannya telah melenting telebih dahulu lebih cepat sedikit dari mereka. Sehingga mereka tidak sempat berbalik atau membelokkan arah serangan, karena sangat cepat dan dahsyat deru putarannya. Bahkan, jika tidak terlambat, itulah akhir perjalanan Ksatria Kemal di lubang ini dengan jurus Tendangan Gasing Berputar, mati.
Namun, ia telah siap menghadapi mereka, meskipun deraan rasa sakit yang begitu hebat di sekujur tubuhnya. Tiga Serangkai pun tidak dalam kondisi tubuh yang lebih baik dengan nyonyor yang tak alang kepalang di badan mereka. Meskipun begitu, mereka sudah punya peluang bagus dan tahu apa yang mereka lakukan untuk menghabisinya saat ini juga. Dengan jurus andalan lain ini pasti lawannya tak akan mudah menangkis yang akan dilancarkannya secara bertubi-tubi sebentar lagi.
Dengan kondisi yang sudah sama-sama payah, Tiga Serangkai menggunakan sebuah jurus baru yang tidak kalah mumpuni untuk menumbangkan lawan hebatnya ini. Setelah berpandangan sebentar, mereka langsung memformulasikan dengan cepat jurus Seribu Pukulan Seribu Tendangan Kiciran Maut. Dua orang melompat ke depan berjajar dan disusul seorang melompat ke atas bahu dengan sigapnya berdiri dengan tangan kanan mereka mengepal keras di depan wajah mereka dan tangan kiri menghunus senjata rahasia yang diambil dari balik baju mereka diposisikan di depan dada. Sementara kaki kanan maju sedikit ditekuk ke depan dan kaki kiri merendah ke belakang.
“Sekarang, terimalah kematianmu, hey manusia kaleng,” serunya sambil mengejek, lalu berteriak keras. “Seribu Pukulan Seribu Tendangan Kiciran Mauuuuut!!!”
Sambil meneriakkan jurus itu, mereka mengejar sang ksatria sambil melompat ke arahnya.
Ksatria Kemal mengetahui dan menyadari gelagat ancaman ini lebih dahsyat dari sebelumnya, dan ia tak ingin menjadi korban jurus maut. Ia pun tak mau kalah cepat gerakannya kali ini. Lalu ia meneriakkan kata-kata panggilan senjatanya.
“Dengan memuji Nama dan KekuatanMu, datanglah senjataku!”
Dengan cepat ia menangkap senjata mirip Keris, melompat dan menerjang ke arah Tiga Serangkai. Kekuatannya kini bertambah besar, desiran darahnya menggelegak hebat, matanya mulai mengeluarkan cahaya kuning menyala dan menyilaukan, dan senjatanya berpendar berkilaukan menambah pedih di mata siapa pun yang melihatnya.
Mereka sama-sama menerjang tidak mau kalah kecepatan dan kekuatan masing-masing. Tiga Serangkai yang ada di bawah siap menghujamkan pukulan maut dan tusukan senjata, sementara yang di atas tengah bersiaga untuk melakukan tendangan dahsyat disertai tusukaan senjatanya pula. Karena pendaran cahaya senjata mirip keris itu sangat kuat pandangan mereka agak mengabur dan kedua pukulan mereka meleset ke samping kiri. Berikutnya dua tusukan senjata mematikan berhasil ditepis ke kanan dengan keras. Satu tendangan keras beruntun sang ksatria tak terelakkan dan membuat mereka terhenyak merunduk. Lalu Tiga Serangkai yang di atas menendang keras ke arah wajah sang ksatria, tapi dapat ditangkis dengan keris yang terhunus, sehingga putuslah kaki kanannya dan terjatuh duduk di kedua bahu temannya sambil menyorongkan senjata ke arah pipi kanan sang ksatria dengan cepat. Tusukan senjata teman Tiga Serangkai ini masih cukup mudah ditepis dengan kaki kanan ksatria sebelum menusuk pipinya. Dalam posisi ini kerisnya sangat bebas menusuk ke jantung salah satu serangkai yang telah putus kakinya, lalu tersungkur ke depan tubuh sang ksatria sambil membungkuk, mati.
Kedua Tiga Serangkai yang terhuyung menangkap tubuh temannya yang tewas berlumuran darah didorong ke arah mereka oleh sang ksatria. Mereka sudah sangat murka, lalu dengan menghempaskan tubuh temannya begitu saja, melompat bangkit menerjang ke arah sang ksatria dengan masing-masing pukulan seribunya yang masih menghantarkan hawa panas sangat kuat terasa pada tubuh sang ksatria.
Mengetahui kedua kaki mereka telah lemah dan luka serius akibat tendangan kerasnya dan di tangannya tak bersenjata lagi, sang ksatria pun menyambut pukulan seribu dengan merunduk dan meregangkan kaki untuk menghalau kedua kaki mereka. Pukulannya terasa hanya melesat di atas tubuhnya, dan gerakan kakinya kini telah ditahan dengan tendangannya. Sekarang tinggal kedua tubuh mereka yang menyangkut di udara, sang ksatria tidak ingin melewatkan momen yang tepat ini, ia menghujamkan satu tusukan keris dengan cepat ke dada lawannya dan mendorong ke belakang dengan tangan kirinya sehigga ambruk di atas mayat temannya di belakang. Satu tusukan lain telah bersarang di dada musuh yang terakhir. Dengan tangan kirinya, satu dorongan dihempaskan ke tubuh lawannya yang terakhir, bertumpuklah ia di atas mayat teman-temannya, mati.
