Fatsal 9 Perjalanan Pak Satria ke Dunia Baru
Perenungan malam ini seperti
sebelumnya yang biasanya berakhir pilu mendera di dalam dada seperti malam-malam
kemarin. Terasa sesak memberatkan tarikan nafas seorang ayah yang tak akan
tergambarkan dengan ungkapan kata-kata sedih puisi atau nyanyian kesunyian mana
pun. Sepertinya ini tak mungkin terjadi. Tidak mungkin! Bahkan suatu hal yang
mustahil jika Pak Satria mengingat dengan sangat jelas di dalam pikiran dan
kenangannya kembali saat tiga tahun lalu di pagi hari ia masih bersama si kecil
itu. Siang hari ia sempatkan mengobrol dan bercanda bersamanya. Bahkan, di sore
hari setelah ia pulang ke rumah dari tempatnya bermain bersama beberapa
temannya terlihat badannya sangat segar setelah selesai mandi. Tidak berapa
lama berikutnya ia telah memegang sebuah buku tulis dan sebuah pulpen mengisi
lembaran kosong dengan tokoh kesayangannya, Naruto. Meskipun sebuah siaran
teleivisi terus menyiarkan suatu program, ia hanya asyik menggambar sembari
terlentang di tempat tidur yang cukup besar menumpangkan kaki kanan di atas
kaki kirinya, sementara beberapa bantal dan guling berserakan semrawut.
Ia masih duduk bersandar tak
bersemangat menghadapi komputer di ruang yang biasa ia tempati ini. Malam ini
ia pun mulai menghidupkan lagi komputernya dan mencoba mengusir kejenuhan dan
kegalauan dalam pikirannya, ia menjalankan program aplikasi untuk mengusir rasa
kesal dan sesal di dada.
“Pasti sesuatu berbau kegaiban telah
terjadi di rumah ini yang membawa Aga entah ke mana!” Sangkanya lagi dalam hatinya.
Bahkan ketika ia ingat kembali setelah
mematikan komputer selesai mengetik sesuatu dan kembali ke kamar tidurnya,
begitu pulas Aga memeluk guling dengan botol susu masih menempel di mulutnya.
Sangat jelas ia benar-benar ada di sana tertidur di tengah antara aa-nya Kemal dan mamanya.
“Sangat aneh dan……pasti ada yang tidak
beres!” Begitu bisik di dalam pikirannya.
Hingga Pak Satria mengenang saat ia
mulai merebahkan badannya untuk beristirahat tidur sebelum berdoa, terlihat Aga
masih di sana merem hanya sesekali terdengar bunyi sedotan botol susu yang
dikenyot tanpa disadarinya.
“Srooot,
srooot, srooot…. .”
Setelah itu Pak Satria diam lagi sejenak,
karena ia tak mampu mengingat lagi setelah ia tertidur waktu itu.
“Juga mengapa jawaban para tokoh
spiritual atau paranormal tetap sama……? Makhluk gaib telah membawanya, katanya!
Tapi ke mana dan di mana sekarang, tak ada satu pun dari mereka yang berhasil
menembus keberadaannya itu…….” Kembali ia bertanya hal yang sama untuk ke
sekian kali dalam pikirannya mencoba mendapatkan petunjuk.
Dalam ketakberdayaan malam yang semakin
larut ini dan kelelahan mental yang begitu dalam, konsentrasi mengetiknya
menjadi mengawur akibat mata yang mulai disergap rasa kantuk sehingga beberapa
kali tangannya meleset menekan hurup-hurup pada keyboard. Terakhir secara tak
sengaja ia menekan hurup-hurup X, P, dan R berturut-turut.
“Ah…pikiranku
sedang kacau sekali malam ini!” Dalihnya dalam hati.
Lalu ia bermaksud menghapusnya dengan backspace dengan lambang panah mengarah
ke kiri pada keyboard tersebut, tapi
tak ayal malah tombol enter yang tertekan tak sengaja, dan……..
“Ampuni, Tuhan!” Pak Satria berteriak
cukup keras dan memegang dadanya menahan degup jantung berdebar kaget cukup
kuat.
Sambil refleks ketakutan, meloncat ke
luar dari kursi duduknya dengan mata seolah-olah tak percaya dengan apa yang
dilihatnya saat ini. Perlahan di sudut ruangannya muncul cahaya membulat dan
meninggi berdiameter cukup besar seluas tubuh tiga orang dewasa. Sinar itu
memancar dari sudut bawah ke atas, agak redup terangnya, kehijau-hijauan,
kuning dan biru serta sedikit kemerah-merahan.
“Ya Tuhan, sinar apakah ini? Atau
jangan-jangan Aga…… aakhh, mana
mungkin! Tapi…….” Tanya Pak Satria penuh keraguan merenangi pikirannya.
Pak Satria mencoba memberanikan diri
mulai mendekati pancaran warna itu setelah penasarannya melebihi besar
ketakutannya. Mula-mula ia tarik kursi yang tadi didudukinya dengan
takut-takut, lalu ditempatkannya di sisi yang agak jauh di sudut kanannya,
kemudian sambil merapat ke dinding di sebelah kirinya ia merambat jalan
perlahan sekali seolah sedang berjalan memegang seutas tali di atas jembatan
tambang dengan kekhawatiran terjatuh ke jurang nan begitu dalam ke dasar sana,
akhirnya setelah begitu dekat…… ia berhenti dan diam sejenak. Menunggu. Tak ada
apa pun yang terjadi! Tangan kanan yang lebih dekat ke lorong sinar itu
diarahkan semakin mendekat agar bisa menyentuh permukaannya hingga tinggal
beberapa sentimeter saja. Ia tidak merasakan apa pun meskipun tangan dan
tubuhnya sudah sedemikian dekatnya dengan cahaya itu. Dengan membulatkan tekad
siap menanggung segala resiko bila ia terkena setrum seperti sengatan listrik,
misalnya, ia sudah menyiapkan mentalnya sedemikian rupa. Sambil menghitung
satu, dua dan tiga dan mengucapkan doa dan memuji kebesaran Tuhan
berulang-ulang, akhirnya……..jari telunjuknya pun menyentuh permukaan cahaya
itu.