Ksatria Kemal berdiri tegak memperhatikan mayat Tiga Serangkai untuk memastikan terakhir kalinya bahwa mereka sudah tak bernyawa lagi, lalu ia pun menengadah ke angkasa, mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menyapu kedua wajahnya, karena berkat bantuanNya, Tiga Serangkai yang telah banyak melakukan kezaliman dan kebuasan, kini mereka telah binasa.
Ia melihat ketiga rekannya pun telah berhasil merobohkan lawan-lawan mereka. Ksatria Satria berhasil membunuh Jenderal Tansulbahsa yang bengis dan kejam itu, dan Ksatria Nandya telah mengalahkan Letnan Drago, Letnan Bondi, dan Letnan Droka. Ksatria Aga telah menyadarkan Raja Ansiabia Kejnat, manusia terkejam di alam ini. Ia bergegas menuju ke arah Ksatria Nandya untuk bergabung dengan kedua rekannya itu.


Ksatria Nandya Versus Letnan Drago, Letnan Bondi, dan Letnan Droka

Ksatria Nandya kini tengah menghadapi beringas dan nafsu ketiga perwira: Letnan Drago, Letnan Bondi, dan Letnan Droka. Ketiga perwira yang menjadi anak buah dan kepercayaan Jenderal Tansulbahsa itu mulai melancarkan serangan dan gempuran yang sangat mematikan. Mereka terus merangsek dengan berbagai arah serangan untuk membunuhnya.
Saat ia menapakkan kakinya di rerumputan, Letnan Drago melakukan tendangan putaran di bawah. Sehingga ia pun bergulung dan bersalto, spontan Letnan Bondi hendak menyarangkan pukulan ke arah perut. Begitu seterusnya ketika ia telah menghentak dan mencapai ketinggian tertentu, maka Letnan Droka telah menunggu dengan sapuan tendangan ke arah muka.
Dengan berbagai serangan tersebut, ketiga perwira itu praktis hanya menunggu waktu dan kecepatan sang ksatria melemah dan meleset, sambil mempergencar serangan mereka. Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Saat sedang menghindari sebuah pukulan keras, ia mencoba melesat lebih tinggi, tapi kedua perwira serentak menyerang ke bawah dan ke atas. Tak ayal lagi ia telah terkena blunder yang tak bisa dihindarinya. Sebuah tendangan tinggi Letnan Drago sangat telak menyodok bagian perutnya, sehingga ia terpental beberapa nehong jauhnya.
Brrugggh!
Suara tubuh bajanya terdengar menghempas dengan deras. Perutnya terlihat terasa nyeri dan sakit sekali, lalu ia berusaha bangkit dari duduknya.
Ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha! Sudahlah…… Percuma saja kau melanjutkannya, hey, makhluk asing!!”
Mereka tertawa bersama-sama melihat sang ksatria berupaya bangkit lagi, tapi hampir tak kuat. Lalu Letnan Drago berkata lagi.
“Kulit bajamu tak berarti apa-apa buat kami. Kini aku akan mengirimmu kembali ke alam asalmu!!”
Setelah ia selesai berkata begitu, ia menerjang dan melompat yang diikuti kedua rekannya. Mereka benar-benar hendak memanfaatkan situasi yang menguntungkan ini dengan serangkaian kombinasi serangan. Maka tak pelak lagi, ia belum sempat bangkit dan menghindar, sebuah pukulan lain yang tidak kalah derasnya bersarang di pipi kanannya. Mereka melihat tubuhnya terhenyak ke sebelah kiri dan tersungkur, dan menggelosor jauh. Mereka semakin puas dibuatnya dan merasa semakin di atas angin. Lalu mereka perhatikan lawannya sedikit meringis, karena menahan sakit teramat sangat dan berusaha bangun dengan susah-payah.
Ugh….badanku terasa mau remuk saja, tapi aku…….harus bangkit…….” Bisiknya dalam hati dengan pandangan mata yang masih mengabur.
Sang ksatria berjuang terus, meski terasa masih limbung. Ia memfokuskan tenaganya, mengalirkan darah ke seluruh sendi tubuhnya. Matanya masih belum jelas menatap lawan-lawannya, lalu ia segera menyadarkan diri untuk mengingat semangatnya begitu menggebu-gebu tatkala ia melakukan formasi bersiaga. Sontak saja kesadarannya muncul, lalu ia membuat formasi sendiri melompat dan  menyilangkan kedua tangan setinggi dada dengan menempatkan tangan kanan di depan. Seketika semangatnya balik lagi dan tenaganya sedikit mulai bertambah. Kini ia benar-benar telah siap menghadapi serangan apa pun.
Letnan Drago dan kedua rekannya tidak mengetahui situasi mental sang ksatria yang telah kembali normal dan menganggap mereka masih berada pada situasi menguntungkan itu, mereka mulai berancang-ancang menyerang dan menerjang kembali. Sepertinya hendak menyelesaikan pertarungan ini lebih cepat, oleh karena itu mereka menjadi berambisi masing-masing ingin merobohkannya. Kali ini serangan gencar mereka tidak sekompak tadi. Terlihat tidak ada kerjasama yang dapat membuahkan satu hasil akhir. Apalagi sang ksatria mulai membaca kelemahan ini, sehingga ia mulai membuat penasaran mereka dengan hanya menghindar dan mengelak tanpa memberikan counter-attack sekali pun seolah-olah dibuat kewalahan oleh serangan satu-satu ini. Mereka pun menjadi semakin bernafsu tanpa memperdulikan titik-titik kelemahan pertahanan masing-masing.
Benar saja, tak berapa lama tenaga mereka satu-persatu semakin terkuras dan tersedot oleh pukulan dan tendangan angin. Hingga tiba pada sebuah kesempatan, Letnan Bondi dengan entengnya bermaksud melakukan tendangan berputar dengan gaya tertentu sambil melompat, namun meleset dan mengenai angin. Tiba saat sang ksatria membalas posisi kosong pada rusuk sang letnan tersebut. Sebuah tendangan melompat di udara sambil mengedutkan pangkal paha sang ksatria dengan sekuat tenaga, sehingga…..
Krrrrrkkh! Guedebuggggh!!
Suara pinggang dan tulang-tulang rusuk yang patah dan ambruknya Letnan Bondi ke hamparan rerumputan membuatnya tak percaya dengan apa yang baru saja ia alami. Yang ia sadari rasa sakit setengah mati mendera dirinya saat terjengkang hingga kini tak dapat bergerak. Namun situasi ini malah membuat kedua rekan lainnya, tambah bernafsu lebih memiliki peluang merobohkan sendiri.
Kini, giliran Letnan Drago yang sudah tak sabar ingin mengulang kembali aksi keberhasilannya tadi. Ia pun mulai menyerang dengan berbagai pukulan dan tendangan bertubi-tubi, tapi hanya angin yang terkena sasarannya. Bukan memahami taktik lawannya, ia malah semakin beringas mengejar dan kembali melancarkan serangan, hingga terasa letih yang tak disadarinya mulai mendera. Namun ambisi dan nafsu telah berada di ubun-ubun kepalanya. Dalam pikiran sombongnya, sang ksatria tak sempat atau tak mampu melawannya, ternyata kenyataan berkata lain. Berbagai serangan kandas selalu begitu sangat mudah dihindari sang ksatria. Dan…..ketika nafsu itu telah mencapai puncaknya, ia tak sadar ruang kosong yang sangat mematikan bagi diri Letnan Drago, dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sebuah pukulan sangat kuat mengenai rahang sang letnan, ini memang sangat ampuh membuat roboh dan terpelanting terkena sodokan kepalan baja berkekuatan penuh. Tubuhnya seakan tak kuat bangkit lagi untuk melanjutkan pertarungan ini. Ia pun terpaksa menemani rekannya Letnan Bondi yang sejak tadi masih tak sadarkan diri. Ia merasakan dirinya luluh lantak dengan wajah berlumuran darah dan bibir pecah-pecah.
Hal ini membuat Letnan Droka semakin mendapat peluang besar, dan tak menyadari bahwa ia pun telah masuk perangkap taktik sang ksatria. Meskipun hatinya bertanya-tanya kenapa kedua rekannya ambruk begitu saja, namun ambisi dan nafsu menjawab lain kepada dirinya.
“Ini peluangmu untuk merobohkannya. Ia pasti dapat kau kalahkan, Letnan. Dan jadilah pahlawan untuk rajamu, hey Letnan Droka!” Bisik nafsu hatinya kepada dirinya sendiri.
Sambil mengangguk entah apa yang ia sadari, ia pun menyerang dan menerjang dengan kekuatan penuh. Kembali semua tendangan dan pukulan menyusur angin. Semakin lama ia kerahkan segenap kemampuan dan keahlian beladirinya, tak disadarinya, ia semakin terkuras segenap tenaganya. Sudah tentu ini menjadi peluang-peluang terbuka untuk melakukan serangan balik.
Sang ksatria telah sangat paham situasi ini karena seluruh tendangan dan pukulan itu tak sekuat dan sederas sebelumnya, kecuali bermuatan ambisi dan nafsu belaka. Saat ia melihat Letnan Droka melakukan kombinasi tendangan dan pukulan beruntun, ia melihat banyak pilkihan untuk menyerang balik di tubuhnya. Sebuah tendangan deras bersarang di perut, disusul pukulan kuat di wajah, dan kombinasi sebuah tendangan kaki kanan ke arah bawah tengah dan atas telah membuatnya sempoyongan. Sang ksatria tak memberi peluang lawannya untuk balik menyerang, ia pun menyarangkan tiga pukulan beruntun. Pada pukulan terakhir membuat sang letnan tergeletak, mati.
Kini mata Letnan Drago mengawasi Sang Ksatria dengan pandangan tak percaya, ia balik lagi menatap rekannya Letnan Droka yang begitu sangat mudah terhempas dan tewas. Masih belum tersadar dengan kesalahan fatal yang ia lakukan, ia pun menatap lagi rekan lainnya Letnan Bondi yang masih terkapar karena pingsan. Ia benar-benar merasa sebagai tawanan saat ini, karena ia tak mampu lagi beranjak dari tempatnya terhempas, tak mampu melawan sedikit pun.