“Terima kasih, Ya Tuhan! Terima kasih,
Ya Tuhan, Ya Tuhan, cahaya ini tidak membahayakan, aku tidak kenapa-kenapa…. Terima kasih, Ya Tuhan …..,”
dengan gembiranya ia memanjatkan puji syukur ke hadlirat Tuhan Yang Maha Esa.
Sehingga ia semakin berani menyelusupkan
lagi tangannya hingga masuk pergelangan ke dalam, juga tidak ada apa-apa. Tidak
ada reaksi membahayakan sepertinya. Tak menimbulkan suara atas tindakannya ini,
bahkan tidak ada bias cahaya karena sinarnya telah tertembus dengan tangan. Ia
menarik kembali tangannya. Terlihat ia menjadi semakin berani saja, lalu disodorkan
kaki kanannya hingga masuk seluruh telapaknya.
Setelah yakin sudah siap terhadap segala
kemungkinan, disorongkan seluruh badannya perlahan mulai dari kepala, leher,
badan bagian atas hingga kakinya ke dalam lorong cahaya ini. Sekarang ia sudah
berada di dalam lorong ini seluruhnya. Nampaknya ia merasa cukup canggung
berada di dalamnya tanpa tahu apa yang harus diperbuatnya. Sementara sembari
memperhatikan ke sekeliling dan beberapa kali menyentuh selubung cahaya yang
melingkarinya untuk mengetahui apakah anggota tubuhnya masih dapat menembus
atau tidak, dan ternyata ……………. Ia seketika menjadi sangat terkejut dan gugup,
mengetahui kedua tangannya tak dapat lagi menembus ke luar selubung itu! Belum sempat berpikir lebih jauh lagi, ia
merasakan seperti ada tarikan ke arah bawah tubuhnya secara perlahan diiringi
desiran angin dan tekanan halus dari arah atas. Semakin lama semakin terasa
kecepatan tarikan dan tekanan halus di tubuhnya mulai terasa lebih kuat tanpa
mempengaruhi keseimbangan tubuhnya sedikit pun. Sambil berpegangan ke dinding
selubung cahaya itu, pandangannya mengitari dinding lingkaran cahaya ini terasa
seperti bergerak turun dengan kecepatan yang sangat dahsyat. Wajah cemas dan takut
luar biasa mulai menghinggapinya, namun seperti tak sanggup berteriak dan
menjerit.
“Apa yang sedang terjadi? Apakah yang
kualami saat ini juga dialami Aga saat itu? Jika demikian, semoga aku dan ia
selamat dan akhirnya bisa ketemu,” tanya dan harap beruntun pada diri sendiri menahan
beribu-ribu perasaan yang menjadi satu.
Ia tak bisa melukiskan ketakutan ini,
merasa seperti terbawa dan terhisap cahaya, sendirian, meskipun kejadian ini sedikit
pun tidak mempengaruhi keseimbangan tubuhnya sama sekali. Dengan masih tetap berdiri
tegak seolah tak terjadi apa-apa dengan sekelilingnya, namun ketakutan dan
kecemasan yang begitu sangat menghantui, terlihat semakin menjadi-jadi. Kembali
meraba-raba dinding kaku dan padat dan tak bisa ditembus di hadapannya seperti
tadi, terkejut, tak bisa keluar. Ini membuatnya sangat panik….ingin sekali ia
menangis namun tak bisa. Dicobanya menerobos dinding sebelah kanan keluar tapi tak
membuahkan hasil, menjadikannya histeris. Tetap saja tak bisa menangis, meskipun
ia takut sekali. Masih berharap ada jalan keluar bagi dirinya, mungkin dinding
cahaya sebelah kiri merupakan pintu itu, lalu disentuh dan raba beberapa kali dengan
penuh kecemasan yang kian bertambah teramat sangat, tetapi tetap nihil. Ketakutannya
kian menjadi lagi tanpa dapat tertahan, ia akhirnya pasrah, terduduk lemas di sana.
Meskipun sekeliling terasa membisu, namun tiba-tiba…
“Srrrrpp…”
Selubung cahaya di sekeliling lenyap dan
wajah Pak Satria sedikit berubah gembira dan takjub melihat sebuah pemandangan
di hadapannya yang sungguh-sungguh belum pernah ia saksikan sebelumnya.
Meskipun ini baru pertama kali ia lihat. Semakin jelaslah kini ia berada di
suatu tempat lain dalam tempo seolah-olah hanya
dalam beberapa detik saja.
Matanya terasa dimanjakan dengan kenikmatan
dan ketakjuban di setiap penjuru pandangan, ketakutan, kecemasan atau kekhawatiran
kini telah sirna. Bahkan terlihat seperti tak lepas dan bosan mata memandang ke
sekeliling.
“Indah sekali, Ya Tuhan! Tempat apakah ini?” Terdengar
ia bergumam sendirian.