“Aku kembalikan semua pada pilihanmu, Letnan Drago……, aku tak berniat membunuh lawanku yang telah tak berdaya, tapi jika kau tetap memaksa, mungkin aku terpaksa….” Ksatria Nandya menawarkan sang letnan untuk menyerah.
Menyadari sepenuhnya keadaan dirinya kini, ia melucuti seluruh senjatanya dan melemparkan ke arah sang ksatria. Kini dirinya sudah tak bersenjata, hingga hanya mengenakan pakaian dalam yang melapisi seluruh bagian vital tubuhnya. Semula sang ksatria seketika hendak melancarkan serangan lainnya, sebelum mengetahui penyerahan diri sang letnan yang cukup gagah dan tampan ini.
“Baiklah, aku sadar dan percaya bahwa engkau orang baik, orang asing,” balasnya dengan nada cukup lemah, namun masih tersisa ketegarannya di sana.
Ia melihat ketiga rekannya pun telah berhasil merobohkan lawan-lawan mereka. Ksatria Satria berhasil menumpas Jenderal Tansulbahsa dan Ksatria Kemal telah membunuh Tiga Serangkai yang sangat menakutkan itu, Ksatria Aga telah mengalahkan Raja Ansiabia Kejnat nan kejam dan biadab itu. dan kini Ksatria Satria dan Ksatria Kemal mulai bergabung ke arahnya.


Ksatria Aga Versus Raja Ansiabia Kejnat
           
Seluruh mitraku tengah bertempur menghadapi lawan-lawan mereka. Karena mereka memilih sendiri siapa saja yang mereka hadapi untuk ditumpasnya. Tinggal aku menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi. Sementara aku menatap Raja Ansiabia Kejnat dengan tatapan bersiaga. Tiba-tiba sang raja yang sudah tak sabar ingin menghabiskanku menatap dan berbicara kepadaku.
“Lihatlah, semua orang-orangku tak akan membiarkan teman-temanmu hidup. Aku sangat tahu kemampuan mereka yang pasti dapat mengalahkannya. Sebaiknya kau menyerah dan bergabung denganku,” ucap lagi sang raja meyakini dan membujukku.
“Terima kasih, wahai Paduka. Tugasku dan ketiga mitraku merupakan sebuah misi kemanusiaan dan peradaban manusia.. bukan harta atau kekayaan,” jawabku sopan dan tegas kepadanya.
“Kau telah berlaku sombong di hadapanku, hey makhluk asing!” Ucxapnya lagi sambil bersiap-siap dan memasang kuda-kuda.
“Bahkan….. sangat berani menolak titahku, Raja Diraja, Kaisar Ansibia Kejnat Si Penguasa seluruh kawasan ini,” akunya membanggakan diri.
“Ya, benar. Engkau adalah Raja Diraja, tapi penindas rakyat dan perampas hak orang lain. Itukah kebesaran dan kemuliaan engkau?” Sahutku lantang sambil bertanya dan memancing kemarahannya.
“Kalau begitu kata-katamu, baiklah. Aku sudah beri kesempatan kau untuk hidup, maka…..jangan salahkan aku kau harus mati sekarang! Dan bersiaplah menemui ajalmu!” Hardik raja sambil menyerang.
Kulihat kuda-kudanya semakin diperkuat dan sang raja hendak memulai serangannya. Sempat juga kulihat ketiga rekan-rekanku sedang melompat dan mengejar, tapi ada juga yang terdesak, dan bahkan terkena serangan cukup telak, sehingga ada keinginanku membantunya, namun aku harus menghadapi raja ini.
Sang raja mulai membuka jurus-jurus andalannya yang hebat. Tidak jarang sambil menyerang, ia berteriak dan memekik. Dengan teriakan dan pekikan seperti itu saja telah membuat siapa pun yang mendengarnya akan merasa bergidik. Namun aku terus berupaya mengimbangi setiap gerakannya yang semakin lama semakin berkembang dengan penuh variasi dan kombinasi pukulan dan tendangan yang mematikan, bila terkena besutan-besutannya. Meskipun ia telah berumur, namun keahlian dan pengalamannya menjadi kehebatan tersendiri baginya.
Hiiiyyya!
Seluruh pukulan yang dikombinasi dengan tendangan itu masih berhasil kuhindari.
Heppps!
Ia terus menyodok, menusuk, melompat, berguling, bergulung, berputar-putar, bersalto, menyerang, dan menerjangsecara bergantian tak kenal ampun. Bahkan nafasnya masih tetap teratur dan tenaganya seolah-olah tak pernah berkurang.
“Hebat,” gumamku dalam hati memujinya.
“Sekarang, terimalah jurus Pukulan Seribu Malaikat Bayangan Maut andalanku!”
Sambil berkata begitu, ia berlari dan melompat ke arahku. Lompatannya membentuk sebuah siluet dan gerakannya mengkilat serta menyilaukan mata. Aku hampir kehilangan jejak jika derunya terlambat kusadari.
Aku berdiri dan melompat untuk mengelak ke empat penjuru dengan cepat, terkadang hanya kepala atau badanku saja. Hingga saat ini, aku belum sempat menemukan celah sebagai serangan balik terhadapnya. Ia memang hendak mengerahkan segenap kemampuannya. Ia tak segan-segan mengeluarkan seluruh ilmu pamungkas.
Beberapa jurus sang raja hanya mampu kuhindari tanpa aku mampu membalasnya. Menurutku sudah hampir dua atau tiga jurus andalan ia kerahkan, aku masih tak mampu sekali pun mengembangkan gerakan agar dapat membalasnya. Pada jurus keempat ia semakin menunjukkan kedahsyatan dirinya. Gerakan tubuhnya kini semakin ringan, enam atau tujuh pukulan tangan dalam satu hentakan membuatku melompat tinggi menjauh. Ia pun mengejar dan mengayuh kedua kakinya naik ke udara dan mengunciku dengan beberapa tendangan, hingga aku tak bisa melakukan salto.
Akhirnya pada tendangan ketiga, kepalaku terhempas ke kiri. Disusul tendangan ke empat, kembali kepalaku terhempas ke kanan. Aku mulai kehilangan keseimbangan di udara. Ia memanfaatkannya dengan sangat baik. Lima, enam, tujuh, dan delapan tendangan kaki kanan dan kirinya bersarang dari kaki, perut dan kepalaku dengan sangat telak. Aku terhempas dari udara dan ambruk di atas rerumputan. Sekujur tubuhku remuk-redam kurasakan.
Sewaktu kuterhempas dengan cepat, masih sempat kulihat rekanku, meskipun dengan pandangan samar, Ksatria Kemal, terjerembab di rerumputan dan melesak di tanah.
Kini pandanganku gelap dan aku tak tahu ada di mana kini. Yang aku tahu tubuhku sangat letih dan tak bertenaga. Hampir saja aku tak sadarkan diri. Syukurlah, aku teringat saat tendangan terakhir yang mendorong dan membuat kepalaku berputar-putar.
Aku berjuang untuk bangkit kembali, tapi tak mampu. Hingga kurasakan sebuah tangan, mencengkeram hebat di tangan kiriku yang telungkup terjerembab. Sebuah cengkeraman seseorang yang sangat kuat mengangkat tubuhku hingga terangkat tinggi dari lubang, lalu melayang di udara dan kurasakan ambruk lagi di tanah rerumputan. Tubuhku bertambah luluh-lantak dibuatnya.
Kini aku sadar aku telah dijadikan sebagai bahan cengkeraman dan lemparan sang raja. Pada lemparan keempat, saat di udara aku mefokuskan diri dan mengumpulkan tenaga sepenuhnya, lalu semangatku datang. Darahku mendesir dan tenagaku bertambah dan bertambah. Aku mencoba menekukkan kedua kakiku. Berhasil! Aku melakukan salto sekuat tenaga. Aku ulangi lompatan salto kembali beberapa kali ke arah aku dilemparkan tadi. Samar-samar semakin jelas seseorang berdiri di sana, raja itu. Begitu telah dekat, kupersiapkan sebuah tendangan sodokan dengan kedua kaki bajaku yang berbelati tajam.
Crrept! Dugggh!
Kudengar suara belati menusuk dan sodokan tendanganku merangsek dadanya. Ia kaget, terhempas jungkir balik beberapa kali. Setelah aku mendaratkan kedua kakiku dan menatapnya, ia segera bangkit dengan sedikit agak berat.
Aku melihat ketiga rekanku pun telah berhasil merobohkan lawan-lawan mereka. Ksatria Satria berhasil menumpas Jenderal Tansulbahsa dan Ksatria Kemal telah membunuh Tiga Serangkai yang sangat menakutkan itu. Lalu Ksatria Nandya telah merobohkan Letnan Drago, Letnan Droka, dan Letnan Bondi. Kulihat Ksatria Satria dan Ksatria Kemal berlompatan ke arah Ksatria Nandya untuk bergabung bersamanya. Mereka berbicara sebentar dan berjalan ke arahku.
Kulihat sang raja menarik nafas dalam secara pelan. Ia mengucapkan komat-kamit tak jelas dalam pendengaranku. Tiba-tiba, suara menggelegar seperti badai sangat dekat sekali diiringi petir dan halintar menyambar.
Brrrrrrrhruuuuuuaaarrrrhh! Trrruueeellellefph!! Prrlltaaaaarrr!
Tubuh sang raja terlihat seperti menggigil kedinginan dan kedua tangan dan kaki bergetar dan bergoyang cepat. Tubuh itu semakin lama semakin membesar dan meninggi merobek pakaian kebesaran seorang raja. Ketinggian tubuhnya kini seperti melebihi sebuah pohon kelapa dan pembesarannya mencapai sekitar sebuah rumah berukuran tipe empat-lima. Wajahnya sangat menyeramkan dengan sebuah tanduk di kanan dan kiri. Matanya merah melotot tajam kehijau-hijauan. Jemari tangannya berkuku sangat panjang dan tajam. Mulutnya menyeringai dengan kedua taring putih mengkilat. Tubuhnya yang hitam berbulu kemerah-merahan dengan duri cagak coklat meruncing. Kedua tangan dan kaki berotot pada bisep dan paha dan betisnya. Ia bagaikan seorang binaragawan raksasa.
Wrrrrruuuaaaaarrrrhhh……!!!
Menggerung suaranya sambil menggerakkan kedua leher berotot ke kiri dan kanan. Aku masih terpana dan kaget tak menyangka perubahan drastis sang raja dengan sebegitu cepatnya. Lalu, satu kaki kanannya dihentakkan ke tanah ini.
Drrrrruarrrrrrrrr!
Tanah, pepohonan, gedung bergoyang dan mayat-mayat yang bertebaran beterbangan lalu mengapung tinggi. Aku dan ketiga mitraku pun berjumpalitan kian kemari tak kuasa menahan goncangan dan gelombang dahsyat akibat satu hentakan kakinya tadi.
Kami melayang di udara kehilangan keseimbangan dan gravitasi. Satu tangan kanan sang raja yang besar bagaikan sebuah tangki minyak menghentak tubuhku dari atas dengan sangat kuat. Tubuhku bagaikan seekor lalat terhenyak ke atas dan jatuh ke atas duri-duri cagak sangat tajam buku tangannya yang menusuk tubuhku. Sakit sekali rasanya seperti tertimpa palu godam raksasa. Meskipun sakit yang teramat sangat, aku berjuang agar pikiranku tetap terjaga.
Ia langsung tertawa menggelegar kegirangan melihat kami menjadi ajang permainan buatnya sambil berkata,
Hua-hhaa-hhaa-hhaa-hhaa-hhaa-hhaa-hhaa…!!!”
“Rasakan pedih dan sakitnya!”
Kemudian ia lenting-lentingkan dengan buku tangannya dan dihentakkan ke atas dengan sangat kuat ke langit. Setelah itu ia menyusul terbang ke atas dan di-smash tubuhku ke bawah kembali bagaikan sebuah shuttle-cock sekuat tenaganya. Ia lalu mengikuti dengan menukik tajam dan cepat menyusul ke bawah lebih dahulu dan menunggunya di sana. Ia songsong tubuhku kembali dengan buku jari tangannya. Kembali aku merasakan beribu-ribu kali sakit daripada sebelumnya. Kini dalam ketakberdayaanku, sang raja yang telah menjelma menjadi seorang raksasa hitam itu mengayun ke atas dan melakukan pukulan backhand smash menukik ke rerumpetan.
Brrrugggh!” Terjerembab aku jatuh dengan kasarnya di atas rerumputan.
Raksasa itu menarik ketiga mitraku seperti memungut tiga buah pasir dan memainkannya sesuka hati seperti seorang anak kecil yang baru mendapat sebuah mainan mungil di tangannya. Ia terus melenting-lentingkan ketiga tubuh itu dan mengayun-ayunkan ke atas dan melakukan pukulan yang sama terhadapku. Bagi mereka, rasa sakit itu telah melebih yang pernah mereka rasakan dan telah keluar dari batas kewajarannya. Setelah ia merasa puas, lalu menderaikan tawa menggelegar kembali.
Hua-hhaa-hhaa-hhaa-hhaa-hhaa-hhaa-hhaa…!!!”
“Sudah kukatakan tadi……bahwa kalian akan kutemukan dengan ajal kalian masing-masing, heh?!!” Ujarnya dengan suara yang memekakkan telinga. Bersiap-siaplah, kalian berempat akan aku satukan dalam kematian yang sangat pedih!” Ancamnya.
Lalu raksasa itu memungut ketiga rekanku dan aku menjadi satu, lalu ia lenting-lentingkan kami berempat dengan buku tangannya dan dihentakkan ke atas dengan sangat kuat ke langit. Tapi kali ini dengan tenaga yang lebih tinggi hingga kami melambung lebih dan lebih tinggi lagi. Beberap detik kemudian ia menyusul ke atas ke arah kami.
Kami bagikan terbang hingga menembus beberapa lapis langit jauhnya. Aku cepat menyadarkan diri dan mengingat alat XPR itu, serta menggunakannya dengan kekuatan sensor dari pikiranku. Di ketinggian seperti ini, aku berteriak sekuat tenaga kepada mereka. Sementara itu, sang raksasa sedang bergerak menyusul kami.
“Lakukan Penyatuan Formasi Segitiga Kekuatan!”
Aku segera merubah diriku melalui Modus Lima yang akan mampu memperbesar wujudku menjadi terra raksasa hingga mencapai ketinggian maksimal. Kini di dalam diriku yang seperti sebelumnya dilapisi dengan perisai tubuh antisenjata dan deteksi di seluruh tubuhku sehingga kini perwujudanku bagaikan sebuah robot besar berlapis besi baja antirudal dan misil. Kemudian, ketiga sosok berkekuatan tinggi yang masing-masing melambangkan kehebatan tiga ekor hewan tersebut bersiaga dan melompat masuk ke dalam diriku. Tubuhku dengan cepat menyamai pembesaran dengan raksasa itu. Kini kami mengapung di udara berhadapan dan turun. Ia nampak kaget bercampur marah melihat kejadian itu.
Tangannya langsung mencengkeram bahuku dengan tangan kanan, dan meninju perutku dengan tangan kirinya.
Brrrugggh!
Aku terhenyak sebentar. Kemudian tendangannya menyusul ke arah yang sama.
Dugg!
Dan aku pun terhenyak mundur lagi ke belakang. Ketika ia mengejar ke depan dan akan mencengkeram leherku, aku sambut tanganya dengan tangkisan sangat keras soto-uke, yaitu sebuah tangkisan dengan sisi tangan di antara pangkal jaari kelingking dan pergelangan tangan sebelah bawah.
Krrreek!
Itu membuatnya terhempas ke depan, lalu kusambut lagi dengan sebuah gedan-barai sekuat tenaga, yaitu sebuah pukulan lurus ke depan bagian perut.
Brrrugggh!
Ia pun terhenyak beberapa jarak jauhnya. Aku mengejar ke arahnya dan ia telah bersiap siaga kembali. Sebuah tendangan kaki kanan hendak kuarahkan ke pinggangnya, tapi ia cepat menangkis dengan tangan kiri dan membalas dengan sodokan kaki kanan ke arah perutku. Aku tak sempat menangkisnya dan membuatku terlontar ke belakang. Ia kembali mengejar hendak melancarkan serangan berikutnya, namun aku sudah melompat dan menerjang untuk mendedaskan kedua kakiku di perut tanpa bisa dihindarinya. Ia terhempas keras hingga ambruk terjengkang di tanah rerumputan. Pada saat yang bersamaan, aku mendaratkan kaki di rerumputan di sebelah tumit kaki kiriku istana Raja Ansiabia Kejnat.
Peluang ini tak kulewatkan, segenap tenaga kukerahkan pada kaki kananku dan kujejakkan ke dada sang raja itu.
Ouwwrrrgh!” Suaranya keras mengaum menahan sakit.
Ketiga ksatria berlompatan ke bawah dan mendarat di tubuh sang raja yang telah menjelma menjadi raksasa yang sedang kesakitan. Kami hendak menyelesaikan pertarungan ini dan kami sepakat memanggil senjata masing-masing. 
“Dengan memuji Nama dan KekuatanMu, datanglah senjataku!” Kami berempat meneriakkan kata-kata panggilan senjata kami bersamaan.
Sebuah senjata bagaikan sebuah Kujang menghampiri dan kuraihnya. Ksatria Satria meraih sebuah senjata mirip Mandau Berperisai dan menggenggamnya. Ksatria Kemal sedang meraih dan menggenggam sebuah senjata mirip Keris. Terakhir Ksatria Nandya meraih lalu menggenggam erat sebuah senjata mirip Pedang Jenawi.
Selang sedetik kemudian, kami melompat dan ke setiap bagian inti anggota tubuh sang raksasa ini dan menghujamkan senjata masing-masing. Aku hujamkan Kujangku ke tengah dahinya. Lalu Ksatria Satria melompat dan menghujamkan Mandau Berperisai ke bagian dada kanan, dan Ksatria Kemal menghujamkan Keris ke dada kirinya. Kemudian Ksatria Nandya menghujamkan Pedang Jinawi ke bagian perut sang raksasa. Secara bersamaan kami pun melompat dari tubuhnya dan berbaris berjajar sambil menanti segala kemungkinan untuk melakukan serangan berikutnya.
Tiba-tiba, suara menggelegar seperti badai sangat dekat sekali diiringi petir dan halintar menyambar.
Brrrrrrrhruuuuuuaaarrrrhh! Trrruueeellellefph!! Prrlltaaaaarrr!
Pada saat yang bersamaan suara itu menghilang, sang raksasa secara perlahan berubah. Tubuh sang raja terlihat seperti menggigil kedinginan. Aku, ketiga ksatria dan Letnan Drago dan Letnan Bondi memperhatikan perubahan ini dengan pandangan mata kami yanbg tak berkedip. Kemudian, kedua tangan dan kaki sang raksasa mulai bergetar dan bergoyang cepat. Tubuh yang tinggi dan besarnya itu semakin lama semakin mengecil. Wajah sangat menyeramkan dengan sebuah tanduk di kepala, matanya yang tadi merah melotot tajam kehijau-hijauan pun, jemari tangan yang berkuku sangat panjang dan tajam, mulutnya dengan kedua taring putih mengkilat pun kini mulai berubah dan berganti.  Tubuh hitam berbulu kemerah-merahan dengan duri cagak coklat meruncingnya, dan kedua tangan dan kaki berotot berganti kembali menjadi perwujudan seorang manusia, Raja Ansiabia Kejnat. Ia terkulai lemas tak berdaya seperti seseorang yang kehilangan dan kehabisan tenaga. Aku mencoba menutupi bagian vital tubuhnya dengan sehelai kain dan mengikatnya di sekitar pinggangnya. Setelah itu aku bangkit dan kembali kepada ketiga mitraku
Ia bergerak-gerak, hendak bangkit sambil ingin mengatakan sesuatu dengan menggapai-gapaikan tangan kanan dan kirinya ke arah kami.
Kami mengira ia akan meminta suatu bantuan atau pertolongan untuk memapahnya bangun dan duduk. Tapi tiba-tiba…….
Ia serentak melompat dan berguling. Tubuhnya bersalto dan berdiri. Semua bekas luka-luka di tubuhnya mendadak menghilang. Kami berempat mendadak mencium gelagat yang tidak baik dan pasti ia akan melakukan serang pembalasan.
Dengan XPR di tubuhku, aku keluarkan sebuah wadah yang mirip tempayan besar terbuat dari besi. Di bawahnya kunyalakan api unggun sangat besar. Lidah api mulai menjilat-jilat bagian dasar tempayan. Sebentar saja besi tempayan itu mulai memerah pertanda telah mencapai tingkat panas yang luar biasa.
Kulihat ketiga satria dan kedua letnan itu tak mengerti maksud dan rencana apa yang akan aku lakukan dengan tempayan besar dengan panas membara di sana.
“Mari kita serang sang raja bersama-sama,” perintahku kepada ketiga ksatria menghentikan kebingunagn mereka.
Aku melompat dan menerjang ke arah sang raja bersamaan dengan ketiga mitraku. Kami mengepungnya. Ia pun mulai melancarkan serangan dahsyatnya. Namun kami sudah sangat mengenali jenis serangan tersebut sehingga menjadi mudah mengatasinya. Pada detik terakhir kami berhasil mengunci beberapa bagian tubuh yang digunakan untuk melakukan serangan. Ia tak berkutik. Kuminta kepada ketiga ksatria untuk melepaskan tangan mereka, sementara aku terus mengunci tubuhnya agar tak bergerak.
Dengan kekuatan penuh, aku angkat tubuh sang raja dan kulempar ke dalam air mendidih di dalam tempayan yang tengah bergolak.
Byyyuaaaarrrrr!
Suara dentuman tubuh sang raja yang terjatuh di dalam wadah tersebut. Lalu ia menjerit dan berteriak sekuat tenaga.
Aku melompat ke arah sisi tempayan dan berdiri di sana. Aku mulai berbicara kepadanya.
“Wahai raja, aku akan mengeluarkan engkau dari tempayan besi panas itu. Tapi, ada satu syarat …….”
“Tapi apa wahai orang asing?” Sergahnya sudah tak sabar karena rasa panas yang sudah tak dapat ditahannya.
“Ada satu syarat yang harus engkau penuhi. Engkau harus bertobat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Engkau ucapkan kalimat “Tidak ada Tuhan selain Dia Yang Maha Berkuasa” dengan sepenuh hatimu dan meyakininya.
Ia tidak menjawab, tapi malah menjerit dan berteriak karena bara panas itu semakin bertambah luar biasa ia rasakan
Kemudian aku melompat dari sisi tempayan panas itu dan bergabung kepada ketiga mitraku dan kedua letnan tersebut. Kami masih mendengar teriakan dan jeritan kepanasan sang raja yang panjang sangat memilukan. Tapi, setelah itu setelah itu……..hening. Jeritan dan teriakannya tak terdengar lagi beberapa saat. Aku hanya diam. Namun, ketiga ksatria dan kedua letnan itu saling berpandangan. Mungkin mereka menyangka sang raja sudah mati terpanggang bara panas besi tempayan. Tapi tiba-tiba……..
Dengan perlahan muncul sebuah kepala, kedua tangan yang meraih sisi bibir tempayan terlihat. Kemudian wajah itu telah kami sangat kenal. Ia adalah wajah sang raja yang beringas, kini mengembangkan senyuman. Kami tak mendengar lagi suara jeritan atau teriakan minta tolong.  Tubuhnya sedikit pun tidak merasa kepanasan. Lalu ia berdiri tenang di sana.
Ketiga ksatria  dan kedua perwira memandang kepadanya dengan penuh keheranan. Ketiga mitraku hendak melakukan serangan melihat sang raja tak merasakan panas, tapi hanya tersenyum.
“Tahan!” Perintahku kepada ketiga ksatria.
Ketiga ksatria tambah tak mengerti dengan maksudku.
Lalu sang raja perlahan turun dari wajan, dan dengan wajah yang masih tersenyum lembut itu datang menghampiri kami. Di hadapanku, ia secepatnya tersungkur dan duduk bersimpuh sambil mengucapkan kata-kata pujian dan terima kasih.
“Wahai, ksatria…… aku telah bertobat dan mengucapkan kalimat yang engkau berikan padaku dengan penuh keyakinan dan sepenuh hatiku,” kata sang raja tadi.
“………dan aku menyesal…… dan memohon maaf,” katanya lagi.
Tapi aku segera mengangkat tubuhnya, agar tidak bersujud di kedua kakiku.
“Tidak perlu bersujud seperti itu, wahai Raja Ansiabia Kejnat,” kataku lagi.
“Mohon jangan panggil aku raja, wahai pemuda. Dan jangan pula memanggilku dengan nama itu. Aku sangat membenci nama itu…..seperti aku membenci segala perbuatanku dulu,” sahutnya dengan nada yang begitu halus.
Aku hanya mengangguk tersenyum lembut dan kami berpelukan. Ia pun lalu memeluk ketiga mitraku. Ia hendak menghampiri kedua letnan itu. Kedua perwira itu awalnya hendak bersujud di hadapannya, tapi dicegahnya. Ia malah merangkul mereka satu-persatu dan berpelukan.
Suasana di sini, tentu saja, berubah menjadi hening dan haru melingkupi halaman istana Kerajaan Tucapenbath. Kami semua tersenyum dan kembali berjabatan tangan, kemudian saling berpelukan. Kini kebencian itu telah sirna, dan ketenangan dan kedamaian terasa semerbak bagai wangi beribu bunga di musim semi.



Prolog Daftar Isi Fatsal 1 Fatsal 2 Fatsal 3 Fatsal 4 Fatsal 5 Fatsal 6
Fatsal 7 Fatsal 8 Fatsal 9 Fatsal 10 Fatsal 11 Fatsal 12 Fatsal 13 Fatsal 14
Fatsal 15 Fatsal 16 Fatsal 17 Fatsal 18 Fatsal 19 Fatsal 20 Fatsal 21 Fatsal 22
Fatsal 23

0 komentar :

Posting Komentar